Detakan jarum panjang itu terus berjalan, tanpa terasa jam dinding itu menunjuk pukul 08.30 malam.
Viona masih termenung dengan semua kejadian masa lalu. Kisah masa lalu saat bersama Frank, sebelum dirinya jatuh cinta dan setelah dirinya jatuh cinta membuat dadanya semakin panas. Kedua tangannya mengepal kuat selimut berwarna putih itu.
"Aku membenci mu Frank, sangat membenci mu." Nada dingin begitu tajam bagaikan belati yang akan menancap. Air mata yang ingin ia tahan masih saja memaksa keluar. Dia benci dengan air matanya yang memaksanya memperlihatkan ketidakberdayaannya.
"Apa aku harus tertawa dengan kehidupan kali ini?"
Tiba-tiba terlintas di benak Viona, sebelum Beliana menampakkan batang hidungnya, banyak kejadian yang tak terduga. Banyak sekali musuh yang mengincar Frank bahkan dengan tega mencelakai Jaxon.
"Buat apa aku peduli, heh? Tutup mata dan hati mu Viona." Gumamnya.
Viona memejamkan kedua matanya, mengeraskan hatinya agar membiarkan kejadian itu. Dia menggeram kesal, ternyata ia tidak bisa berdiam diri. Dia mengambil benda pipih di atas nakas itu dan melihat kalender.
"Besok hari senin artinya akan ada bahaya yang mengintai Jaxon."
Dia ingat betul, musuh suaminya Derik mengincar putranya Frank karena perusahaannya terjatuh. Frank dikenal dengan kedinginannya bagaikan kulkas berjalan dan datar wajahnya bagaikan dinding.
"Aku harus mengingatkannya, tapi kalau aku ingatkan. Sudah pasti dia bersikap ketus, dia tidak akan percaya pada ku. Ya sudahlah, nanti aku katakan saja pada pengawal Jaxon."
Fiona keluar dari kamarnya, ia merasa haus. Ia melihat keadaan sekitar yang sudah tampak sepi.
Suaminya, sudah pasti ada di ruang kerjanya dan Jaxon sudah tidur. Sedangkan Ayah mertuanya, papa Ardey sudah pasti tidur dan Kakeknya tidak menginap.
Viona membuka pintu kulkas itu, mengambil sebotol air dingin. Meneguknya hingga tandas.
Kedua netranya melirik, ia melihat seorang wanita memakai pakaian pelayan.
Wanita itu berjalan di belakangnya tanpa rasa hormat padanya sebagai seorang nyonya. Dia tidak lupa, wajah yang memusuhinya itu. Di kehidupan keduanya pun begitu.
Viona menutup pintu kulkas itu, dia menghampiri wanita bernama Liliana tersebut. Wanita yang melayani dan menjadi ibu asuh untuk Jaxon.
"Apa mulut mu tidak lelah mencibir?" Tanya Viona. Dia tahu, mulut mancungnya itu sedang mencibirnya. "Ah, mimpi menjadi Cinderella."
Viona mengingat semua perlakuan Liliana di masa lalu, selalu saja membuatnya geram dan hampir tiap saat mengejek, menghinanya, anggap saja dia cemburu padanya karena menikah dengan Frank. Mengingat kata cemburu, ia benci dirinya yang cemburu.
"Heh, anda bicara seperti itu karena sudah merasa menjadi Nyonya? Cih! Padahal anda tahu, tuan Frank sangat menyukai Nyonya Beliana." Ejeknya sambil memanasi Viona.
"Seharusnya anda juga mengetahuinya kan? bahwa anda bukan apa-apa bagi tuan Frank. Tuan Frank masih mencintai nyonya Beliana. Lihat saja sikap tuan Frank, dia seperti itu karena Nyonya Beliana." Tambahnya sambil menarik sebelah sudut bibirnya.
"Jika Frank tidak bisa mencintai ku, dia juga tidak bisa mencintai mu. Kau pikir Frank bodoh, wanita cantik seperti ku saja di tolak apa lagi wanita dekil dan bobrok seperti mu."
"Kau!" Geram Liliana. Dia menatap sengit wanita yang beberapa bulan menjadi majikannya. Wanita tak tau diri seperti Viona berani mengejeknya.
