LOGIN
Brak!
Suara pintu CEO Office terbanting membuat Yasmin refleks menunduk. Jantungnya nyaris meloncat keluar. Ia sama sekali tidak menyangka kunjungan singkatnya untuk mengantar seorang nenek elegan bisa berubah jadi awal badai. “Oma, kenapa datang tiba-tiba seperti ini?” suara berat Dava Leonardo yang terdengar dingin, tajam. “Ya Tuhan… ini pertama kalinya aku melihat Pak Dava dari dekat. Wajahnya kecut sekali. Sama sekali tidak ada ramah-ramahnya, persis seperti saat aku papasan dengannya di lorong.” Gumam Yasmin dalam hatinya. Lalu wanita tua itu melangkah mantap, tidak gentar sedikit pun meski menantang tatapan cucunya. “Kalau tidak Oma yang datang, sampai kapan kamu mau membuka mata, Dava?” Yasmin berdiri kaku di dekat pintu. Tangannya dingin, keringat menetes di pelipis. “Aku tidak seharusnya berada disini. Aku harus pergi, nenek ini rupanya Omanya Pak Dava. Mereka sedang membicarakan masalah pribadi, untuk apa aku ada disini? Tapi jika aku pergi….” Lagi-lagi hati Yasmin bergumam gelisah. Perlahan kakinya hampir melangkah mundur. “Duduklah,” kata nenek tua yang dipanggil Dava dengan sebutan Oma itu pada Yasmin, tegas, tak memberi ruang untuk menolak. Dan kini Yasmin hanya bisa menjadi saksi ketegangan keluarga yang seharusnya tidak ia campuri. “Ini tentang Sonia lagi?” tanya Dava, suaranya mengandung peringatan. “Tentu saja!” balas Oma cepat. “Kamu serius ingin menikahi perempuan kasar itu? Yang bahkan tidak segan membentak Oma hanya karena hal sepele?” Dava mengepalkan rahang. “Aku mencintainya.” “Cinta?” Oma mendengus. “Kalau itu cinta, kenapa kamu semakin tertutup? Semakin keras kepala? Cinta seharusnya melembutkan, Dava, bukan membuatmu seperti robot tanpa hati.” Hening beberapa detik. Yasmin menunduk, ingin sekali lenyap dari ruangan itu. Namun detak jantungnya semakin keras saat suara dingin menyapanya. “Dan kamu.” Yasmin mendongak kaget. Mata hitam Dava menusuk ke arahnya. “S-saya, Pak?” suara Yasmin bergetar. “Apa kamu menikmati drama ini? Atau sudah menyiapkan gosip untuk dibagi dengan rekan kerjamu nanti?” “Tidak, Pak! Demi Allah, saya sama sekali tidak bermaksud—” “Tapi kamu tetap di sini?” potong Dava. “Kalau punya harga diri, sejak tadi kamu sudah keluar.” “Tak perlu kau remas jemarimu seperti itu! seperti anak kecil yang sedang dihukum saja! Pergi!” Ujar Dava ketus. Pipinya mulai panas, matanya hampir berkaca-kaca. “S-saya hanya… saya tidak berani meninggalkan tamu Bapak begitu saja. Saya mohon maaf kalau sikap saya membuat tidak nyaman.” Oma Indira menoleh cepat, nadanya tajam. “Lihat, bahkan di bawah tekanan pun dia masih tahu sopan santun. Beda dengan perempuan yang kamu bela itu.” Dava mengepalkan tangan. “Oma tidak pernah benar-benar mengenalnya.” “Dan kamu tidak pernah benar-benar melihat siapa dia sebenarnya!” balas Oma lantang. “Sudahlah, Oma. Apa maksudnya Oma membandingkan Sonia dengan perempuan ini? dia hanya staf baru di kantorku. Jelas saja dia jauh berbeda dengan Sonia.” “Biarkan staf mu ini tetap disini meskipun harus mengetahui masalah pribadimu. Oma masih membutuhkan dia untuk mengantar Oma keluar dari ruangan ini nanti!” “Dengar, Dava! Oma sudah terlalu sering diam. Perempuan itu tidak mencintaimu. Dia hanya mencintai statusmu sebagai CEO Leonardo Group.” “Ya Tuhan…bagaimana ini? Kenapa Oma nya Pak Dava membiarkanku tetap disini? Tidak…tidak, aku harus menutup telinga dan tidak perlu mendengar perdebatan mereka.” Batin Yasmin seraya menelan ludah. Oma melangkah lebih dekat. “Kamu pikir Oma buta? Berapa kali dia merendahkan orang lain? Berapa kali dia melukai harga dirimu sendiri? Kamu berubah, cucuku. Kamu bukan lagi Dava yang Oma kenal.” Dava menghela napas keras. “Oma selalu merasa paling benar.” “Karena Oma sudah melewati apa yang kamu belum alami!” Suara Oma bergetar, tapi matanya tetap kokoh. “Cinta sejati itu membangun, bukan menghancurkan.” Yasmin menunduk dalam, hatinya makin