Masuk“Besok malam, kamu ikut aku ke vila,” suara Dava tiba-tiba terdengar di ujung telepon. Nada suaranya dingin, tapi Yasmin bisa merasakan ada ketegangan terselip di baliknya.
“Vila…? Untuk apa?” Yasmin berusaha terdengar tenang, meski dadanya berdebar. “Pertemuan keluarga. Oma ingin bicara detail tentang pernikahan kita. Kamu harus ada di sana.” Yasmin tercekat. Kata pernikahan itu lagi-lagi menghantam jantungnya. “Dava… apa kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku—” “Yasmin.” Suaranya berat, memotong kalimatnya. “Kamu sudah menandatangani perjanjian itu. Tidak ada jalan mundur.” Yasmin menggenggam ponselnya lebih erat. “Tapi… bagaimana dengan keluargaku? Mereka belum tahu apa-apa.” “Akan ada waktunya. Untuk sekarang, cukup lakukan perintahku.” Hening. Hanya napas Yasmin yang terdengar putus-putus. “Dava, kamu tidak bisa terus memperlakukanku seperti apa yang kamu inginkan. Aku manusia, bukan pion catur.” Dava terdiam sesaat, lalu suaranya melunak. “Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu, Yasmin… ini bukan hanya soal aku atau kamu. Pernikahan ini adalah persetujuan semua pihak, jadi kamu jangan coba main-main.” “Aku tidak sedang mempermainkan semua ini, aku hanya_” bantah Yasmin. “Cukup! Jangan banyak membantah.” Dava menutup pembicaraan. *** Malam itu Yasmin duduk di tepi ranjang, menatap foto lama ayah dan ibunya. Jemarinya bergetar menyentuh bingkai kayu yang mulai usang. “Ayah, Ibu… apa aku sudah salah jalan?” Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Pesan masuk. Nadine, “Yasmin, hati-hati. Kamu pikir kamu bisa dengan leluasa memanfaatkan keadaan supaya bisa dekat dengan Dava, tapi percayalah padaku, Sonia tidak akan diam saja seandainya mengetahui kedekatan kalian.” Jantung Yasmin seakan melompat ke tenggorokan. Ia membaca pesan itu berkali-kali, tak percaya. Balasan cepat meluncur dari jari Yasmin, “Apa maksudmu, Nad? Aku dan Pak Dava dekat hanya sekedar staff dan atasan, kami tidak ada hubungan lebih.” Balasan masuk hampir seketika. “Aku hanya sekedar mengingatkan kamu saja, Yas.” Deg. Tubuh Yasmin merinding. “Nadine? Apa dia mulai curiga dengan kedekatanku dengan Pak Dava? Tidak…tidak mungkin, dan jangan sampai..” batin Yasmin. Matanya beralih ke foto ayah dan ibunya di meja. Kata-kata Nadine bergema di kepalanya. Apa itu ancaman? Atau sekedar peringatan? Tangan Yasmin bergetar saat mengetik lagi. “Kenapa kamu memperingatkan aku seperti itu?” Titik tiga tanda mengetik muncul. Tapi kemudian menghilang. Tidak ada balasan lagi. Yasmin menatap layar ponselnya yang kembali sunyi, rasa cemas menggerogoti dadanya. “Ya Tuhan…” bisiknya, tubuhnya lemas. “Apa sebenarnya yang dimaksud Nadine? Kenapa tiba-tiba dia mencampuri urusanku dengan Dava?” Tengah malam. Ponsel Yasmin kembali bergetar. Kali ini, panggilan suara masuk. Nama di layar membuatnya tertegun. Dava. Dengan ragu, ia mengangkat. “Ya… Pak Dava?” Hening beberapa detik, hanya terdengar helaan napas pria itu. “Kamu baik-baik saja?” Pertanyaan sederhana, tapi justru membuat Yasmin tercekat. Selama ini, ia jarang mendengar Dava bertanya soal dirinya. “Kenapa kamu tanya begitu?” suaranya pelan. “Aku… hanya ingin memastikan. Besok akan berat. Aku tidak mau kamu goyah di depan keluarga besarku.” Nada Dava terdengar tulus. Tapi Yasmin tidak bisa menahan amarah kecilnya. “Berat untuk siapa, Dava? Untukmu… atau untukku?” Keheningan kembali. Lalu, suara Dava terdengar lebih dalam. “Aku tahu aku salah. Aku menyeretmu ke dalam situasi ini tanpa memberi pilihan. Tapi aku ingin kamu percaya… aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, apalagi menyakitimu.” “Tidak berniat?” Yasmin menahan tangis, tapi suaranya bergetar. “Kamu menyuruhku menikah diam-diam, menyembunyikan semua dari keluarga lain