Home / Urban / Istri Sah CEO Idaman / Bab 4. Ancaman yang Menyeramkan

Share

Bab 4. Ancaman yang Menyeramkan

Author: Kala Senja
last update Last Updated: 2025-08-27 14:39:59

“Berhenti ikut campur, sebelum kamu menyesal.”

Pesan itu muncul begitu saja di layar ponsel Yasmin, tepat ketika ia sedang membereskan meja kerjanya sore itu.

Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar, hampir saja menjatuhkan ponsel. Ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan. Tapi ruang kerja terasa terlalu sunyi. Sunyi yang justru menekan.

"Siapa yang mengirim ini? Sonia? Atau seseorang yang tahu aku merekam mereka?"

Yasmin buru-buru mengunci ponselnya. Tapi bayangan rekaman suara Sonia kembali berputar di kepalanya—tawa dingin wanita itu, kalimat

“semua harta itu jadi milikku,” dan janji manisnya untuk kabur ke Paris bersama pria lain.

Ia meremas jemarinya hingga buku-buku jari memutih.

“Apa aku harus kasih tahu Pak Dava… atau tidak?” bisiknya, suara nyaris hilang ditelan dentuman jantungnya sendiri.

Suara pintu diketuk membuatnya tersentak.

“Yasmin.”

Suara bariton itu begitu dikenal.

Ia menoleh. Dava berdiri di ambang pintu ruangannya, dengan jas hitam rapi dan tatapan mata yang tajam. Sorot matanya seakan bisa menembus pikirannya.

“Saya mau bicara. Sekarang. Ikut ke ruangan saya.”

***

Ruangan CEO itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jendela kaca besar memantulkan cahaya senja yang muram. Lampu gantung berkilau redup, menciptakan bayangan panjang di karpet mahal.

Dava berdiri membelakanginya, menatap keluar kota. Bahunya tegak, tangannya menyelip di saku celana.

“Duduk,” katanya singkat tanpa menoleh.

Yasmin menuruti, duduk perlahan dengan tubuh kaku. Jemarinya masih gemetar, ia bahkan hampir menumpahkan teh yang dibawanya.

Dava berbalik, menatapnya lurus. Tatapan itu dingin, namun penuh intensitas.

“Saya tanya sekali lagi. Apa kamu… mengikuti Sonia kemarin?”

Deg.

Yasmin menelan ludah.

“Maaf, Pak… maksudnya?”

“Saya tidak bodoh.” Tatapannya menusuk.

“Tidak mungkin kamu kebetulan dua kali berada di tempat yang sama dengannya. Apalagi kamu bilang tidak mengenalnya. Kamu pikir saya tidak memperhatikan?”

Keheningan panjang menyusul. Detik jam dinding terdengar begitu nyaring, membuat Yasmin makin gugup.

Ia ingin menyangkal, tapi tubuhnya menolak berbohong. Perlahan ia berkata lirih, “Saya memang melihatnya, Pak. Tapi bukan untuk—”

“Untuk apa, Yasmin?” Dava menyela, suaranya dingin. “Untuk memata-matai?”

Yasmin terdiam. Tenggorokannya tercekat.

“Apa kamu tahu resikonya? Kalau Sonia tahu, hidupmu bisa berantakan.”

Yasmin mengangkat wajah, memberanikan diri menatap balik meski matanya bergetar.

“Bukankah itu memang tugas yang Bapak berikan? Menjadi mata dan telinga Bapak?”

Tatapan Dava berubah, tapi hanya sekilas. Ada sesuatu—keraguan, atau mungkin rasa takut.

“Kalau kamu benar-benar menjalankan tugasmu, harusnya kamu sudah melapor sejak awal. Tapi kamu menyembunyikannya.”

“Aku… tidak ingin gegabah.” Suara Yasmin nyaris pecah.

“Apa yang terlihat belum tentu benar. Aku hanya ingin memastikan.”

“Memastikan apa?”

Yasmin menggigit bibirnya, dada naik-turun menahan ketegangan. Dalam hati ia berperang. Kalau aku kasih tahu sekarang… dia percaya gak, ya?