gelisah. “Kenapa aku harus ada di sini? Kenapa harus aku yang melihat semua ini?” Pertanyaan itu terus bergumam berulang kali di hati Yasmin. Tiba-tiba Dava kembali menatapnya. “Dan kamu!” Yasmin hampir melompat dari kursinya. “S-saya, Pak?” “Kenapa masih di sini? Apa kamu pikir kamu bagian dari keluarga kami?!” “Cukup, Dava!” bentak Oma Indira, kini benar-benar marah. “Jangan kau lampiaskan emosimu pada gadis ini. Dialah satu-satunya orang yang memperlakukanku dengan sopan sejak pagi tadi, bahkan lebih baik dari kekasihmu sendiri!” Keheningan menegang. Dava menutup mata sejenak, lalu menatap tajam. “Aku tidak akan membatalkan pertunanganku. Itu pilihanku.” “Kalau begitu, Oma juga akan membuat pilihan.” Tatapan Oma beralih pada Yasmin. “Perempuan ini.” Yasmin terlonjak. “S-saya?” “Ya, kamu, Yasmin.” Oma tersenyum tipis, seolah menemukan jawaban. “Mulai hari ini, kamu akan dekat dengan cucuku sebagai…sekertarisnya Dava. Aku ingin dia mengenalmu lebih dalam, dan supaya dia bisa melihat masih ada perempuan yang lebih layak berdiri di sisinya.” “Oma!” Dava membentak keras, tangannya menghantam meja hingga berkas-berkas bergetar. “Jangan libatkan orang lain dalam urusan ini!” Yasmin menutup mulutnya dengan tangan gemetar. “Apa? Apa aku tidak salah dengar barusan? Apa yang dikatakan Omanya Pa Dava barusan? Aku, dekat dengan CEO dingin itu? Tidak masuk akal!” Oma Indira tidak peduli penolakan cucunya. Ia meraih tasnya, lalu melangkah ke arah pintu. Tepat sebelum keluar, ia menoleh sebentar ke Yasmin. “Kamu orang pertama yang membuat Oma merasa dihargai hari ini. Jangan kecewakan Oma. Ayo, antar kembali Oma keluar!” Pintu tertutup. Sunyi. Hanya ada Dava di ruangan dengan gejolak emosinya. Pria itu menyandarkan tubuh, menatapnya tajam penuh kemarahan. “Siapa perempuan itu? bahkan aku tidak tahu namanya.”Suara langkah mendekat terdengar dari arah pintu kaca. Yasmin mengangkat kepala, sedikit terkejut saat melihat Adrian berdiri di sana, menenteng map hitam di tangan.“Permisi,” sapa Adrian dengan senyum sopan. “Boleh aku masuk?”“Oh—ya, tentu. Silakan, Pak Adrian.” Yasmin buru-buru berdiri, merapikan kemejanya.“Jangan terlalu formal begitu, Yasmin. Ini sudah jam istirahat, panggil saja Adrian, seperti dulu,” katanya sambil duduk di kursi depan meja Yasmin.Yasmin tertawa kecil. “Kalau di kantor, aku tetap harus jaga sikap. Lagipula, kita sekarang rekan kerja.”Adrian menatapnya dalam. “Dan dulu, kita apa?”Yasmin menunduk. “Masa lalu.”Keheningan sesaat mengisi ruangan. Adrian membuka mapnya, lalu meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja.“Ini revisi dari Dava. Aku butuh tanda tanganmu di sini, kalau tidak keberatan.”Yasmin mengambil berkas itu. Tapi tangannya sedikit bergetar saa
Lagi-lagi suara ponsel berdering. Kali ini bukan dari ponsel Dava, melainkan dari ponsel Yasmin sendiri. Adrian..nama itu seketika membuat Yasmin terhenyak dan menghapus air matanya. “Assalamu’alaikum…” “Waalaikumsalam, Yasmin. Apa aku mengganggumu?” Suara Adrian yang terdengar lembut di telinga Yasmin, membuatnya ingin meluapkan segala penat yang ia rasakan saat itu, tapi mana mungkin. Sementara…status pernikahannya sendiri dengan Dava tak diketahui siapapun.“Tidak. Ada apa Adrian?”“Yasmin….” suara Adrian tiba-tiba terputus. Ponsel Yasmin direbut Dava tiba-tiba saat ia baru saja keluar dari kamar mandi.“Adrian?” Suara Dava penuh tekanan, matanya terbelalak begitu dekat dengan wajah Yasmin. “Jadi, dia sering menelpon mu di luar jam kerja? Malam-malam begini?” “Kamu tidak sopan sekali, Dava! Kamu tidak berhak merebut ponselku saat aku sedang menelpon!” Yasmin semakin geram menatap wajah Dava. Kharismanya sebagai seorang suami sudah hilang seketika setelah ia mengetahui Dava aka
