LOGIN“Ada apa Bapak tiba-tiba memanggilku?” suara Yasmin terdengar pelan, tapi cukup bergetar.
Ia berdiri di depan ruangan CEO dengan tangan yang dingin. Di balik pintu itu, ada keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia menelan ludah, lalu mengetuk tiga kali. “Masuk,” suara berat itu langsung memecah kegugupannya. Yasmin melangkah masuk. Aroma khas ruangan Dava—perpaduan kayu jati dan kopi hitam—langsung menyergapnya. Pria itu duduk dengan wajah dingin, jemari mengetuk pelan meja kaca. Tatapannya tajam, seolah bisa menembus pertahanan Yasmin hanya dengan sekali lirikan. “Kamu sudah pikirkan keputusanmu?” tanyanya tanpa basa-basi. Yasmin menarik napas. “Saya… sudah.” Dava mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya semakin menusuk. “Dan?” “Saya… setuju.” Sunyi sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding berdetak lambat. Dava bersandar ke kursinya. Senyum tipis, nyaris sinis, muncul di wajahnya. “Jadi kamu rela menikah denganku dengan syarat yang sudah kuajukan? Tanpa pesta, tanpa pengakuan, tanpa status di mata publik?” Yasmin menggenggam tangannya erat. “Iya. Tapi saya punya satu syarat juga.” Alis Dava terangkat. “Syarat?” “Saya tidak mau menerima uang sepeser pun dari keluarga Anda. Tidak untuk mas kawin yang berlebihan, tidak untuk tunjangan pribadi, tidak untuk gaya hidup. Saya ingin tetap hidup dari gaji saya sendiri.” Dava menatapnya lama. Tatapannya kali ini bukan lagi dingin, melainkan penuh rasa ingin tahu. “Kalau saya menikah, biarlah karena keputusan, bukan karena uang.” Hening lagi. Dava berdiri, berjalan mendekat. Langkah kakinya terdengar berat, membuat jantung Yasmin makin berdebar. “Berani juga kamu memberi syarat pada lelaki sepertiku,” ucapnya pelan, nyaris seperti ejekan. Yasmin mengangkat dagunya sedikit. “Karena kalau tidak ada syarat, saya hanya akan jadi boneka. Dan saya bukan boneka, Pak.” Dava berhenti tepat di hadapannya. Mereka berdiri hanya beberapa langkah terpisah. Untuk pertama kalinya, seulas senyum samar terukir di bibir pria itu—senyum yang sulit ditebak maknanya. “Baik. Aku terima. Kita buat perjanjian tertulis.” Yasmin menghela napas lega, meski kakinya masih gemetar. “Terima kasih.” Namun, sebelum ia sempat mundur, suara Dava kembali terdengar dingin. “Tapi ingat, Yasmin. Pernikahan ini mungkin hanya formalitas bagiku. Tapi sekali kamu melangkah ke dalamnya, tidak ada jalan mundur. Kamu akan tetap jadi istriku… meskipun dunia tidak tahu.” Yasmin menunduk, hatinya terasa terhimpit. “Saya mengerti.” ** Beberapa hari kemudian, Yasmin duduk di ruang keluarga kecilnya. Bu Nur sibuk menyiapkan teh, sementara Pak Hadi membaca koran lusuh dengan kacamata setengah melorot. “Nak, kamu kelihatan pucat sekali,” tegur ibunya sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Kerjaan banyak ya di kantor?” Yasmin memaksakan senyum. “Iya, Bu. Lagi banyak deadline.” Ia tidak berani menceritakan apa pun. Bagaimana bisa ia bilang bahwa sebentar lagi ia akan menikah dengan CEO tempatnya bekerja—dengan pernikahan yang harus dirahasiakan? “Kalau capek, jangan dipaksa,” sahut ayahnya tanpa menoleh dari koran. “Kesehatanmu lebih penting.” “Dan, kalau kamu memang sudah terlampau lelah, tak perlu memaksakan diri untuk