Tangan kanan Liliana melayang hendak menampar Viona. Namun, dengan sigap Viona menahan tangannya. "Kamu tahu kan, aku tidak suka ada orang yang menyentuh ku."
Viona menarik tangan Liliana dengan kasar, tubuhnya pun membentur lantai.
"Viona!" Teriak seseorang. Dia tidak menyangka Viona akan berbuat kasar. Wanita seperti Viona memang tidak bisa di perbaiki sikapnya. Entah apa yang di lihat oleh ayahnya menjadikan Viona sebagai menantunya? Tidak ada sedikit pun kemiripan Beliana yang ada pada Viona.
Frank melihat Liliana terjatuh di lantai dan menangis. Dia membantu Liliana berdiri dan menatap tajam bagaikan elang yang mengintimidasi lawannya.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin menuntaskan sikap bar-bar mu pada siapa lagi, hah?!" Frank membentak. Dia tidak suka wanita kasar, dia suka wanita penurut, lemah lembut. Selama ini, Liliana bersikap lembut pada putranya. Sudah seharusnya dia membalas kebaikan Liliana sebagai pengasuh sang putra.
"Aku tahu kau tidak menyukai wanita seperti ku. Tapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau ada orang yang mengusik ku. Termasuk kau dan orang di sini. Aku tidak pernah mengusik mereka jadi jangan pernah mengusik ku."
Viona melangkah, dia mendekat. Tinggi tubuhnya dan Frank sampai di bahunya. Sehingga kepalanya sedikit mendongak. "Huh! Kalau kamu menyukainya, kenapa kamu tidak menikah saja dengannya? Dia baik di mata mu, tapi tidak di mata ku. Oh iya, aku tahu. Tuan Frank tidak suka pada ku, karena tuan Frank menganggap ku sebagai wanita pengincar harta. Maaf! Aku sangat minta maaf, meskipun keluarga ku biasa-biasa saja, tapi kami tidak semiskin itu."
Viona menerobos, tangan kanannya membentur tangan kanan Frank. Bisa-bisanya dia di masa lalu menyukai Frank seorang laki-laki arogan itu dan memberikan hatinya pada pria dingin seperti Frank.
"Fiona, minta maaf pada Lilliana."
"Kiamat pun, aku tidak akan mau. Aku tidak bersalah, dan tidak akan mengakuinya."
Brak
Viona membanting pintunya dengan kasar. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Frank. Bisa-bisanya Frank menyuruh meminta maaf, padahal sudah jelas bukan dirinya yang salah.
"Kenapa aku bisa menyukainya? Mungkin otak ku sudah tidak waras!" Viona menjatuhkan tubuhnha dengan kasar, dia menekuk bantal di sampingnya sambil meninju bantal itu, seakan bantal itu adalah Frank Ed Gilson.
...
Liliana melirik Frank, dia merasa teraniaya dengan kejam. Sambil menangis tersedu-sedu agar Frank merasa bersalah padanya.
"Maafkan Viona, dia memang sedikit kasar."
"Tidak apa-apa tuan, saya sudah terbiasa."
Frank melangkah, dia begitu enggan berbicara panjang dengan Liliana.
"Tuan, apa besok saya boleh membawa makan siang untuk tuan?" Tanya Liliana tersenyum lembut.
Frank menoleh sekilas, ia tidak ingin terlalu akrap dengan siapa pun. Baginya, semua wanita sama saja. Meninggalkan dan menyakiti, namun ia masih berharap pada Beliana.
"Tidak perlu."
Liliana menggigit bibir bawahnya, dia kecewa dengan penolakannya. Namun ia tidak mempermasalahkannya. Sedikit lagi ia akan menguasai Frank dan menjadi nyonya Gilson.
"Sudahlah, masih banyak waktu untuk mendekatinya," gumam Lilliana dengan wajah lesu dan menyemangati dirinya.
Frank menghentikan langkahnya, ia menoleh pintu kamar Viona. Dia memikirkan kemarahan istri mudanya itu.
"Apa tadi aku keterlaluan ya? Tapi ya sudahlah,"
Frank bersikap acuh, toh dia tidak terlalu menyukai Viona.