Suasana rumah malam itu cukup tenang. Yasmin baru saja masuk setelah seharian bekerja, ditambah pertemuan dengan ibunya di kafe. Ia menaruh tas di meja, melepas blazer, lalu duduk sebentar untuk melepas lelah.Tak lama, Dava menyusul, ia pun baru sampai rumah.“Kamu baru pulang?” tanya Dava datar.Yasmin mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Tadi aku sempat ketemu Ibu dulu sebentar. Dia mengajakku ke kafe.”“Ketemu Ibu?” Dava menghentikan langkahnya. “Bicara apa kalian?”“Biasa saja,” jawab Yasmin santai. “Ibu hanya menanyakan kabar rumah tangga kita.” Dava mengerutkan kening. “Bertanya tentang rumah tangga kita? Memangnya kenapa dengan rumah tangga kita?”Yasmin mengangguk lagi. “Iya. Ibu khawatir kalau aku tidak cukup peka padamu. Dia takut kamu—” Yasmin terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “—jatuh ke pelukan perempuan lain.”Dava langsung menegang. “Apa? Ibu berbicara soal itu?”“Ya, itu kekhawatiran Ibu,” jelas Yasmin cepat. “Tapi aku sudah meyakinkan Ibu. Aku bilang kamu l
Bu Salma muncul dengan langkah hati-hati. Wanita itu tersenyum tipis ketika menemui putrinya, Yasmin di sebuah Cafe sore itu.“Yasmin… sudah lama menunggu?” tanya Bu Salma sambil duduk di hadapan putrinya. Sebelumnya, Bu Salma sengaja meminta Yasmin untuk bertemu.“Tidak, Bu. Aku juga baru sampai,” jawab Yasmin lembut. “Ibu kelihatan capek. Dari butik, ya?”“Iya.” Bu Salma menaruh tas kecilnya di kursi. “Pekerjaan sedang banyak. Tapi tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja.”Yasmin mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu. Tidak usah khawatir.”Sejenak keheningan tercipta. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan cangkir dari meja lain terdengar. Bu Salma menarik napas panjang, lalu menatap Yasmin dengan mata yang bergetar.“Yasmin…” suara Bu Salma terdengar hati-hati. “Ibu ingin tanya sesuatu.”Yasmin menegakkan tubuhnya. “Tanya apa, Bu?”“Rumah tanggamu dengan Dava…” Bu Salma menelan ludah. “Apakah semuanya baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Yasmin terdiam. Ia menatap wajah ibuny
Di luar butik, Bu Salma berdiri dengan gemetar, matanya merah karena tangis yang ditahan. Dava berhasil menyusul, menarik napas tersengal.“Bu… tolong, dengarkan dulu. Jangan bawa ini ke keluarga. Jangan sampai Yasmin tahu.”Bu Salma menoleh, menatapnya dengan pandangan penuh luka. “Apa kamu tega mengatakannya padaku seperti itu? Kamu ingin aku diam? Kamu ingin aku berpura-pura tidak melihat kenyataan kalau menantuku sedang berselingkuh dan akan menikah dengan perempuan lain?!”Dava menggenggam tangan mertuanya. “Bu, saya mohon. Ini semua belum pasti. Saya hanya… terjebak. Saya tidak ingin semua semakin kacau.”“Tidak ingin semuanya semakin kacau?! Saya tidak menyangka punya menantu pengecut seperti kamu!” suara Bu Salma pecah. “Kamu sudah melukai putriku, Dava! Sejak pertama kali kamu biarkan perempuan itu masuk ke hidupmu, kamu sudah menghancurkan hati anakku!”“Meskipun pernikahan kalian terpaksa karena perjodohan Nyonya Indira, dan mungkin tanpa cinta. Tapi bukan berarti kamu bi
“Sayang… ayo cepat, aku ingin lihat koleksi terbaru mereka.” Sonia menarik lengan Dava begitu memasuki butik pengantin yang mewah itu. Kristal lampu gantung berkilau, gaun-gaun putih berjajar indah di balik kaca.Dava menahan napas panjang. “Sonia, bukankah aku sudah bilang? Pernikahan kita hanya acara kecil, tidak perlu ribet memilih gaun.”Sonia mendengus, melepas genggaman tangannya. “Kamu pikir aku akan menikah diam-diam dengan tampilan seadanya? Tidak, Dava. Sekecil apapun acaranya, aku tetap ingin terlihat seperti ratu.”Dava tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Sonia yang berjalan anggun dengan sepatu hak tingginya, berbicara kepada pramuniaga butik.“Selamat siang, saya ingin mencoba koleksi terbaru gaun pernikahan. Bisa tolong bawakan yang ukuran badan saya?” Sonia menyebutkan detail ukuran tubuhnya.Pramuniaga tersenyum ramah,“Boleh mbak, mari ikut saya..” pramuniaga itu lalu berlalu ke bagian belakang bersama Sonia.“Kamu tunggu disini ya sayang..” Dava menghela napas lag