tetap tinggal sendiri di kontrakanmu. Pulanglah kesini, pintu rumah Ibu dan Ayah selalu terbuka untukmu.” Kalimat itu menusuk Yasmin. Dengan keadaan hidupnya yang sederhana, Yasmin masih merasa jadi manusia paling beruntung karena ia masih memiliki dunia yang indah, yaitu kedua orangtuanya. “Ya Tuhan…apa yang akan terjadi jika Ayah dan Ibu mengetahui kalau aku akan menikah diam-diam dengan seorang lelaki kaya raya, namun tanpa cinta. Apa semua keputusanku itu akan menghancurkan kebahagiaan mereka?” Gumam Yasmin dalam hatinya. *** Hari penandatanganan perjanjian. Yasmin kembali duduk di ruangan CEO. Di atas meja, ada beberapa lembar dokumen yang disusun rapi. Pengacara keluarga Leonardo juga hadir, bersama asisten pribadi Dava. “Ini kontrak pernikahan kalian,” ucap sang pengacara. “Isinya sesuai kesepakatan: pernikahan dilakukan secara sah menurut hukum, tapi dirahasiakan dari publik. Tidak ada kewajiban finansial dari pihak suami terhadap istri selain kebutuhan dasar pernikahan. Apakah kedua pihak setuju?” Dava mengangguk singkat. “Setuju.” Yasmin menggenggam pena dengan tangan bergetar. Sebelum menandatangani, ia menatap Dava sejenak. “Kalau suatu hari saya ingin keluar dari pernikahan ini?” Dava menatapnya datar. “Tidak ada keluar, Yasmin. Kamu yang bilang sendiri, kamu bukan boneka. Maka bersiaplah menghadapi konsekuensinya.” Yasmin menarik napas panjang. Lalu menandatangani dokumen itu. Dengan satu goresan pena, hidupnya berubah. ** Malamnya, Yasmin berdiri di balkon kamarnya, menatap langit penuh bintang. Angin membawa dingin menusuk, tapi pikirannya lebih dingin lagi. “Apa aku baru saja mengikat diriku dalam sangkar emas?” bisiknya lirih. “Yasmin…belakangan ini Ibu lihat kamu sering melamun dan seperti banyak sekali beban di pikiran mu. Ada apa?” Suara lembut itu membuyarkan lamunan Yasmin. “Ibu…” air mata Yasmin mengalir seketika dan memeluk Ibunya. Pelukan erat pun dibalas Ibunya. Meski tidak tahu banyak, namun Bu Nur merasa putrinya sedang tidak baik-baik saja. “Ada apa nak? Kamu boleh cerita sama Ibu. Ibu pasti akan dengarkan apapun masalahmu.” “Kalau bisa, Ibu akan membantumu mencari jalan keluar dari masalahmu.” “Bu…aku tidak tahu harus mulai bicara darimana. Masalahnya terlalu rumit dan…aku takut mengecewakan Ibu dan Ayah dengan keputusanku.” “Maksud kamu apa Yasmin? Selama ini kamu selalu menjadi anak yang baik, kebanggaan Ayah dan Ibu.” “Bu…sebentar lagi aku akan menikah.” Kalimat itu terlalu berat untuk dikatakan Yasmin pada Bu Nur. Raut wajah Bu Nur seketika berubah menatap Yasmin dengan tatapan penuh tanya. “Menikah? Mendadak seperti ini? Dengan siapa nak?” “Kamu…tidak hamil diluar nikah, kan?” Tanya Bu Nur panik. Yasmin menggeleng kencang kepalanya. “Tidak bu..aku tidak hamil diluar nikah.” Ucapnya sambil menangis tersedu. “Lalu?” “Aku terpaksa mengambil keputusan ini karena keadaan, Bu.” Mendengar kata “Terpaksa” dari mulut Yasmin saja sudah membuat hati Bu Nur mendadak rapuh. “Kenapa? Apa yang membuatmu terpaksa harus cepat-cepat menikah, Yasmin? Kamu sudah tidak tahan dengan keadaan keluarga kita?” “Tidak Bu, bukan begitu juga.” Bantah Yasmin. “Lalu kenapa?” “Aku terpaksa menerima tawaran Oma nya Pak Dava, atasan di kantor tempatku bekerja untuk menikahi cucunya.” “Ya Tuhan…maksudmu, kamu dipaksa dijodohkan sepihak?” Yasmin mengangguk kecil. “Bisa dikatakan seperti itu, Bu.” Bu Nur menghela napas panjang, seolah masih sulit mempercayai pengakuan putrinya. “Nak… Ibu hanya ingin kamu bahagia. Tapi, kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan? Apakah keluarga mereka punya alasan lain memilihmu?” Yasmin tercekat. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. Ia ingin menjawab, tapi bahkan dirinya sendiri belum tahu jawabannya.Suara langkah mendekat terdengar dari arah pintu kaca. Yasmin mengangkat kepala, sedikit terkejut saat melihat Adrian berdiri di sana, menenteng map hitam di tangan.“Permisi,” sapa Adrian dengan senyum sopan. “Boleh aku masuk?”“Oh—ya, tentu. Silakan, Pak Adrian.” Yasmin buru-buru berdiri, merapikan kemejanya.“Jangan terlalu formal begitu, Yasmin. Ini sudah jam istirahat, panggil saja Adrian, seperti dulu,” katanya sambil duduk di kursi depan meja Yasmin.Yasmin tertawa kecil. “Kalau di kantor, aku tetap harus jaga sikap. Lagipula, kita sekarang rekan kerja.”Adrian menatapnya dalam. “Dan dulu, kita apa?”Yasmin menunduk. “Masa lalu.”Keheningan sesaat mengisi ruangan. Adrian membuka mapnya, lalu meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja.“Ini revisi dari Dava. Aku butuh tanda tanganmu di sini, kalau tidak keberatan.”Yasmin mengambil berkas itu. Tapi tangannya sedikit bergetar saa
Lagi-lagi suara ponsel berdering. Kali ini bukan dari ponsel Dava, melainkan dari ponsel Yasmin sendiri. Adrian..nama itu seketika membuat Yasmin terhenyak dan menghapus air matanya. “Assalamu’alaikum…” “Waalaikumsalam, Yasmin. Apa aku mengganggumu?” Suara Adrian yang terdengar lembut di telinga Yasmin, membuatnya ingin meluapkan segala penat yang ia rasakan saat itu, tapi mana mungkin. Sementara…status pernikahannya sendiri dengan Dava tak diketahui siapapun.“Tidak. Ada apa Adrian?”“Yasmin….” suara Adrian tiba-tiba terputus. Ponsel Yasmin direbut Dava tiba-tiba saat ia baru saja keluar dari kamar mandi.“Adrian?” Suara Dava penuh tekanan, matanya terbelalak begitu dekat dengan wajah Yasmin. “Jadi, dia sering menelpon mu di luar jam kerja? Malam-malam begini?” “Kamu tidak sopan sekali, Dava! Kamu tidak berhak merebut ponselku saat aku sedang menelpon!” Yasmin semakin geram menatap wajah Dava. Kharismanya sebagai seorang suami sudah hilang seketika setelah ia mengetahui Dava aka
Suasana rumah malam itu cukup tenang. Yasmin baru saja masuk setelah seharian bekerja, ditambah pertemuan dengan ibunya di kafe. Ia menaruh tas di meja, melepas blazer, lalu duduk sebentar untuk melepas lelah.Tak lama, Dava menyusul, ia pun baru sampai rumah.“Kamu baru pulang?” tanya Dava datar.Yasmin mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Tadi aku sempat ketemu Ibu dulu sebentar. Dia mengajakku ke kafe.”“Ketemu Ibu?” Dava menghentikan langkahnya. “Bicara apa kalian?”“Biasa saja,” jawab Yasmin santai. “Ibu hanya menanyakan kabar rumah tangga kita.” Dava mengerutkan kening. “Bertanya tentang rumah tangga kita? Memangnya kenapa dengan rumah tangga kita?”Yasmin mengangguk lagi. “Iya. Ibu khawatir kalau aku tidak cukup peka padamu. Dia takut kamu—” Yasmin terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “—jatuh ke pelukan perempuan lain.”Dava langsung menegang. “Apa? Ibu berbicara soal itu?”“Ya, itu kekhawatiran Ibu,” jelas Yasmin cepat. “Tapi aku sudah meyakinkan Ibu. Aku bilang kamu l
