Lobi kantor sore itu tidak seramai biasanya. Yasmin baru saja melangkah keluar dari lift ketika seorang pria berjas hitam menghampirinya.
“Maaf, Anda Yasmin?” tanyanya sopan. Yasmin menoleh, ragu. “Iya… ada apa, Pak?” “Saya sopir pribadi Nyonya Indira. Beliau meminta saya menjemput Anda. Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.” Degup jantung Yasmin langsung berderap. Nama itu membuatnya tercekat. Nenek Dava? Tanpa banyak bertanya, ia mengikuti sopir itu menuju sebuah restoran mewah milik keluarga Leonardo. Di ruangan privat yang tenang dan elegan, Oma Indira sudah menunggunya dengan senyum hangat. “Yasmin, kemarilah. Anggap saja aku Oma kamu sendiri.” Pertemuan itu berjalan lebih lembut dari yang Yasmin bayangkan. “Yasmin, Oma dengar kamu sudah menyetujui persyaratan dari Dava untuk menjadi calon istrinya, apa itu benar?” “Betul Oma. Tempo hari saya sudah menandatangani perjanjian tersebut.” “Syukurlah. Oma lega mendengarnya. Itu artinya, acara pernikahan kalian akan segera dilangsungkan.” Meski berat, Yasmin mengangguk setuju. Senyum tulus Oma, genggaman tangannya yang hangat, membuat Yasmin merasa diterima—meski ia tahu, mulai hari ini hidupnya akan penuh rahasia. Namun Yasmin juga sadar: ada alasan besar di balik pilihan Oma Indira. Alasan yang belum pernah diucapkan secara terang-terangan. *** Beberapa waktu kemudian di ruang kerja Dava, suasana berbeda. Sonia tiba-tiba muncul dengan blazer putih elegan, menatap Dava dengan senyum manja. “Sayang, surprise!” Dava mendongak dari laptopnya. Biasanya ia akan membalas dengan senyum tipis, tapi kali ini ekspresinya dingin. Sonia merasakannya—ada jarak yang belum pernah ada sebelumnya. Tak lama, pintu diketuk. Yasmin masuk, membawa map cokelat. “Permisi, Pak. Ini dokumen yang Anda minta.” Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat Sonia duduk di meja kerja Dava. Yasmin menunduk sopan, menutupi kegugupannya. “Kenapa baru sekarang?” suara Dava terdengar tegas. “Saya mohon maaf, Pak. Ada beberapa urusan di luar kantor.” Jawaban aman, tapi hatinya berdegup. Ia tidak bisa menceritakan pertemuannya dengan Oma Indira. Sonia menyeringai tipis. “Yasmin, ya? Lagi-lagi aku melihatmu untuk menemui Dava, kalau tidak…kamu habis menemui Dava.” “Kurasa..sekertaris lain tidak sesering ini keluar-masuk ruang CEO.” Lanjut Sonia. Yasmin menahan diri, ia tetap tersenyum sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Bu.” Tatapan tajam Sonia seperti menguji, sementara Dava diam, hanya memandangi Yasmin dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ketika Yasmin pamit, Dava tiba-tiba menahannya. “Yasmin… apa benar tidak ada alasan lain kamu terlambat menyerahkan dokumen itu?” Yasmin menelan ludah. Sebuah jeda singkat terasa begitu panjang. Lalu ia menjawab tenang, “Tidak ada, Pak. Hanya pekerjaan tambahan dari divisi lain.” Dava menatapnya lebih lama dari biasanya, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. Yasmin keluar, menutup pintu perlahan. Dari balik celah terakhir sebelum pintu tertutup, ia sempat melihat Sonia menatap Dava dengan sorot curiga, sementara Dava sendiri justru termenung, matanya kosong. “Sayang, apa dia menarik dimatamu?” Tanya Sonia penuh curiga. “Kamu ini nanya apa sih? Mana mungkin aku tertarik sama dia. Dia hanya sekertarisku.” “Tapi…hatiku berkata lain.” Sahut Sonia sambil menyodorkan wajahnya mendekati Dava dengan agresif. “Tidak sayang, kamu jangan berpikir yang macam-macam.” Bantah Dava gugup. “Kalau sampai