Bayangan wajah Dava yang penuh kemarahan masih menghantui Yasmin. Meski pertemuan menegangkan sudah terjadi 2 pekan yang lalu, namun setiap kali melewati lift eksekutif, jantungnya seakan melompat keluar.
“Yasmin!” Suara Nadine membuatnya tersentak. Gadis resepsionis itu menyodok lengannya sambil menyeringai nakal. “Kamu jadi bahan gosip, tahu nggak?” Yasmin mengerutkan kening. “Gosip apa lagi?” “Itu loh..waktu kamu ikut ke ruang CEO bareng Oma nya Pak Dava minggu lalu, terus kamu keluar dengan muka pucat kayak habis keluar dari kandang macan, semua orang jadi penasaran. Kamu habis ngapain sama mereka di ruang CEO?” Yasmin menghela napas panjang. “Aku nggak sengaja, Nad. Nabrak Oma nya Pak Dava, terus beliau memintaku untuk mengantarnya ke ruangan Pak Dava, disana aku gak diizinkan keluar ruangan lagi.” “Dan kamu dengerin debat panas mereka?” Nadine terkikik. “Gila, kayak adegan drama Korea! CEO galak, Oma tajir, dan kamu… gadis biasa yang terjebak di tengah.” “Berhenti, Nad. Jangan bikin aku malu!” Yasmin cepat-cepat memotong, meski wajahnya mulai memanas. *** Siang itu, Yasmin baru saja menyalin laporan ketika suara langkah kaki tegas terdengar. Seorang pria berjas hitam berhenti tepat di depan mejanya. “Yasmin Aulia?” Ia menoleh cepat. Pria itu menunjukkan ID card: Asisten Pribadi CEO. “Iya… saya.” “Pak Dava meminta Anda ke ruangannya. Sekarang.” Semua kepala di sekitarnya menoleh. Nadine melotot panik, berbisik keras, “Astaga, Yas! Kamu ngapain lagi sama si CEO?” Yasmin hanya menelan ludah, berdiri perlahan, dan mengikuti pria itu. “Ada apa lagi ini? Perasaanku gak enak.” Batin Yasmin gelisah. “Tanganmu kenapa menggenggam rok seperti itu? Tenang saja..Pak Dava tidak seburuk yang banyak orang pikirkan.” Ujar lelaki berpostur tinggi kurus berkulit putih namun tegas itu. Ia melihat Yasmin nampak begitu panik. “Ya Tuhan….aku takut kali ini dia akan memecatku.” Gumam Yasmin dalam hatinya. Ia pun berusaha menenangkan dirinya sendiri. Pintu terbuka. Asisten itu hanya memberi isyarat tangan. Yasmin melangkah masuk ke ruang CEO. Sunyi. Dava berdiri menghadap jendela besar, punggung tegak, tangan disilangkan. “Duduk,” ucapnya tanpa menoleh. Yasmin buru-buru duduk, menunduk. Hening beberapa detik. Hanya suara jarum jam terdengar jelas. “Aku mau tanya.” Suara Dava dalam, dingin. “Kamu cerita sesuatu ke orang lain tentang hari itu?” “Nggak, Pak. Saya nggak bilang apa-apa. Bahkan ke sahabat saya pun tidak.” Dava berbalik. Tatapannya menusuk, tapi bukan amarah. Lebih seperti menimbang. “Jadi… kamu dengar semuanya. Tentang Sonia.” Yasmin menggigit bibir. “Saya hanya duduk karena disuruh. Saya nggak berniat ikut campur.” Mata Dava menyipit, seolah ingin membaca isi hatinya. “Aku tidak suka orang menyimpan rahasia. Apalagi kalau itu dipakai untuk keuntungan pribadi.” Yasmin memberanikan diri menatap balik. “Saya tidak seperti itu, Pak. Saya tahu posisi saya. Saya hormat sama Bapak.” Keheningan singkat. Lalu bahu Dava turun perlahan, nadanya melunak. “Baik. Aku percaya kamu.” Yasmin terperangah. “Percaya?” batin Yasmin. Itu kata terakhir yang ia bayangkan keluar dari mulut Dava Leonardo. “Dan karena aku percaya…” lanjut Dava, kini duduk di kursinya, “mulai hari ini kamu bekerja langsung di bawah pengawasanku.” Yasmin terbelalak. “Maksudnya… asisten pribadi Bapak?” “Bukan.” Dava menatapnya lurus. “Aku butuh mata dan telinga di kantor ini. Seseorang yang bisa melihat apa yang aku lewatkan. Termasuk menilai Sonia.” “Pak, saya rasa saya nggak cocok—” “Kamu cocok,” potong Dava cepat. “Kamu jujur. Dan kamu berani bicara meski di bawah tekanan.” “Kali