dan teman-temanku. Kamu bahkan tidak memberiku kesempatan untuk mempertimbangkan lagi lebih lama. Kalau itu bukan menyakitiku, lalu apa?” Dava menarik napas panjang di seberang. “Pernikahan ini tidak aku inginkan, Yasmin. Jadi tolong, jangan berharap lebih.” “Ya, tentu saja,” Yasmin memotong cepat. “Aku memang tidak pernah berharap banyak. Tapi setidaknya, Pak Dava tahu kalau aku juga manusia yang punya hati.” Kali ini Dava terdiam cukup lama. Suaranya nyaris seperti bisikan saat akhirnya menjawab, “Punya hati? Apa kamu mulai mencintaiku?” Deg. Kata-kata itu menghantam keras dada Yasmin. “Mencintaimu? Anda pikir, saya ini perempuan seperti apa? Maaf, saya bukan tipe perempuan yang mudah mencintai seseorang.” Sejenak mulut Yasmin terkunci, hening di kedua sambungan telpon itu. Lalu terdengar suara berat Dava lagi, sangat rendah. “Baguslah kalau begitu. Memang itu yang aku harapkan. Kamu, tidak perlu menggunakan hatimu dalam hubungan kita ini.” Klik. Sambungan terputus begitu saja. Yasmin menatap layar ponsel yang kembali gelap, tubuhnya lemas seakan tak bertulang. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena emosi yang tertahan—tapi juga karena perasaan aneh yang ia sendiri enggan akui. Ia terjatuh di ranjang, menatap langit-langit kamar. Pesan Nadine, kata-kata Dava, pesan Oma Indira… semuanya berputar-putar di kepalanya. Mata yang enggan terpejam, tiba-tiba terlintas wajah kedua orangtuanya. “Ayah, Ibu, bagaimana aku menyampaikan semua ini pada kalian? Membayangkannya saja aku tidak sanggup.” Batin Yasmin bergumam.Suara langkah mendekat terdengar dari arah pintu kaca. Yasmin mengangkat kepala, sedikit terkejut saat melihat Adrian berdiri di sana, menenteng map hitam di tangan.“Permisi,” sapa Adrian dengan senyum sopan. “Boleh aku masuk?”“Oh—ya, tentu. Silakan, Pak Adrian.” Yasmin buru-buru berdiri, merapikan kemejanya.“Jangan terlalu formal begitu, Yasmin. Ini sudah jam istirahat, panggil saja Adrian, seperti dulu,” katanya sambil duduk di kursi depan meja Yasmin.Yasmin tertawa kecil. “Kalau di kantor, aku tetap harus jaga sikap. Lagipula, kita sekarang rekan kerja.”Adrian menatapnya dalam. “Dan dulu, kita apa?”Yasmin menunduk. “Masa lalu.”Keheningan sesaat mengisi ruangan. Adrian membuka mapnya, lalu meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja.“Ini revisi dari Dava. Aku butuh tanda tanganmu di sini, kalau tidak keberatan.”Yasmin mengambil berkas itu. Tapi tangannya sedikit bergetar saa
Lagi-lagi suara ponsel berdering. Kali ini bukan dari ponsel Dava, melainkan dari ponsel Yasmin sendiri. Adrian..nama itu seketika membuat Yasmin terhenyak dan menghapus air matanya. “Assalamu’alaikum…” “Waalaikumsalam, Yasmin. Apa aku mengganggumu?” Suara Adrian yang terdengar lembut di telinga Yasmin, membuatnya ingin meluapkan segala penat yang ia rasakan saat itu, tapi mana mungkin. Sementara…status pernikahannya sendiri dengan Dava tak diketahui siapapun.“Tidak. Ada apa Adrian?”“Yasmin….” suara Adrian tiba-tiba terputus. Ponsel Yasmin direbut Dava tiba-tiba saat ia baru saja keluar dari kamar mandi.“Adrian?” Suara Dava penuh tekanan, matanya terbelalak begitu dekat dengan wajah Yasmin. “Jadi, dia sering menelpon mu di luar jam kerja? Malam-malam begini?” “Kamu tidak sopan sekali, Dava! Kamu tidak berhak merebut ponselku saat aku sedang menelpon!” Yasmin semakin geram menatap wajah Dava. Kharismanya sebagai seorang suami sudah hilang seketika setelah ia mengetahui Dava aka