Frank memasuki kamar sebelah, dia membuka laci di sebelah ranjangnya. Foto pernikahannya dengan Beliana. Rasa itu masih ada walaupun sedikit. Ia membenci rasa itu, rasa yang membunuhnya secara perlahan.
"Tidak ada lagi yang perlu di ingat,"
Frank menutup foto pernikahannya di laci. Dia harus terlihat kuat di depan putranya, Jaxon. Setiap hari ia harus menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang menggunung agar ia tak mengingat Beliana.
Frank kembali keluar, malam ini ia harus tidur dengan Viona agar ayahnya tidak curiga. Berpura-pura menjadi pasangan yang sangat mencintai sekalipun sangat sulit untuknya. Apa lagi sikap Viona yang sedikit melawannya.
Krek
Viona tak menoleh, ia tahu kalau malam ini Frank akan tidur di kamarnya.
Frank melihat sekilas Viona yang memungginya. Kalau ia tidur di sofa atau di lantai, sudah pasti esok pagi tubuhnya akan terasa patah. Pastinya sangat remuk dan tidak akan fokus bekerja.
"Apa kamu sudah tidur?" Tanya Viona. Dia melirik suaminya yang memiringkan tubuhnya.
Bahu lebarnya sangat enak jika di jadikan sandaran kepalanya saat lelah. Dia dulu sangat menyukainya.
"Hey, apa kamu sudah tidur?" Tanya Viona lagi. "Jawablah!"
"Apa?" Tanya Frank. Dia memutar tubuhnya.
Tanpa mereka sadari, keduanya saling memandang dalam. Ada debaran aneh di kedua jantungnya.
Frank seolah tersihir melihat kedua netra Viona. Bola mata cokelatnya, seakan membawa kehangatan di hatinya.
Keduanya langsung beralih menatap ke langit-langit. Wajah Viona terasa panas, bagaikan kepiting rebus. Sedangkan Frank, kedua telinganya memerah. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku ingin mengatakan sesuatu, besok pagi jaga Jaxon dengan baik. Aku memiliki firasat tidak enak."
"Cih! Kau seakan berpura-pura menjadi ibu yang baik." Frank memunggungi Viona. "Jangan mencari perhatian ku."
"Kalau aku sudah memasuki rumah ini, aku akan juga memasuki kehidupan Jaxon. Aku hanya mengatakan, jaga Jaxon dengan ketat." Viona merasa besok hari akan terjadi sesuatu.
Kalau Frank tidak percaya, ia harus turun tangan sendiri. Ia harus memastikan keadaan Jaxon baik-baik saja
"Sudahlah, aku tidak membutuhkan mu. Kau hanya mengada-ngada saja." Frank begitu tak percaya, tidak akan terjadi sesuatu. Dia sudah mengancam musuhnya dan selama ini tidak ada satu pun yang mengancamnya dan keluarganya.
Viona menyilangkan kedua tangannya, langkahnya berhenti sampai di anak tangga yang terakhir. Pemandangan ini tak pernah ia lewatkan selama kehidupan terakhirnya. Setelah menjalani kehidupan kedua kalinya, rasanya tidak mungkin kalau mereka akan jatuh cinta.Perhatian Liliana pada Jaxon seperti seorang ibu kandung yang sangat menyayangi anaknya. Apa lagi Jaxon sangat dekat dengan Liliana dan setiap harinya Liliana akan membuatkan bekal dan mengatakan harus di makan siang, harus hati-hati dan segalanya dia perhatikan."Aku jadi kasihan kalau seandainya Liliana akan menangis dan kehidupan ini sama dengan kehidupan selanjutnya." Mungkin saat ini bagi Lilliana masih ada harapan, tapi ketika Beliana sudah datang Liliana pasti akan menangis. "Aku berharap kau bahagia Liliana, anggap saja aku masih berbaik hati pada mu agar dirimu tidak seperti ku."Viona melihat ke bawah, tangan kanannya mengetuk dagunya seakan dia berpikir keras. "Aku harus mengatakan pada pengawal belakang, dia kan penga