ini jantungku benar-benar nyaris copot. Ya Tuhan…berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Apakah aku bisa melakukan pekerjaan yang ditawarkan Pak Dava ini?” **** Malam itu, ruang makan keluarga besar Leonardo dipenuhi cahaya lampu kristal. Hidangan mewah tersaji diatas meja panjang. “Reyna, tolong tanyakan pada Friska. Kapan dia pulang dari Amsterdam?” Tanya Oma Indira tiba-tiba. Ia duduk dengan anggun di kursi makan bersebelahan dengan putra tunggalnya, Leonardo yang lebih banyak diam. Reyna, sang menantu kesayangan menoleh bingung seraya menatap Dava, putranya yang duduk berhadapan dengannya. “Ma? Bukankah dia baru mulai proyek akhir semesternya?” “Justru itu. Aku ingin dia pulang sebelum bulan depan.” Dava menatap curiga. “Ada apa sebenarnya, Oma?” Oma Indira meletakkan serbet di pangkuan, lalu menatap seluruh keluarga dengan sorot tajam. “Karena bulan depan… aku akan melangsungkan acara perjodohan untukmu, Dava.” C’lark…. Suara garpu Reyna jatuh membentur piring. Leonardo membeku. Dava menatap Omanya, rahang mengeras. “Perjodohan?” ulangnya dingin. “Ya. Perusahaan butuh penerus. Dan kamu butuh pendamping yang tepat.” Leonardo menghela napas. “Mama, Dava cukup dewasa untuk memilih sendiri.” “Kalau pilihannya masuk akal, aku tak akan ikut campur,” balas Oma Indira tajam. Mereka semua tahu siapa yang ia maksud: Sonia. Reyna memberanikan diri bertanya, “Lalu siapa gadis pilihan Mama?” Oma Indira tersenyum tipis. “Namanya Yasmin. Karyawan baru kita di Leonardo Group.” Dava terperanjat. “Apa?!” “Dia berbeda dari yang lain. Sopan, cerdas, dan tulus. Itu yang perusahaan ini butuhkan.” “Dia bahkan baru sebulan bekerja! Oma tahu apa tentang dia?!” Dava membalas sengit. “Mungkin itulah yang salah darimu,” potong Oma dingin. “Kamu hanya menilai orang dari nama besar.” Dava bangkit berdiri. “Aku tidak akan menikah dengan Yasmin. Titik.” “Duduk, Dava!” suara Oma menggelegar. “Aku bukan boneka keluarga yang bisa Oma atur sesuka hati!” Ketegangan menyelimuti ruangan. Leonardo menunduk. Reyna terdiam. Oma Indira berdiri, tatapannya penuh wibawa. “Kalau kamu menolak, ingat satu hal: kamu bukan hanya milik dirimu sendiri. Kamu pewaris keluarga ini. Dan Oma akan melakukan apapun demi masa depan keluarga.” Dava menatapnya tajam, menahan emosi. “Cukup. Mulai malam ini, jangan pernah sebut nama Yasmin lagi.” Ia berbalik, meninggalkan ruang makan dengan langkah menghentak. Keheningan menggantung. Leonardo hanya menghela napas berat. Reyna menatap kosong. Sementara Oma Indira menggenggam erat serbetnya, matanya menyala dengan tekad bulat.“Pernikahan ini harus dilakukan secara diam-diam. Tidak ada pesta, tidak ada publikasi, bahkan tidak ada cincin yang harus dipamerkan,” suara Dava terdengar dingin, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya lurus ke arah Oma Indira, tanpa goyah sedikit pun. Oma Indira meletakkan cangkir tehnya dengan suara kecil "ting", matanya menajam. “Kamu sadar kamu bicara soal pernikahan, Dava? Yasmin itu calon istrimu, bukan pegawai kontrak yang bisa kamu sembunyikan di balik rapat perusahaan.” Yasmin menunduk, jemarinya saling mengait di pangkuan. Degup jantungnya terdengar lebih keras daripada denting sendok di ruangan privat itu. “Aku tidak mau Sonia tahu tentang ini,” Dava akhirnya bicara, nadanya datar. “Dava!” suara Oma meninggi, menahan amarah. “Kamu masih berani menyebut nama perempuan itu di depan Yasmin? Di depan gadis yang sudah berkorban begitu banyak demi keluarga ini?” Yasmin mendongak sekilas, menatap Dava, lalu kembali menunduk. Nama Sonia seolah selalu membayangi hidupnya.