***

Ia akhirnya mengeluarkan ponselnya. Jemarinya gemetar saat membuka folder rekaman.

“Saya punya rekaman.”

Dava menegakkan tubuhnya. Alisnya menurun, sorot matanya tajam.

“Rekaman?”

“Waktu Sonia bertemu pria itu. Saya duduk tak jauh dari mereka.” Yasmin menatap layar ponsel, ragu menekan tombol play.

“Putar!” perintah Dava, suara tegasnya membuat Yasmin hampir menjatuhkan ponselnya.

Ia menatap pria itu sejenak. Wajah dingin Dava tidak menunjukkan emosi, tapi Yasmin bisa membaca sesuatu di matanya: ketakutan seorang pria yang mungkin akan dikhianati wanita yang ia cintai.

Perlahan, Yasmin menutup kembali layar ponselnya.

“Saya akan memutarnya… saat Bapak siap mendengar kebenaran.”

Dava menegang. Rahangnya mengeras.

“Berani sekali kamu memutuskan itu tanpa izin saya.”

Yasmin menahan napas, tapi ia membalas dengan suara tegas meski tubuhnya gemetar.

“Karena saya menghormati Bapak. Saya tidak ingin menyampaikan sesuatu yang bisa menghancurkan Bapak dalam kondisi Bapak belum siap menerimanya. Kalau saya salah, saya siap diberhentikan.”

Ruangan itu membeku.

Beberapa detik, Dava hanya menatapnya tajam, seolah ingin menembus isi kepalanya.

Akhirnya ia bersandar di kursi, helaan napasnya berat.

“Kamu… terlalu berani.”

Yasmin menunduk, pipinya panas, tapi ia bisa merasakan hawa berbeda. Entah itu kemarahan, atau justru perlahan tumbuhnya kepercayaan.

“Keluar,” ucap Dava akhirnya.

“Dan teruskan pekerjaanmu.”

***

Di luar ruangan, Yasmin berdiri sejenak, menarik napas panjang. Bahunya terasa berat, tapi anehnya ada sedikit lega. Ia tidak berbohong, tapi ia juga belum membocorkan semuanya.

Namun sebelum ia melangkah pergi, suara Dava terdengar lagi dari dalam.

“Yasmin.”

Ia berhenti, menoleh.

Tatapan pria itu menusuk, tapi kali ini berbeda—lebih dalam, lebih pribadi.

“Jangan pernah diam lagi… kalau kamu tahu ada yang mencoba menghancurkan saya.”

Yasmin mengangguk pelan.

“Baik, Pak. Saya janji.”

Ia mempercepat langkah, ingin segera menjauh dari suasana mencekam itu.

Brugghh!

“Uppsss…Sorry!”

Tubuh Yasmin oleng, hampir jatuh. Pandangannya langsung bertemu sepasang kaki jenjang berbalut pantofel elegan.

"Ya Tuhan…kenapa harus dia?"

“Ma…maaf Bu..” ucap Yasmin gugup. Ia perlahan menengadahkan wajah, dan bertemu tatapan Sonia.

Wanita itu menyipitkan mata, menatap Yasmin dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan sinis, lalu pandangannya beralih ke pintu ruang Dava. Senyumnya tipis, penuh arti.

“Owh…kamu rupanya,” ujarnya, nada suaranya penuh sindiran.

“Iya Bu, maaf saya tidak sengaja menabrak Anda. Saya buru-buru. Permisi!” Yasmin menunduk, hendak beranjak.

“Tunggu!”

Langkah Yasmin mendadak terhenti.

“Kamu sering sekali bolak-balik ke ruangan calon suami saya? Sepenting itu ya posisi kamu di kantor ini?”

“Maaf bu, terus terang saya sama sekali tidak punya maksud apa-apa untuk menemui Pak Dava.” Yasmin berusaha tetap tenang, meski tangannya bergetar.

“Semua itu saya lakukan murni karena memang ada dokumen yang harus saya laporkan kepada beliau.”

Sonia memutar bola matanya, lalu merapikan rambut panjangnya dengan angkuh.

“Hhmmm…ya sudahlah kalau begitu, semoga jawaban kamu barusan bukan sekedar alasan!”

