ANDINI’s POV “Mbak Andini?” Mak Ijah menemukanku berada di ujung taman duduk menyendiri. “Sudah hampir malam Mak. Apa kita masih lama di sini?” Tanyaku. Semenjak beberapa bulan tinggal di villa, aku jadi tidak tahan lama-lama di luar. Aku merasa dunia luar tak seaman dulu. Bayangan keluarga Baskara beserta anak buahnya selalu menghantuiku ke manapun aku pergi. “Mbak, kita tidak akan pulang untuk sementara.” “Lho, memangnya mengapa Mak?” Hal ini mengejutkanku. Karena di awal, rencananya kami akan segera pulang ke villa setelah acara konfrensi pers selesai. Aku teringat pada anak-anak yang harus aku beri bimbingan privat Bahasa Inggris serta bunga-bunga yang baru aku beli. “Kita harus di sini dulu. Cuaca di villa sedang hujan dan beberapa jalan lumpuh. Mbak Andini sekarang jadi sorotan setelah konfrensi pers tadi. Saya lihat tadi pas Mbak Andini wawancara, kelihatan pintar ngomongnya.” Mak Ijah menuturkan. “Mak, lalu bagaimana dengan anak-anak yang di sana? Bunga-bungaku?” Rasa c
BASKARA’s POV Laura melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan perlahan. Jantungku berdegup makin kencang. Aku tak bisa menebak gerakan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. “Laura…” “Iya… ini kan yang kamu mau?” Dia menggerak-gerakkan kedua tali bajunya yang membuatku semakin bergairah melihatnya. Tubuhnya sudah hampir terbuka sepenuhnya, kedua tanganku sudah bersiap menggapai Laura. Tok, tok, tok…. Suara pintu kamarku diketok oleh seseorang. Aku dan Laura saling berpandangan. Siapa yang datang malam-malam begini? “Mengganggu saja!” Gerutuku. “Biar aku yang melihatnya, okay?” Laura memberikan sebuah kecupan padaku dan kemudian memakai kimono untuk menutup pakaian dinasnya tadi. “Huh!” kulemparkan bantal karena kekesalanku. Kenapa di saat aku akan bersenang-senang dengan istriku, malah hadir seorang pengganggu. Aku mendengar Laura berbincang dengan seseorang. “Iya, Ma… baiklah. Bisa… iya…” Laura kembali mendekatiku setelah menutup pintu. Raut mukanya nampak kebingungan. “Ada k
ANDINI’s POVMemperhatikan setiap gerak-gerik Baskara adalah hal mustahil di rumah sebesar ini. Nyaris pembantu dan majikan tidak akan bertemu, kecuali jika memang bekerja di ruang-ruang utama rumah ini. Santi sejak pagi tidak nampak batang hidungnya, mungkin dia melayani ayah Baskara dan membersihkan banyak hal di ruang atas.Mak Ijah pergi sebentar lalu tiba-tiba kembali lagi ke dapur. Matanya mencari-cari seseorang.“Mbak Andini…” tiba-tiba dia memanggilku. Aku memang tadinya bekerja membersihkan sayur-sayuran di dekat sink cuci piring.Kali ini aku sudah duduk manis di meja samping memotong-motong paprika serta cabe.“Iya, Mak?” jawabku.Tangannya melambai. Aku mendekatinya sambil menyisihkan terlebih dahulu bahan-bahan yang sudah aku potongi.Dengan suara yang rendah Mak Ijah berbisik, ”Mbak Andini, dipanggil Tuan Baskara. Katanya penting.”Baskara? Kenapa memanggilku lagi…“Mak, bukannya urusan soal konferensi pers sudah selesai. Apa lagi yang harus saya selesaikan?” tanyaku sam
BASKARA’s POV Selama hubungan mutualisme antara aku dan Andini berjalan, belum pernah sekalipun Andini menjadi pihak yang menginginkan hubungan di dalam kamar tidur. Selalu diriku yang menjadi monster untuk memaksakan kehendak kepadanya. Seakan aku adalah penjahat yang selalu dan selalu memberikan tekanan pada Andini untuk memenuhi hawa nafsuku. Buah dari kesabaran dan kegigihanku, Andini akhirnya bertekuk lutut dan semalaman menjadi sosok yang mampu membuatku terpuaskan. Laura biasanya hanya bertahan sekali atau dua kali, lalu dia kelelahan dan memintaku untuk berhenti. Tak jarang juga dia menolakku. Bersama Andini, aku punya banyak hal yang bisa kugunakan sebagai alibi untuk membuatnya tak berdaya menolakku. “Sudahlah, kembalilah tidur di sini…” Dekapku padanya yang sedari tadi mengendap-endap di balik pintu. Tak juga Andini berpindah dari posisinya mengawasi area luar kamar. Setelah berhasil kubawa tubuhnya kembali ke ranjang, kupeluk erat-erat. Baru kurasakan sekarang, Andin
