Terima kasih bagi yang sudah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh atau lokasi. Semua yang ada dalam kisah Ranum dan Windraya, murni dari khayalan author semata.
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. โKenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,โ ujar Windraya tenang. โSaya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,โ ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. โAda apa?โ tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. โKenapa?โ tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. โBeliau bukan ibu kandung saya, Pak,โ jawab Ranum lirih.โApa?โ Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. โIbu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,โ ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. โTerserah Anda,โ ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. โTunggu, Ranum!โ cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. โAyolah. Kumohon,โ bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. โSaya sudah menjawab tadi,โ ucap Ranum dingin. โBukan itu maksudku,โ bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. โAku harus bagaimana lagi?โ tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. โSayang,โ ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. โAku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.โ โSemudah itu?โ Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. โAku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,โ tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.โBanyak hal yang sudah berubah,โ ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. โJangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. โMakan dulu,โ ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
โApa maksudmu berpisah?โ Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. โMeskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya โโโTidak!โ tolak Windraya tegas. โAku tidak akan pernah melakukan itu!โโSaya ingin berpisah, Pak,โ desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. โSudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!โโSaya tidak peduli lagi, Pak,โ balas Ranum. โLebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,โ usirnya penuh penekanan.โTidak tanpamu dan Elok,โ tolak Windraya tegas.โTapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.โ โJangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu โโโItulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,โ sela Ranum. Dia melepaskan ceng
โApa maksudmuโ Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. โElok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena โโโSeperti yang Anda dengar tadi, Pak,โ sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. โSemua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah โโโRanum!โ sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. โKendalikan diri Anda, Pak Windraya,โ tegur Celia. โPosisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.โWindraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. โSaya ingin bicara berdua dengan Ranum?โ Windraya menoleh sekilas pada Celia. โApa Anda bisa menjamin tidak akan โโโJangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. โMari, Pak,โ ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. โPermisi, Pak Bas,โ ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. โSejauh inikah kamu melarikan diri?โ Tatapan sang pemilik Winโs Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. โKenapa bersikap begini?โ โToilet ada di ujung koridor, Pak,โ ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. โAku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. โMakanan penutup sudah datang,โ ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. โTerima kasih, Mbak,โ ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. โPermisi, Pak,โ ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men