“Besok malam, kamu ikut aku ke vila,” suara Dava tiba-tiba terdengar di ujung telepon. Nada suaranya dingin, tapi Yasmin bisa merasakan ada ketegangan terselip di baliknya.“Vila…? Untuk apa?” Yasmin berusaha terdengar tenang, meski dadanya berdebar.“Pertemuan keluarga. Oma ingin bicara detail tentang pernikahan kita. Kamu harus ada di sana.”Yasmin tercekat. Kata pernikahan itu lagi-lagi menghantam jantungnya.“Dava… apa kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku—”“Yasmin.” Suaranya berat, memotong kalimatnya. “Kamu sudah menandatangani perjanjian itu. Tidak ada jalan mundur.”Yasmin menggenggam ponselnya lebih erat. “Tapi… bagaimana dengan keluargaku? Mereka belum tahu apa-apa.”“Akan ada waktunya. Untuk sekarang, cukup lakukan perintahku.”Hening. Hanya napas Yasmin yang terdengar putus-putus.“Dava, kamu tidak bisa terus memperlakukanku seperti apa yang kamu inginkan. Aku manusia, bukan pion catur.”Dava terdiam sesaat, lalu suaranya melunak.“Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu
Lobi kantor sore itu tidak seramai biasanya. Yasmin baru saja melangkah keluar dari lift ketika seorang pria berjas hitam menghampirinya.“Maaf, Anda Yasmin?” tanyanya sopan.Yasmin menoleh, ragu. “Iya… ada apa, Pak?”“Saya sopir pribadi Nyonya Indira. Beliau meminta saya menjemput Anda. Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.”Degup jantung Yasmin langsung berderap. Nama itu membuatnya tercekat. Nenek Dava?Tanpa banyak bertanya, ia mengikuti sopir itu menuju sebuah restoran mewah milik keluarga Leonardo.Di ruangan privat yang tenang dan elegan, Oma Indira sudah menunggunya dengan senyum hangat.“Yasmin, kemarilah. Anggap saja aku Oma kamu sendiri.”Pertemuan itu berjalan lebih lembut dari yang Yasmin bayangkan. “Yasmin, Oma dengar kamu sudah menyetujui persyaratan dari Dava untuk menjadi calon istrinya, apa itu benar?”“Betul Oma. Tempo hari saya sudah menandatangani perjanjian tersebut.” “Syukurlah. Oma lega mendengarnya. Itu artinya, acara pernikahan kalian akan segera dil
“Ada apa Bapak tiba-tiba memanggilku?” suara Yasmin terdengar pelan, tapi cukup bergetar.Ia berdiri di depan ruangan CEO dengan tangan yang dingin. Di balik pintu itu, ada keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia menelan ludah, lalu mengetuk tiga kali.“Masuk,” suara berat itu langsung memecah kegugupannya.Yasmin melangkah masuk. Aroma khas ruangan Dava—perpaduan kayu jati dan kopi hitam—langsung menyergapnya. Pria itu duduk dengan wajah dingin, jemari mengetuk pelan meja kaca. Tatapannya tajam, seolah bisa menembus pertahanan Yasmin hanya dengan sekali lirikan.“Kamu sudah pikirkan keputusanmu?” tanyanya tanpa basa-basi.Yasmin menarik napas. “Saya… sudah.”Dava mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya semakin menusuk. “Dan?”“Saya… setuju.”Sunyi sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding berdetak lambat.Dava bersandar ke kursinya. Senyum tipis, nyaris sinis, muncul di wajahnya. “Jadi kamu rela menikah denganku dengan syarat yang sudah kuajukan? Tanpa pesta, tanpa peng
“Berhenti ikut campur, sebelum kamu menyesal.” Pesan itu muncul begitu saja di layar ponsel Yasmin, tepat ketika ia sedang membereskan meja kerjanya sore itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar, hampir saja menjatuhkan ponsel. Ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan. Tapi ruang kerja terasa terlalu sunyi. Sunyi yang justru menekan. "Siapa yang mengirim ini? Sonia? Atau seseorang yang tahu aku merekam mereka?" Yasmin buru-buru mengunci ponselnya. Tapi bayangan rekaman suara Sonia kembali berputar di kepalanya—tawa dingin wanita itu, kalimat “semua harta itu jadi milikku,” dan janji manisnya untuk kabur ke Paris bersama pria lain. Ia meremas jemarinya hingga buku-buku jari memutih. “Apa aku harus kasih tahu Pak Dava… atau tidak?” bisiknya, suara nyaris hilang ditelan dentuman jantungnya sendiri. Suara pintu diketuk membuatnya tersentak. “Yasmin.” Suara bariton itu begitu dikenal. Ia menoleh. Dava berdiri di ambang pintu ruangannya, dengan jas
“Ma… jangan paksa Dava seperti itu,” suara Leonardo terdengar lirih, seolah menahan letupan emosi. Oma Indira menoleh tajam pada putranya. “Kamu belum tahu seperti apa gadis yang Mama maksud.” Leonardo menghela napas. “Justru karena kita nggak tahu, Ma… aneh kan, Mama bisa-bisanya menjodohkan Dava dengan orang asing?” “Tapi Mama yakin, gadis itu jauh lebih baik daripada perempuan pilihan anakmu.” “Maksud Mama Sonia?” Leonardo menatap ibunya dalam. “Ma… wajar, dia lulusan luar negeri. Pergaulannya beda, caranya bicara juga lain. Tapi itu bukan masalah besar.” Tatapan Oma Indira mengeras. “Kamu berani membantah keputusan Mama?” suaranya meninggi. “Ingat, setiap keputusan Mama selalu yang terbaik. Sama seperti dulu… saat Mama menjodohkan kamu dengan Reyna. Dan lihat sendiri, sampai sekarang kalian tetap baik-baik saja.” “Mama—” “Keputusan Mama nggak bisa diganggu gugat!” Oma Indira beranjak, gaun batiknya berdesir menambah wibawa. Leonardo hanya terdiam. “Bagaimana kala