Happy Reading.
Karena ulah Damara, Arron harus mengurusi masalah petisi. Dan surat permohonan hukuman mati yang pantas untuk Damara.Sedang gadis itu, merasa bosan berada dalam kamarnya. "Bosan, aku lapar!" katanya saat matahari sedang berada di puncak-puncaknya.Bangkit dengan sekuat tenaganya. Melangkahkan kakinya untuk mencari makan. Tapi saat ia berada di depan pintu dapur, Damara justru tersenyum mengejek saat mendengar kata-kata seorang pelayan."Siapapun yang merebut tuan Arron akan mati!""Benar, gadis itu juga harus diberi pelajaran!"Tanpa ragu. Damara masuk. "Benar, dia harus diberi pelajaran. Tapi dengan cara apa? Em, kita racuni saja makanannya. Atau letakan minyak di depan kamarnya!" saran Damara dengan raut wajah penuh sindiran pada pelayan-pelayan tidak tahu posisi."Ck! Kau akan mati Nona yang sok, cantik!""Aku memang cantik, kenapa, takut tersaingi?""Kau…kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang?""Aku tidak bersaing dengan wanita tua sepertimu, kalau mau. Ya ambil-ambil saja, aku tidak tertarik pada pembunuh itu…"BYURRR!Belum sempat melanjutkan kata-katanya, air es sudah mengguyur Damara. Hingga basah kuyup.Mengepalkan tangannya kuat, sembari meregangkan kepalanya ke kiri dan kanan. Damara tersenyum pada mereka berlima, tak termasuk koki dan petugas kebersihan yang hanya diam saja. Sebelum.BUKH! BRAK! PRANG! TASHHH!Sayuran melayang di udara, peralatan aluminium, perak, dan emas juga berhamburan dimana-mana. Menghasilkan suara yang gaduh, yang terdengar sampai ke luar.Prajurit yang lewat segera bertindak. "Sabar Nona…""Sabar, mereka semua harus kasih paham!""Kamu kira kami takut? Serang…"Tomat melayang.Damara tak mau kalah, ia menggunakan panci berukuran raksasa sebagai perisai. Lalu menggigit penutup sambal, sebelum melemparnya tepat di depan mereka ala melempar bom."Menghindar!"BOAMMM!DUARRR!Semua prajurit menggunakan meja sebagai perisai dari serangan sayur-sayuran. Begitu juga dengan para pelayan."Nona, kami bisa dalam masalah!""Tenang, aku sudah memberitahukannya pada jendral Arron untuk melakukan penyerangan!"Mereka saling tatap. "Nona, kami serius!"5 prajurit itu menelan saliva mereka kasar, karena ikut terlibat dalam pertikaian yang aneh ini.BRAKKK!!!Tomat melayang pada wajah Arron. Semua terdiam, begitu juga dengan Damara. "Tu-tuan?!"Bukannya marah, Arron malah menatap Damara meminta penjelasan darinya. Karena tahu, kalau Damara otak kekacauan yang terjadi di dapur saat ini.Di kamar, Damara mengelap wajahnya yang kotor sambil menundukan kepalanya. Tak mau menatap ke arah Arron, yang pasti sudah sangat kesal padanya."Petisi, dapur, pernikahan. Apa kau tidak lelah membuat masalah?""Itu menyenangkan!" gumam pelan Damara."Apa? Menyenangkan. Kau membuatku tidak memiliki harga diri Damara!" ungkap Arron yang terlalu bersabar dengan sikap Damara yang sangat tidak terduga."Dan kau membuatku tidak memiliki kuasa!" jawab Damara membalas. "Maksudku…""Damara aku tidak sebaik yang kau pikirkan!""Dan aku tidak sejahat seperti yang kau pikiran!"DEG! Arron terdiam, ia mengerutkan keningnya bingung dengan Kata-kata penuh arti yang keluar dari mulut Damara."Kau….""Maksudku, kau tidak perlu menyuruh para prajurit untuk memotong kakiku."Damara malah membalas hal lain, untuk mengalihkan pembicaraan. Arron, dia jelas sadar akan sikap manipulatif yang ditunjukan Damara padanya."Kau ingin mengatakan sesuatu setelah semua yang telah kau lakukan?""Maaf." Aku berbohong—sambung Damara dalam hatinya.Saat Arron hendak pergi, Damara berpikiran jahil lagi. "Tidak peluk?" tanya Damara menggoda, sambil merentangkan tangannya seperti bayi yang minta di gendong.Menghembuskan nafasnya kasar. Arron langsung menarik Damara dalam pelukannya, sedang Damara hanya terdiam. Tidak mengerti, mengapa Arron tidak jijik padanya. 'Kenapa?' pikirnya membatin bingung.Bersambung….Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se