Suasana rumah malam itu cukup tenang. Yasmin baru saja masuk setelah seharian bekerja, ditambah pertemuan dengan ibunya di kafe. Ia menaruh tas di meja, melepas blazer, lalu duduk sebentar untuk melepas lelah.Tak lama, Dava menyusul, ia pun baru sampai rumah.“Kamu baru pulang?” tanya Dava datar.Yasmin mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Tadi aku sempat ketemu Ibu dulu sebentar. Dia mengajakku ke kafe.”“Ketemu Ibu?” Dava menghentikan langkahnya. “Bicara apa kalian?”“Biasa saja,” jawab Yasmin santai. “Ibu hanya menanyakan kabar rumah tangga kita.” Dava mengerutkan kening. “Bertanya tentang rumah tangga kita? Memangnya kenapa dengan rumah tangga kita?”Yasmin mengangguk lagi. “Iya. Ibu khawatir kalau aku tidak cukup peka padamu. Dia takut kamu—” Yasmin terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “—jatuh ke pelukan perempuan lain.”Dava langsung menegang. “Apa? Ibu berbicara soal itu?”“Ya, itu kekhawatiran Ibu,” jelas Yasmin cepat. “Tapi aku sudah meyakinkan Ibu. Aku bilang kamu l
Bu Salma muncul dengan langkah hati-hati. Wanita itu tersenyum tipis ketika menemui putrinya, Yasmin di sebuah Cafe sore itu.“Yasmin… sudah lama menunggu?” tanya Bu Salma sambil duduk di hadapan putrinya. Sebelumnya, Bu Salma sengaja meminta Yasmin untuk bertemu.“Tidak, Bu. Aku juga baru sampai,” jawab Yasmin lembut. “Ibu kelihatan capek. Dari butik, ya?”“Iya.” Bu Salma menaruh tas kecilnya di kursi. “Pekerjaan sedang banyak. Tapi tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja.”Yasmin mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu. Tidak usah khawatir.”Sejenak keheningan tercipta. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan cangkir dari meja lain terdengar. Bu Salma menarik napas panjang, lalu menatap Yasmin dengan mata yang bergetar.“Yasmin…” suara Bu Salma terdengar hati-hati. “Ibu ingin tanya sesuatu.”Yasmin menegakkan tubuhnya. “Tanya apa, Bu?”“Rumah tanggamu dengan Dava…” Bu Salma menelan ludah. “Apakah semuanya baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Yasmin terdiam. Ia menatap wajah ibuny
Di luar butik, Bu Salma berdiri dengan gemetar, matanya merah karena tangis yang ditahan. Dava berhasil menyusul, menarik napas tersengal.“Bu… tolong, dengarkan dulu. Jangan bawa ini ke keluarga. Jangan sampai Yasmin tahu.”Bu Salma menoleh, menatapnya dengan pandangan penuh luka. “Apa kamu tega mengatakannya padaku seperti itu? Kamu ingin aku diam? Kamu ingin aku berpura-pura tidak melihat kenyataan kalau menantuku sedang berselingkuh dan akan menikah dengan perempuan lain?!”Dava menggenggam tangan mertuanya. “Bu, saya mohon. Ini semua belum pasti. Saya hanya… terjebak. Saya tidak ingin semua semakin kacau.”“Tidak ingin semuanya semakin kacau?! Saya tidak menyangka punya menantu pengecut seperti kamu!” suara Bu Salma pecah. “Kamu sudah melukai putriku, Dava! Sejak pertama kali kamu biarkan perempuan itu masuk ke hidupmu, kamu sudah menghancurkan hati anakku!”“Meskipun pernikahan kalian terpaksa karena perjodohan Nyonya Indira, dan mungkin tanpa cinta. Tapi bukan berarti kamu bi
“Sayang… ayo cepat, aku ingin lihat koleksi terbaru mereka.” Sonia menarik lengan Dava begitu memasuki butik pengantin yang mewah itu. Kristal lampu gantung berkilau, gaun-gaun putih berjajar indah di balik kaca.Dava menahan napas panjang. “Sonia, bukankah aku sudah bilang? Pernikahan kita hanya acara kecil, tidak perlu ribet memilih gaun.”Sonia mendengus, melepas genggaman tangannya. “Kamu pikir aku akan menikah diam-diam dengan tampilan seadanya? Tidak, Dava. Sekecil apapun acaranya, aku tetap ingin terlihat seperti ratu.”Dava tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Sonia yang berjalan anggun dengan sepatu hak tingginya, berbicara kepada pramuniaga butik.“Selamat siang, saya ingin mencoba koleksi terbaru gaun pernikahan. Bisa tolong bawakan yang ukuran badan saya?” Sonia menyebutkan detail ukuran tubuhnya.Pramuniaga tersenyum ramah,“Boleh mbak, mari ikut saya..” pramuniaga itu lalu berlalu ke bagian belakang bersama Sonia.“Kamu tunggu disini ya sayang..” Dava menghela napas lag