ANDINI’s POVAkhirnya Mak Ijah mengizinkanku untuk menghubungi ibuku. Rindu yang sudah terpendam sekian lamanya. Akhirnya aku bisa melihat ibu dan adikku. Kami berbincang cukup lama.Di luar dugaanku, Prasetia, sosok yang selalu ada dalam tiap doaku… muncul juga dalam layar ponsel. Dia baru datang katanya.Melihatnya walau tak bisa menyentuhnya, hatiku sudah cukup senang. Tatapan matanya nampak sayu, apakah dia juga merindu sepertiku?Sebenarnya ingin aku bermanja-manja dengannya, karena kami sekarang sudah sama-sama tahu bagaimana perasaan kami, hanya aku malu. Ada ibu dan adikku di sebelahnya. Saat-saat beginilah aku begitu merindukan memiliki ponsel sendiri agar lebih privasi.“Jaga dirimu…” Kalimat terakhir Prasetia sempat terucap, sebelum Baskara diam-diam ketahuan menguping pembicaraan kami dan aku mengakhiri panggilan.Tanganku menjatuhkan ponselnya ke ranjang.Saat diriku hampir menangis sesenggukan, Baskara mengatakan kalimat yang membuatku seperti tersengat listrik jutaan vo
ANDINI’s POV “Lepaskan aku!” sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya. Bayu seperti orang yang sedang kesurupan, tenaganya benar-benar kuat. Aku hampir kehabisan nafas saat berusaha melepaskan diri. Saat satu tanganya berhasil aku lepas, tangan satunya dengan sigap memegangiku lebih kuat lagi. “Andini, kamu jangan sok suci. Aku tahu kamu pasti sudah tidak gadis lagi…” Kedua tangannya menyentuh pinggangku sekarang dan kedua matanya tertuju pada bibirku. Jarak kami begitu dekat. “Sudah, lepaskan aku! Lepaskan! Kamu belum kapok juga ya setelah dipukul Tuan Baskara dulu. Kamu mau dipukul lagi?” Aku berusaha berteriak lebih kencang meski kamarku dalam keadaan tertutup. “Apa? Baskara? Mana dia bisa mendengarmu sekarang. Dia ada di kantor, Andini. Jadi ini adalah waktu untuk kita bersenang-senang.” Gumamnya sambil mendekatkan bibirnya pada pipiku. Ada jejak bibirnya sekarang mendarat di pipi kiriku. Jijik. Aku mengusapnya dengan satu tanganku. Aku tak mau itu terjad
BASKARA’s POV Aku dan Pak Gun sekarang berada di IGD rumah sakit keluarga. Untung saja dokter jaganya adalah sepupuku sendiri. Kuharap insiden ini tidak akan sampai ke luar sehingga terekspos media. Jika ada satu media saja yang tahu, pasti berita akan digoreng hingga menimbulkan skandal yang tidak-tidak nantinya. Tentunya akan mengancam posisi papa di pemilu sebentar lagi. “Bagaimana keadaannya, Dok?” Aku memperhatikan Bayu yang masih belum siuman. Tadi dia sempat mengatakan sesuatu, kemudian dia tak sadarkan diri lagi. “Ini kami sedang observasi dulu. Tadi memang pasien sempat siuman sebentar, lalu tak sadarkan diri lagi. Dari luar, tampak memang benturannya cukup keras. Sepertinya dia dipukul oleh benda tumpul.” Penjelasan dokter seakan lebah berdengung di telingaku. Aku teringat pada Andini yang tadi ketakutan bersembunyi di ruang studio kerjaku. Jelas ini ada hubungannya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Pak Gun sudah terburu-buru mengajakku ke sini. Pakaian yang dike
ANDINI’s POV Keterangan Baskara perihal Bayu tidak membuatku bertambah tenang, justru semakin gusar. Dia malah memojokkanku sepulangnya dari rumah sakit. Tubuhku meringkuk kembali di sofa panjang ruang kerja ini. Sebetulnya sebelum Baskara pulang aku sempat membayangkan bagaimana nanti jika Bayu meninggal dunia setelah kena pukulanku. Untunglah dia masih hidup. “Andini, masuklah ke kamarku sekarang.” Baskara yang tadinya sudah di kamar tidurnya, kini bangkit kembali dan memanggilku. “Aku tahu kamu belum tidur. Jangan pura-pura kamu.” Lanjutnya sambil mendekatiku. Aroma sabun mandinya menguar ke seluruh ruangan. Aku bisa merasakan nafasnya begitu dekat dengan wajahku sekarang. Mataku tetap kuusahakan untuk terpejam dan tak bergerak. Nafasku kuatur sedatar mungkin. Aku tak ingin membuatnya semakin curiga. Tapi Baskara sudah terlalu baik mengenalku. Dia tahu aku tidak benar-benar tidur. “Andini… aku mau kamu menemaniku malam ini… aku sudah lelah berjam-jam mengurusi Bayu akibat ula