Sonia tahu apa yang sebenarnya terjadi, semuanya bisa berantakan.” Batin Dava. Raut wajahnya berusaha menghindar dari tatapan Sonia yang begitu dekat. “Kenapa sih kamu kelihatan gak nyaman gitu sayang?” Tanya Sonia. “Jangan bersikap seperti ini di ruanganku, Sayang.” “Tapi kita sudah lama…” rengek Sonia manja. “Ya…tapi tidak disini sekarang. Ini kantor, dan masih jam kerja, sayang.” Dava memberanikan diri menjauhkan tubuhnya dari Sonia. Sikap Dava tentu membuat Sonia kesal. “Aku curiga kamu sedang dekat kan dengan perempuan lain? Buktinya sikap kamu sama aku saja berubah tidak seperti dulu. Ada apa sih?” “Tidak, sayang…tidak ada perempuan manapun yang mendekatiku. Percayalah. Aku hanya sedang banyak sekali pekerjaan.” “Benarkah seperti itu, Dava?” “Percayalah Dava, jika Jika ada perempuan lain yang mencoba merebutmu dariku… dia akan menyesal.” Tangannya mengepal di pangkuan, dan dalam diam ia sudah menetapkan tekad.“Pernikahan ini harus dilakukan secara diam-diam. Tidak ada pesta, tidak ada publikasi, bahkan tidak ada cincin yang harus dipamerkan,” suara Dava terdengar dingin, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya lurus ke arah Oma Indira, tanpa goyah sedikit pun. Oma Indira meletakkan cangkir tehnya dengan suara kecil "ting", matanya menajam. “Kamu sadar kamu bicara soal pernikahan, Dava? Yasmin itu calon istrimu, bukan pegawai kontrak yang bisa kamu sembunyikan di balik rapat perusahaan.” Yasmin menunduk, jemarinya saling mengait di pangkuan. Degup jantungnya terdengar lebih keras daripada denting sendok di ruangan privat itu. “Aku tidak mau Sonia tahu tentang ini,” Dava akhirnya bicara, nadanya datar. “Dava!” suara Oma meninggi, menahan amarah. “Kamu masih berani menyebut nama perempuan itu di depan Yasmin? Di depan gadis yang sudah berkorban begitu banyak demi keluarga ini?” Yasmin mendongak sekilas, menatap Dava, lalu kembali menunduk. Nama Sonia seolah selalu membayangi hidupnya.
“Besok malam, kamu ikut aku ke vila,” suara Dava tiba-tiba terdengar di ujung telepon. Nada suaranya dingin, tapi Yasmin bisa merasakan ada ketegangan terselip di baliknya.“Vila…? Untuk apa?” Yasmin berusaha terdengar tenang, meski dadanya berdebar.“Pertemuan keluarga. Oma ingin bicara detail tentang pernikahan kita. Kamu harus ada di sana.”Yasmin tercekat. Kata pernikahan itu lagi-lagi menghantam jantungnya.“Dava… apa kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku—”“Yasmin.” Suaranya berat, memotong kalimatnya. “Kamu sudah menandatangani perjanjian itu. Tidak ada jalan mundur.”Yasmin menggenggam ponselnya lebih erat. “Tapi… bagaimana dengan keluargaku? Mereka belum tahu apa-apa.”“Akan ada waktunya. Untuk sekarang, cukup lakukan perintahku.”Hening. Hanya napas Yasmin yang terdengar putus-putus.“Dava, kamu tidak bisa terus memperlakukanku seperti apa yang kamu inginkan. Aku manusia, bukan pion catur.”Dava terdiam sesaat, lalu suaranya melunak.“Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu
Lobi kantor sore itu tidak seramai biasanya. Yasmin baru saja melangkah keluar dari lift ketika seorang pria berjas hitam menghampirinya.“Maaf, Anda Yasmin?” tanyanya sopan.Yasmin menoleh, ragu. “Iya… ada apa, Pak?”“Saya sopir pribadi Nyonya Indira. Beliau meminta saya menjemput Anda. Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.”Degup jantung Yasmin langsung berderap. Nama itu membuatnya tercekat. Nenek Dava?Tanpa banyak bertanya, ia mengikuti sopir itu menuju sebuah restoran mewah milik keluarga Leonardo.Di ruangan privat yang tenang dan elegan, Oma Indira sudah menunggunya dengan senyum hangat.“Yasmin, kemarilah. Anggap saja aku Oma kamu sendiri.”Pertemuan itu berjalan lebih lembut dari yang Yasmin bayangkan. “Yasmin, Oma dengar kamu sudah menyetujui persyaratan dari Dava untuk menjadi calon istrinya, apa itu benar?”“Betul Oma. Tempo hari saya sudah menandatangani perjanjian tersebut.” “Syukurlah. Oma lega mendengarnya. Itu artinya, acara pernikahan kalian akan segera dil