Ia mendekat, menepuk bahu Yasmin pelan, seakan meremehkan.

“Oh ya, satu lagi. Ingat ya, tugasmu hanya sekretarisnya Dava kan? Jadi, kamu gak perlu ikut campur urusan pribadi Dava. Paham?”

Ancaman Sonia terasa menusuk jantung Yasmin secara langsung. Senyumnya manis, tapi matanya tajam seperti pisau.

Sonia berbalik arah menuju ruangan Dava. Sementara Yasmin, ia hanya mematung, mencerna ancaman Sonia.

"Kalimat itu… sama seperti pesan ancaman yang semalam masuk ke ponselku.

Jangan-jangan… pesan itu memang dari…"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 8. Membantah Perasaan

    “Pernikahan ini harus dilakukan secara diam-diam. Tidak ada pesta, tidak ada publikasi, bahkan tidak ada cincin yang harus dipamerkan,” suara Dava terdengar dingin, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya lurus ke arah Oma Indira, tanpa goyah sedikit pun. Oma Indira meletakkan cangkir tehnya dengan suara kecil "ting", matanya menajam. “Kamu sadar kamu bicara soal pernikahan, Dava? Yasmin itu calon istrimu, bukan pegawai kontrak yang bisa kamu sembunyikan di balik rapat perusahaan.” Yasmin menunduk, jemarinya saling mengait di pangkuan. Degup jantungnya terdengar lebih keras daripada denting sendok di ruangan privat itu. “Aku tidak mau Sonia tahu tentang ini,” Dava akhirnya bicara, nadanya datar. “Dava!” suara Oma meninggi, menahan amarah. “Kamu masih berani menyebut nama perempuan itu di depan Yasmin? Di depan gadis yang sudah berkorban begitu banyak demi keluarga ini?” Yasmin mendongak sekilas, menatap Dava, lalu kembali menunduk. Nama Sonia seolah selalu membayangi hidupnya.

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 7 Bukan Staff Biasa

    “Besok malam, kamu ikut aku ke vila,” suara Dava tiba-tiba terdengar di ujung telepon. Nada suaranya dingin, tapi Yasmin bisa merasakan ada ketegangan terselip di baliknya.“Vila…? Untuk apa?” Yasmin berusaha terdengar tenang, meski dadanya berdebar.“Pertemuan keluarga. Oma ingin bicara detail tentang pernikahan kita. Kamu harus ada di sana.”Yasmin tercekat. Kata pernikahan itu lagi-lagi menghantam jantungnya.“Dava… apa kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku—”“Yasmin.” Suaranya berat, memotong kalimatnya. “Kamu sudah menandatangani perjanjian itu. Tidak ada jalan mundur.”Yasmin menggenggam ponselnya lebih erat. “Tapi… bagaimana dengan keluargaku? Mereka belum tahu apa-apa.”“Akan ada waktunya. Untuk sekarang, cukup lakukan perintahku.”Hening. Hanya napas Yasmin yang terdengar putus-putus.“Dava, kamu tidak bisa terus memperlakukanku seperti apa yang kamu inginkan. Aku manusia, bukan pion catur.”Dava terdiam sesaat, lalu suaranya melunak.“Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 6. Debaran Hati yang Tak Menentu

    Lobi kantor sore itu tidak seramai biasanya. Yasmin baru saja melangkah keluar dari lift ketika seorang pria berjas hitam menghampirinya.“Maaf, Anda Yasmin?” tanyanya sopan.Yasmin menoleh, ragu. “Iya… ada apa, Pak?”“Saya sopir pribadi Nyonya Indira. Beliau meminta saya menjemput Anda. Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.”Degup jantung Yasmin langsung berderap. Nama itu membuatnya tercekat. Nenek Dava?Tanpa banyak bertanya, ia mengikuti sopir itu menuju sebuah restoran mewah milik keluarga Leonardo.Di ruangan privat yang tenang dan elegan, Oma Indira sudah menunggunya dengan senyum hangat.“Yasmin, kemarilah. Anggap saja aku Oma kamu sendiri.”Pertemuan itu berjalan lebih lembut dari yang Yasmin bayangkan. “Yasmin, Oma dengar kamu sudah menyetujui persyaratan dari Dava untuk menjadi calon istrinya, apa itu benar?”“Betul Oma. Tempo hari saya sudah menandatangani perjanjian tersebut.” “Syukurlah. Oma lega mendengarnya. Itu artinya, acara pernikahan kalian akan segera dil