"Bagaimana kalau suatu saat aku atau kita saling mencintai?" Gumam Viona. Seandainya saja bisa, tapi sepertinya sudah tidak bisa. Hatinya terlalu sakit atas pengkhianatan Frank. Perhatian Frank yang membuatnya bagaikan Cinderella ternyata hanyalah kebohongan. Perkataan Viona langsung membuat jantung Anya berhenti, tanpa sengaja ia mengerem mendadak dan membuat kening Fiona terbentur."Anya, aku tidak mau mati dua kali!" Geram Viona. Dia mengusap dahinya yang terasa berdenyut nyeri."Maaf, maaf ini reflek saja. Perkataan mu yang tadi, apa kalian bisa jatuh cinta?" Tanya Anya dengan mata menyipit. "Katanya kau ingin bercerai.""Yah, ini hanya angan-angan ku saja. Kita tidak akan bisa saling mencintai." Anya kembali melihat ke depan dan menancapkan gas mobilnya. "Tapi bisa jadi, seperti di novel-novel yang benci lalu jatuh cinta.""Tidak akan Anya. Frank masih mencintai Beliana, mantan istrinya. Suatu saat nanti wanita itu akan datang." Sebuah keyakinan akan kedatangan Beliana tak bisa
Frank menghentikan mobilnya di salah satu Restaurantnya. Selain ada perusahaan, Frank memiliki berbagai macam bisnis salah satunya di bidang Restaurant."Turunlah," titah Frank.Viona pun turun, dia mengekori Frank hingga ke sebuah ruangan VIP yang di khusukan untuknya sendiri. "Buatlah beberapa makanan untuk ku," ucap Frank. Dia masih kesal pada Viona yang masih meladeni mantan pacarnya. Kedua mata Viona terbelalak. Dia datang ke rumah Frank bukan sebagai pembantu. "Aku istri mu Frank, walaupun aku tidak memiliki status di hati mu."Frank tidak memperlihatkan wajahnya senang, kesal atau marah. Wajahnya bagaikan dinding yang sulit di tebak. "Aku bukan Beliana yang melayani mu.""Anggap saja hukuman untuk mu. Apa kau mau kakek Damian tau?""Frank!!" Viona menggebrak meja di depannya. Dadanya naik turun merasakan amarah yang meluap-luap di dadanya. "Kau mengancam ku?"Di kehidupan dulunya bagaimana hatinya bisa menyukai pria seperti Frank. Pria yang tidak memiliki perasaan, pria yang
Viona membaringkan tubuh Jaxon dengan pelan. Dia melepaskan sepatunya kemudian menaruhnya di lantai. Melihat tidur pulas Jaxon dia memperbaiki bantalnya agar tidak terlalu tinggi. "Apa yang kau rencanakan?" tanya Frank. Dia yakin Viona menginginkan sesuatu darinya. "Jangan memanfaatkan Jaxon untuk mendapatkan perhatian ku.""Frank kau tidak mungkin lupa dengan perkataan mu kan? kau sudah memberikan ku pada Arel. Jadi buat apa aku mencari perhatian mu." Viona memalingkan wajahnya. "Kau tidak akan melupakan perkataan mu kan?""Kau tidak perlu khawatir aku akan merebut posisi Beliana di hati Jaxon. Justru aku akan membantu mu untuk mendekatkan Jaxon pada Beliana."Frank memutuskan pandangannya. Dia melihat ke arah Jaxon. Putranya begitu kecil dan Beliana meninggalkannya hanya karena pekerjaannya. "Aku memang masih menginginkan Beliana, tapi sebagai ...."Hati Viona seperti di peras dan di hancurkan. Ternyata hatinya masih belum sembuh, luka yang menganga itu justru semakin lebar. "Kita
Viona menuruni anak tangga dan melihat seorang wanita di lantai bawah. Dia menahan kedua kakinya dan sejenak melihat ke arahnya. Dia tidak boleh menghindarinya dan akan membuktikan kalau dia bisa berdiri. "Beliana."Viona melanjutkan langkahnya dan menyambut Beliana. "Kau ingin bertemu dengan Frank?" Beliana mengangguk, kedua matanya menangkap sosok anak kecil berlari menuruni tangga kemudian berhambur memeluk Viona. "Mommy ayo antar aku lagi ke sekolah." Seru Jaxon. Dia memeluk erat kedua kaki Viona.Viona menoleh ke arah Beliana. Ini pertama ibu dan anak seharusnya dia tidak mengganggunya kan?"Apa dia Jaxon?" tanya Beliana. Dia melihat putranya begitu mirip dengan Frank."Iya," ucap Viona dengan singkat dan padat. Beliana ingin mendekat, namun sepertinya Jaxon masih asing padanya. "Bisakah kau menemani ku bersama dengan Jaxon.""Mommy dia siapa?" tanya Jaxon. Dia mengerutkan keningnya merasa asing."Jaxon duduklah dulu," ajak Viona. Dia duduk di samping Jaxon menghadap ke arah