“Ada apa Bapak tiba-tiba memanggilku?” suara Yasmin terdengar pelan, tapi cukup bergetar.Ia berdiri di depan ruangan CEO dengan tangan yang dingin. Di balik pintu itu, ada keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia menelan ludah, lalu mengetuk tiga kali.“Masuk,” suara berat itu langsung memecah kegugupannya.Yasmin melangkah masuk. Aroma khas ruangan Dava—perpaduan kayu jati dan kopi hitam—langsung menyergapnya. Pria itu duduk dengan wajah dingin, jemari mengetuk pelan meja kaca. Tatapannya tajam, seolah bisa menembus pertahanan Yasmin hanya dengan sekali lirikan.“Kamu sudah pikirkan keputusanmu?” tanyanya tanpa basa-basi.Yasmin menarik napas. “Saya… sudah.”Dava mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya semakin menusuk. “Dan?”“Saya… setuju.”Sunyi sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding berdetak lambat.Dava bersandar ke kursinya. Senyum tipis, nyaris sinis, muncul di wajahnya. “Jadi kamu rela menikah denganku dengan syarat yang sudah kuajukan? Tanpa pesta, tanpa peng
“Berhenti ikut campur, sebelum kamu menyesal.” Pesan itu muncul begitu saja di layar ponsel Yasmin, tepat ketika ia sedang membereskan meja kerjanya sore itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar, hampir saja menjatuhkan ponsel. Ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan. Tapi ruang kerja terasa terlalu sunyi. Sunyi yang justru menekan. "Siapa yang mengirim ini? Sonia? Atau seseorang yang tahu aku merekam mereka?" Yasmin buru-buru mengunci ponselnya. Tapi bayangan rekaman suara Sonia kembali berputar di kepalanya—tawa dingin wanita itu, kalimat “semua harta itu jadi milikku,” dan janji manisnya untuk kabur ke Paris bersama pria lain. Ia meremas jemarinya hingga buku-buku jari memutih. “Apa aku harus kasih tahu Pak Dava… atau tidak?” bisiknya, suara nyaris hilang ditelan dentuman jantungnya sendiri. Suara pintu diketuk membuatnya tersentak. “Yasmin.” Suara bariton itu begitu dikenal. Ia menoleh. Dava berdiri di ambang pintu ruangannya, dengan jas
“Ma… jangan paksa Dava seperti itu,” suara Leonardo terdengar lirih, seolah menahan letupan emosi. Oma Indira menoleh tajam pada putranya. “Kamu belum tahu seperti apa gadis yang Mama maksud.” Leonardo menghela napas. “Justru karena kita nggak tahu, Ma… aneh kan, Mama bisa-bisanya menjodohkan Dava dengan orang asing?” “Tapi Mama yakin, gadis itu jauh lebih baik daripada perempuan pilihan anakmu.” “Maksud Mama Sonia?” Leonardo menatap ibunya dalam. “Ma… wajar, dia lulusan luar negeri. Pergaulannya beda, caranya bicara juga lain. Tapi itu bukan masalah besar.” Tatapan Oma Indira mengeras. “Kamu berani membantah keputusan Mama?” suaranya meninggi. “Ingat, setiap keputusan Mama selalu yang terbaik. Sama seperti dulu… saat Mama menjodohkan kamu dengan Reyna. Dan lihat sendiri, sampai sekarang kalian tetap baik-baik saja.” “Mama—” “Keputusan Mama nggak bisa diganggu gugat!” Oma Indira beranjak, gaun batiknya berdesir menambah wibawa. Leonardo hanya terdiam. “Bagaimana kala