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 5. Keputusan Menjadi Seorang Istri

    “Ada apa Bapak tiba-tiba memanggilku?” suara Yasmin terdengar pelan, tapi cukup bergetar.Ia berdiri di depan ruangan CEO dengan tangan yang dingin. Di balik pintu itu, ada keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia menelan ludah, lalu mengetuk tiga kali.“Masuk,” suara berat itu langsung memecah kegugupannya.Yasmin melangkah masuk. Aroma khas ruangan Dava—perpaduan kayu jati dan kopi hitam—langsung menyergapnya. Pria itu duduk dengan wajah dingin, jemari mengetuk pelan meja kaca. Tatapannya tajam, seolah bisa menembus pertahanan Yasmin hanya dengan sekali lirikan.“Kamu sudah pikirkan keputusanmu?” tanyanya tanpa basa-basi.Yasmin menarik napas. “Saya… sudah.”Dava mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya semakin menusuk. “Dan?”“Saya… setuju.”Sunyi sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding berdetak lambat.Dava bersandar ke kursinya. Senyum tipis, nyaris sinis, muncul di wajahnya. “Jadi kamu rela menikah denganku dengan syarat yang sudah kuajukan? Tanpa pesta, tanpa peng

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 4. Ancaman yang Menyeramkan

    “Berhenti ikut campur, sebelum kamu menyesal.” Pesan itu muncul begitu saja di layar ponsel Yasmin, tepat ketika ia sedang membereskan meja kerjanya sore itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar, hampir saja menjatuhkan ponsel. Ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan. Tapi ruang kerja terasa terlalu sunyi. Sunyi yang justru menekan. "Siapa yang mengirim ini? Sonia? Atau seseorang yang tahu aku merekam mereka?" Yasmin buru-buru mengunci ponselnya. Tapi bayangan rekaman suara Sonia kembali berputar di kepalanya—tawa dingin wanita itu, kalimat “semua harta itu jadi milikku,” dan janji manisnya untuk kabur ke Paris bersama pria lain. Ia meremas jemarinya hingga buku-buku jari memutih. “Apa aku harus kasih tahu Pak Dava… atau tidak?” bisiknya, suara nyaris hilang ditelan dentuman jantungnya sendiri. Suara pintu diketuk membuatnya tersentak. “Yasmin.” Suara bariton itu begitu dikenal. Ia menoleh. Dava berdiri di ambang pintu ruangannya, dengan jas

  • Istri Sah CEO Idaman   Bab 3. Tugas Baru yang Tak Masuk Akal

    “Ma… jangan paksa Dava seperti itu,” suara Leonardo terdengar lirih, seolah menahan letupan emosi. Oma Indira menoleh tajam pada putranya. “Kamu belum tahu seperti apa gadis yang Mama maksud.” Leonardo menghela napas. “Justru karena kita nggak tahu, Ma… aneh kan, Mama bisa-bisanya menjodohkan Dava dengan orang asing?” “Tapi Mama yakin, gadis itu jauh lebih baik daripada perempuan pilihan anakmu.” “Maksud Mama Sonia?” Leonardo menatap ibunya dalam. “Ma… wajar, dia lulusan luar negeri. Pergaulannya beda, caranya bicara juga lain. Tapi itu bukan masalah besar.” Tatapan Oma Indira mengeras. “Kamu berani membantah keputusan Mama?” suaranya meninggi. “Ingat, setiap keputusan Mama selalu yang terbaik. Sama seperti dulu… saat Mama menjodohkan kamu dengan Reyna. Dan lihat sendiri, sampai sekarang kalian tetap baik-baik saja.” “Mama—” “Keputusan Mama nggak bisa diganggu gugat!” Oma Indira beranjak, gaun batiknya berdesir menambah wibawa. Leonardo hanya terdiam. “Bagaimana kala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status