Gugun keluar dari kamar dikawal Ainun. Dia masih rungau. Langkahnya pun sempoyongan. Gugun tertegun. Memandangi wajah Haidar dan Clarissa yang menghujaninya dengan tatapan penuh amarah. Lagi-lagi dia merasa déjà vu. “Mas!” Ainun segera menangkap tubuh Gugun yang terhuyung ke belakang sambil memegangi kepala. Agnes yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu tergabas keluar begitu mendengar pekik Ainun. “Aku yang membawa Aksa pulang, Om!” tegasnya setelah melirik wajah pucat Gugun dalam papahan Ainun. Dia tidak ingin Ainun menjadi korban amarah Haidar dan Clarissa atas apa yang telah dilakukannya. Haidar meneleng dengan mata menyipit. “Kalau nanti kau sudah merasa lebih baik, temui papa secepatnya!” Tampak jelas Haidar berusaha menahan gejolak emosinya. Dia mencuri pandang pada Agnes sekilas, sebelum berbalik dan berjalan menuruni tangga. Clarissa mengekor di belakangnya. 'Sial! Kenapa juga istri muda Aksa harus ikut campur?' dumel Clarissa dalam hati. Menoleh pada Agnes, lalu be
“Papa memanggilku?” tanya Aksa begitu tiba di hadapan orang tuanya. Dia tegak tidak jauh dari sofa yang diduduki Haidar. Sementara Agnes, selangkah di belakangnya dan sedikit ke kiri. Berjarak sekitar satu meter dari Ainun yang berada di sisi kanan Aksa. Haidar meletakkan lembaran koran sore yang dibacanya. Dia mendongak dengan wajah menegang. “Pilih satu dari mereka!” titah Haidar tanpa tedeng aling-aling. Melirik sekilas pada Ainun dan Agnes bergantian. Aksa terperangah. “Maksud Papa?” Haidar menyilangkan kaki. Melendehkan punggung lelahnya pada sandaran sofa. Dia melipat tangan di depan dada, seperti seorang bos yang sedang memberikan pilihan sulit kepada karyawan yang telah melakukan kesalahan pada perusahaannya. “Di antara mereka berdua, pilih siapa yang akan kau pertahankan sebagai istri,” tegas Haidar. “Lalu, ceraikan yang lainnya!” Netra gelap Aksa berkilat laksana kilau samurai tertimpa cahaya. “Tak ada yang harus kupilih, Pa,” tegas Aksa. Dia mendaratkan tatapan pada w
Haidar tergolek di ranjangnya. Tak mampu membuka mata akibat kepalanya yang terasa sangat berat. Setiap kali dia mencoba menyalangkan mata, dunia seakan berputar. “Agung mana, Ma?” tanya Haidar. Clarissa sedang merias diri di depan cermin. Bersiap untuk turun, menikmati sarapan pagi. Mulut Clarissa melancip ketika dia meraih ponsel di dekatnya. Dia tidak senang rutinitas paginya terganggu. “Panggil dokter! Papamu kambuh!” Clarissa langsung memberi perintah begitu Agung mengangkat panggilannya. Dia meneruskan lagi dandanannya. “Tunggu saja, Pa!” ujarnya. “Sebentar lagi Dokter Ryan datang.” Haidar mengembuskan napas kencang. Sikap cuek Clarissa menyenakkan dada. Wanita itu tak begitu mengkhawatirkan keadaannya, padahal dia selalu bersedia melakukan apa saja untuk Clarissa. “Makanya, Pa … sudah tahu darah tinggi, masih saja marah-marah,” omel Clarissa. Dia meninggalkan meja rias. Meraba kening Haidar. “Untung enggak demam.” Di kediaman Agnes, Aksa sedang bersiap memanaskan mobil.
