Airina mengerutkan kening. “Maaf, Nona. Siapa yang Anda maksud pelacur itu?” balasnya kesal.
Seketika Gamma menarik tubuh Airina. Tangannya bahkan menarik rambut Airina dengan kuat.
“Bodoh, pelacur itu kau!” tunjuk Gemma pada Airina, “perebut tunangan orang sama saja dengan pelacur murahan! Dengan penampilanmu yang seperti gelandangan, Arsen pasti tak tertarik denganmu jika kamu tidak melemparkan tubuhmu, kan?!”
“Hei, wanita murahan!" tambahnya lagi, "akan kupastikan kau menjauh dari sisi Arsen karena--""Arrgh," pekik Airina menahan sakit. Namun, baru saja ia ingin membalas, Arsen tiba-tiba datang.
"Gemma, hentikan!” teriaknya.
Kedatangan Arsen sontak membuat Gemma melepaskan cengkramannya dari rambut Airina.Secepat kilat, wajah Gemma berubah sangat memelas dan seolah sangat tidak berdosa.
“Darl, pelacurmu itu yang memulai dulu, A-aku hanya memberinya pelajaran,” jelas Gemma dengan suara yang dibuat-buat.‘Huek,’ gumam Airina dalam hati. Rasanya, dia ingin membalas jambakan Gemma jika wanita itu dalam keadaan sadar.Sementara itu, Arsen menahan senyum melihat ketenangan Airina.Dia pun berdiri di samping istri kontraknya itu dan merangkulnya mesra. “Wanita yang kau sebut pelacur itu istriku. Sekali kau mengganggunya, kau akan tahu akibatnya!”Gemma sontak seperti cacing kepanasan. “Tapi, Darl. Dia tidak lebih cantik dari aku, lihatlah penampilannya itu sangat … kampungan!” ujarnya tak terima, "kau pasti bercanda, kan agar aku cemburu?""Tidak mungkin dia istrimu!" bentaknya lagi.Arsen menatap dingin mantan tunangannya itu. “Mau dia kampungan atau apa pun itu, bukan urusanmu, Nona Gemma! Silakan keluar dari apartement saya, atau saya akan memanggil peihak berwajib!” gertaknya.Namun, Gemma adalah Gemma. Dia masih keras kepala dan merasa Arsen miliknya.
Bosan melihat pemandangan di depannya, Airina sontak ke dalam rumah.
Diambilnya buku nikah yang baru saja mereka dapatkan, lalu memberikannya pada Gemma. "Kurasa kau tidak bodoh, kan?" ucap Airina tegas.
Melihat itu, mata Gemma membulat.
“I-ini pasti bohong ‘kan, Darl?” tanya Gemma dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "ini akal-akalan jalang ini, ‘kan?” suara Gemma yang bergetar penuh kesedihan.
Arsen meraih pinggang Airina, memeluk erat tubuh ramping istri kontraknya itu.
“Aku tidak perlu memberikan jawaban atas pertanyaanmu, buku nikah itu adalah bukti kami sudah sah menjadi suami istri,” jelas Arsen tegas.
“Sadar, Gemma! Keluarga Pinault sudah memutuskan pertunangan bisnis dengan keluarga Dassault,” tambahnya dengan tegas.
Mendengar itu, Gemma tampak semakin emosi. Tanpa diduga, ia berlari ke arah Airina dan melayangkan sebuah tamparan keras.
Plak!
“Dasar murahan!” pekik Gemma dengan penuh emosi.
Airina menyentuh pipinya yang kini merah, menahan sakit pada pipinya yang kini teramat nyeri.
Sementara itu, wajah Arsen mengeras.
Ditariknya paksa tangan Gemma dan menjauh dari Airina. "Keluar sekarang kalau kau tak mau keluargamu kubuat miskin."
Gemma terdiam.
Itu pertama kalinya seorang Arsen tampak sangat menakutkan.
Seketika wanita itu sadar posisinya. Sembari berpura-pura menangis, Gemma melangkahkan kakinya keluar dari kawasan apartemen itu.
“Lihat saja, Arsen! Kau hanya boleh jadi milikku!” pekiknya tak mempedulikan orang-orang memperhatikan dirinya.****"Jalang?" lirih Airina pelan, "pelacur?"Entah mengapa malam itu, mata Airina enggan terpejam. Kata pelacur masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ternyata menikah dengan Tuan muda Pinault tidak segampang yang dia mudah.
Dia pikir ini hanya melibatkan dirinya dan Arsen saja. Ternyata, mantan tunangan pria itu ingin ikut di dalamnya.
“Huh! Aku sebenarnya bisa menuntut ganti rugi atas pelecehan secara verbal dari Nona Gemma!” gumamnya kesal.Berbagai rencana untuk membalas tindakan Gemma ada di angan Airina.Sayangnya, ia sadar bahwa itu tak mungkin dilakukan.
Jadi, Airina pun beranjak dari ranjang.
Kriet!
Tangannya memegang erat kenop pintu yang kini tertutup rapat.Namun, baru saja membalikan badan, Airina melihat Arsen yang sudah berdiri di depan pintu dengan piyama yang sedikit terbuka.
Dada bidang dan perut kotak-kotak suami kontraknya itu bahkan terlihat.
“Airina …?”
Tanpa diduga, Arsen tiba-tiba menggenggam tangan Airina dan membawanya duduk di ruang tamu.
“Jadi?” tegasnya dengan tatapan intens.
“Ehem," deham Airina mencoba tenang, "mungkin, ini terkesan lancang. Namun, aku ingin meminta uang dukungan di luar gaji pernikahan kontrak!” jawabnya dengan tegas.Melihat Arsen hanya menaikkan alis, Gemma pun menambahkan, “Aku merasa dilecehkan secara verbal oleh Nona Gemma, yang menganggap aku ini pelacur.”
Airina menunduk. Dia sudah siap bila Arsen akan mengatainya atau menganggapnya matre.
Namun, pria itu justru mengeluarkan selembar kertas putih dan bolpoin di atas meja. “Tulis di sini apa yang kau mau!” tegasnya.
Mata Airina membulat. “Semudah itu?” tanyanya tak percaya. “Apa kalau aku minta separuh dari hartamu, kau akan memberikannya?”“Mungkin?" ucap Arsen, "bukankah harta suami artinya harta milik istrinya jjuga?"
"Hah?" beo Airina tanpa sadar.
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t