Beliana tersenyum, dia pun mengikuti mobil iti ke salah satu gedung. Tanpa mereka sadari Viona membuntutinya mobil yang menculik Jaxon. Viona menghubungi Frank, dia sangat khawatir pada Jaxon. "Cepat Anya," ucap Viona.Niat hati tadi dia menjemput Jaxon dan mengajak Anya."Lapor polisi, lapor polisi," ucap Anya. Dia terus mengikuti mobil itu dan tanpa sadar memasuki sebuah hutan. Mobil yang di tumpangi oleh Jaxon berhenti di sebuah rumah tua. Anya pun menghentikan mobilnya di dekat pohon besar. Tidak bisa menghubungi Frank, dia pun menghubungi Arel."Aku keluar dan mengulur waktu, kau harus mencari bantuan," ucap Viona. Dia melihat sebuah rumah tua. Viona berlari dan masuk. "Kemana dia membawa Jaxon?" Viona melihat sekeliling rumah tua yang terbengkalai tersebut. Kedua matanya melihat sekeliling rumah itu dan menaiki anak tangga, dia yakin Jaxon berada di lantai atas."Kenapa ada Viona?" Beliana keluar dari mobilnya. Dia melihat Viona berlari. "Baiklah, karena kau masuk sendiri ke
Arel meninju habis-habisan dua preman itu hingga wajahnya mereka babak belur. Pria itu seperti kesetanan melihat Viona terluka dan di perlakukan kasar. Ia tidak terima melihatnya.Setelah melihat dua preman itu terkapar. Dia menghampiri Viona dan memeluknya dengan erat.Viona menangis dalam pelukannya. Arel membantu Viona berdiri dia merangkul Viona dan tanpa di sadari satu preman itu menusuk Arel dengan pisau. Anya berteriak nama Arel sedangkan Viona mematung. Dia memeluk tubuh Arel. "Arel, Arel ...."Perlahan tubuh Arel merosot. Viona menahan tubuhnya. Darah segar mengalir dari perutnya. "Arel sadarlah, kau harus membuka kedua mata mu."Sedangkan Frank dan beberapa pengawalnya hendak meringkus dua preman itu namun seseorang menembak mereka."Beliana apa yang kau lakukan?!" Sentak Frank. Dia belum mengintrogasi mereka dan mencari tau siapa dalangnya yang menyentuh putranya."Frank mereka berbahaya," ucap Beliana. Dia yang tidak pernah membunuh orang kini harus membunuh orang. Sejuju
Kakek Damian menghapus air matanya, ia tidak tega melihat Viona terus menerus mengeluarkan air matanya, wajah pucatnya membuat sesak di dadanya. Ia tidak menyangka jika cinta Viona sedalam itu pada Arel. Ada rasa bersalah di hatinya."Viona." Viona tak mampu menahan tangisnya, dia memeluk batu nisan Arel. Rasa sakitnya seperti ribuan tombak yang menusuk tubuhnya. Rasanya sangat sakit seperti di hempaskan begitu saja sampai ke dalam jurang seakan ia tak mampu lagi untuk keluar. "Vio sudah, ayo kita pulang." Ajak kakek Damian."Tidak Kek, aku ingin tetap di sini. Kakek saja yang pulang. Vio masih ingin di sini, di sini." Frank memegang sebelah bahu kakek Damian. Dia menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Biarkan saja Kek, Vio butuh waktu. Aku yang akan menemaninya di sini."Kakek Damian mengangguk. Dia cukup tenang jika ada Frank yang menjaga cucunya. "Terima kasih Nak, tolong jaga Viona."Anya masih setia berada di samping Viona. Dia cukup terpukul dengan kepergian Arel."Seharusnya