“Lain kali, aku tidak ingin kamu mengulangi kesalahan yang sama lagi,” tegas Agnes. Nastiti menatap ujung kakinya dengan perasaan bersalah. “Iya, Nona. Aku janji.” “Sekarang ganti bajumu!” titah Agnes saat penata rias yang dititipinya amanah muncul sembari menenteng gaun rancangannya. Dia berhasil mengeringkan gaun tersebut dengan menggukan hair dryer. Agnes kembali meninggalkan ruang ganti itu dan duduk di tempat semula. Aksa menyodorkan sebotol air mineral kepadanya dengan tutup yang sudah terbuka. Tatapan Agnes masih tertuju ke pintu ruang ganti. Dia bergeming tatkala Aksa tanpa diduga menyeka keringat yang mengalir di dahinya dengan sehelai sapu tangan. Agnes ingin melayangkan protes pada Aksa. Akan tetapi, ketika sudut matanya menangkap bayang kehadiran Nevan dengan sebotol air mineral di tangan, dia berubah pikiran. Dia duduk tenang seolah-olah sangat menikmati perlakuan Aksa. Nevan mengeritkan gigi. Pemandangan mesra tersebut laksana sebilah belati yang mengoyak jantungnya
Suara deru mesin mobil yang berbeda menarik perhatian Ainun. Mobil itu bergerak memasuki pekarangan rumahnya. Penasaran ingin mengetahui siapa yang bertamu malam-malam begini, Ainun meninggalkan Kyra sendiri di meja makan. Ainun mengerutkan dahi ketika melihat seorang lelaki asing keluar dari sebuah mobil pick up yang terparkir di halaman rumahnya. Namun, embusan napas leganya segera mengudara saat matanya menangkap sosok Aksa juga keluar dari mobil yang sama. Dua lelaki tersebut saling bekerja sama, menurunkan sesuatu dari mobil dan membawanya ke teras. “Thanks, Bro!” seru Aksa ketika lelaki itu pamit undur diri. Usia mereka tak terpaut jauh. “Sip!” “Enggak ditawari minum dulu, Mas?” tanya Ainun. Dia sudah buru-buru menyiapkan minuman untuk mereka begitu melihat keduanya bekerja keras menurunkan sesuatu yang berat dari atas mobil. “Sudah, tapi dia ingin langsung pulang,” sahut Aksa. Dia mendorong mesin jahit ke dalam. “Oh.” Ainun cuma ber-oh. Dia tidak jadi menaruh nampan yang
“Mbak!” Agnes mengerem langkah ketika salah satu karyawan memanggilnya. Dia menoleh ke kanan. Tampak Serra menunggu responsnya. Sementara, tangan gadis itu terus bekerja merapikan baju-baju yang terpajang di butik tersebut. “Ya?” “Anu … Mbak. Tadi … ada yang nyariin Mbak,” lapor Serra ragu-ragu. “Oh ya? Siapa?” Agnes bukan tipe orang yang rajin mengundang teman untuk datang ke butiknya. Kenalan yang datang berbelanja pun jarang sekali mau bertemu langsung dengannya. Mereka cukup memahami kesibukannya dan sangat menghargai waktunya. “Katanya sih keluarga Mbak.” Agnes mengerutkan alis. Dia tidak punya keluarga di kota itu kecuali mama dan asisten rumah tangga yang sudah dianggapnya seperti keluarga. Rasanya tidak mungkin Asih datang ke butik. 'Tunggu! Apa jangan-jangan mamanya meminta Asih untuk memata-matainya? Gawat!' Hati Agnes mulai dialiri perasaan waswas. “Bi Asih?” tanyanya mengonfirmasi. “Bukan, Mbak. Kami sudah kenal kalau sama Bi Asih.” “Kamu enggak nanya, namanya si
“Dasar menantu tidak tahu sopan santun!” omel Clarissa. Dia melangkah masuk ke rumah setelah mengambil paket yang dikirim Agnes melalui jasa seorang kurir. “Mama ngatain aku?” tanya Marsha. Dia merasa tersinggung karena hanya dia satu-satunya menantu Clarissa yang sedang berada di rumah. “Eh, enggak. Bukan kamu,” bantah Clarissa. “Terus siapa? Ainun? Dia kan sudah pulang, Ma.” “Itu … Agnes.” “Oh, istri mudanya Aksa? Iya, Ma. Karyawannya juga enggak punya etika,” celoteh Marsha. “Eh, apa ini, Ma?” Perhatiannya tiba-tiba tertumbuk pada paket yang dibawa Clarissa. “Ya … ini nih,” sahut Clarissa. “Mama minta supaya dia mengirim Aksa untuk mengantar ini, eh … enggak tahunya malah nyuruh kurir.” Marsha makin antusias melihat bungkusan di tangan Clarissa. “Baju lagi, Ma?” “Ada buat aku enggak, Ma?” lanjutnya setelah Clarissa merespons pertanyaannya dengan anggukan kepala. “Wah, mama lupa,” timpal Clarissa. “Mama cuma minta sepasang.” “Yaaa, Mama ….” Marsha terlihat kecewa. “Waktu ak
Seulas senyuman tipis merekah di bibir merah Agnes. Dia berpuas hati menyaksikan cara kerja dua orang karyawan unggulannya dalam menangani Marsha. “Wow! Kelihatannya ada yang seru nih!” Aksa melenggang santai mendatangi meja kerja Agnes. “Lagi nonton apa?” Dia ikut mengintip dari balik pundak kiri istrinya itu. “Oh, enggak ada yang istimewa,” kilah Agnes. “Cuma mengawasi beberapa karyawan yang sedang bekerja.” Beruntung sekali Marsha telah menghilang dari rekaman CCTV. Demi gengsi, wanita itu memaksa Agung untuk mentransfer sejumlah uang untuk membayar tagihannya. Terpaksa dia menggunakan kartu debit. CUP! Aksa mengecup puncak kepala Agnes. Gesture tanda kasih itu sontak membekukan aliran darah Agnes untuk sesaat. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agnes tanpa menoleh pada Aksa. “Hanya hadiah kecil untuk istri cerdasku.” Sekali lagi Aksa mengecup ubun-ubun Agnes, lebih lama dari sebelumnya. “Kamu marah?” Aksa beranjak dan duduk di sudut meja kerja Agnes. “Enggak. Tindakanmu sudah