Bu Salma muncul dengan langkah hati-hati. Wanita itu tersenyum tipis ketika menemui putrinya, Yasmin di sebuah Cafe sore itu.“Yasmin… sudah lama menunggu?” tanya Bu Salma sambil duduk di hadapan putrinya. Sebelumnya, Bu Salma sengaja meminta Yasmin untuk bertemu.“Tidak, Bu. Aku juga baru sampai,” jawab Yasmin lembut. “Ibu kelihatan capek. Dari butik, ya?”“Iya.” Bu Salma menaruh tas kecilnya di kursi. “Pekerjaan sedang banyak. Tapi tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja.”Yasmin mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu. Tidak usah khawatir.”Sejenak keheningan tercipta. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan cangkir dari meja lain terdengar. Bu Salma menarik napas panjang, lalu menatap Yasmin dengan mata yang bergetar.“Yasmin…” suara Bu Salma terdengar hati-hati. “Ibu ingin tanya sesuatu.”Yasmin menegakkan tubuhnya. “Tanya apa, Bu?”“Rumah tanggamu dengan Dava…” Bu Salma menelan ludah. “Apakah semuanya baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Yasmin terdiam. Ia menatap wajah ibuny
Di luar butik, Bu Salma berdiri dengan gemetar, matanya merah karena tangis yang ditahan. Dava berhasil menyusul, menarik napas tersengal.“Bu… tolong, dengarkan dulu. Jangan bawa ini ke keluarga. Jangan sampai Yasmin tahu.”Bu Salma menoleh, menatapnya dengan pandangan penuh luka. “Apa kamu tega mengatakannya padaku seperti itu? Kamu ingin aku diam? Kamu ingin aku berpura-pura tidak melihat kenyataan kalau menantuku sedang berselingkuh dan akan menikah dengan perempuan lain?!”Dava menggenggam tangan mertuanya. “Bu, saya mohon. Ini semua belum pasti. Saya hanya… terjebak. Saya tidak ingin semua semakin kacau.”“Tidak ingin semuanya semakin kacau?! Saya tidak menyangka punya menantu pengecut seperti kamu!” suara Bu Salma pecah. “Kamu sudah melukai putriku, Dava! Sejak pertama kali kamu biarkan perempuan itu masuk ke hidupmu, kamu sudah menghancurkan hati anakku!”“Meskipun pernikahan kalian terpaksa karena perjodohan Nyonya Indira, dan mungkin tanpa cinta. Tapi bukan berarti kamu bi
“Sayang… ayo cepat, aku ingin lihat koleksi terbaru mereka.” Sonia menarik lengan Dava begitu memasuki butik pengantin yang mewah itu. Kristal lampu gantung berkilau, gaun-gaun putih berjajar indah di balik kaca.Dava menahan napas panjang. “Sonia, bukankah aku sudah bilang? Pernikahan kita hanya acara kecil, tidak perlu ribet memilih gaun.”Sonia mendengus, melepas genggaman tangannya. “Kamu pikir aku akan menikah diam-diam dengan tampilan seadanya? Tidak, Dava. Sekecil apapun acaranya, aku tetap ingin terlihat seperti ratu.”Dava tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Sonia yang berjalan anggun dengan sepatu hak tingginya, berbicara kepada pramuniaga butik.“Selamat siang, saya ingin mencoba koleksi terbaru gaun pernikahan. Bisa tolong bawakan yang ukuran badan saya?” Sonia menyebutkan detail ukuran tubuhnya.Pramuniaga tersenyum ramah,“Boleh mbak, mari ikut saya..” pramuniaga itu lalu berlalu ke bagian belakang bersama Sonia.“Kamu tunggu disini ya sayang..” Dava menghela napas lag







