공유

3. Bersediakah Memenuhi Amanat?

Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing. 

Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan. 

Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya. 

“Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.” 

Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis. 

Banyak orang yang membantu, termasuk ustadz-ustadz yang wara-wiri di stasiun TV, dan pemimpin-pemimpin pondok yang dulu bersahabat dengan Misan Malik. 

Fathul menghela napas setelah memandikan jenazah Lukman. Dulu paras dan tubuh yang rupawan itu seringkali diam-diam congkak dan memandangnya remeh. Sekarang ia bahkan mesti dimandikan dan dikafani. Tak lagi berdaya, pula tak membawa gelar terhormatnya dan harta-harta yang dia banggakan selama ini. 

Ini bukanlah utang terakhir yang mesti dia bayar. Fathul tak bisa mengukur seberapa banyak lagi utang yang harus dia tunaikan, sebab ada tanggung jawab yang lebih besar yang diembankan kepadanya. 

Nama wanita itu Raihanah. Kendati selalu berwajah pucat sejak kemarin, tetap tak memudarkan kecantikan dan kebeningan parasnya. Yah, serasi dengan Lukman. Dia juga terlihat berasal dari keluarga baik-baik.

Tingginya rata-rata, barangkali kisaran 165 cm. Dengan hijab panjang hingga ke pinggang, hidung mancung, serta bibir tebal yang kemerahan. Yang paling berkesan adalah matanya yang lebar. Setiap kali dia memandang sesuatu, ia selalu fokus. termasuk kitab kecil di atas pangkuannya. Sesekali dia akan melirik ke tempat pembaringan Lukman di ruang tengah. 

Doa dibacakan lalu jenazah mulai diangkat ke keranda. Orang-orang bersiap untuk ikut ke pembaringan terakhir putra Misan Malik, termasuk Raihanah dan Ramlah yang saling merangkul dengan kesedihan menghiasi wajah. 

Fathul sudah seperti robot yang bergerak membantu hingga akhir. Mengangkat jenazah dan membaringkannya di dalam tanah yang sempit, ikut berdoa, lalu melihat air mata-air mata yang membasahi makam. 

Raihanah berlutut di hadapan makam ketika tempat itu perlahan mulai ditinggalkan orang-orang. Air matanya deras mengaliri tanah dengan tatapan pilu dan bibir bergetar. 

Fathul tak mengerti bagaimana caranya bersedih sedalam itu. Sebab sudah tiga kali dia mendapati kematian orang-orang terdekatnya. Dimulai dari ibu kandungnya, Misan Malik, hingga Lukman. Fathul masih tidak bisa merasakan rasa sedih akibat ditinggalkan. 

Barangkali hatinya memang sudah mati. 

“Ayo, Hanah. Kita pulang.” Ramlah merangkul wanita itu agar bangkit dan kembali pulang, sebab dunianya dan dunia Lukman tak lagi sama. 

Menikahi wanita yang pernah menjadi istri kakak tirinya, sekaligus perempuan yang berduka kehilangan suami sepertinya adalah sesuatu yang merepotkan.

Yang ikut sampai ke rumah hanya dirinya, Ramlah, Raihanah, Ustadz Ridwan, dan dua muridnya yang senantiasa mengikuti. Mereka semua disuruh duduk melingkar di sofa dengan Ustadz Ridwan sebagai poros. 

Fathul tidak begitu familiar dengan sosok Ustadz Ridwan, sebab ia tidak banyak mengikuti pendidikan ala keluarga Malik, pendidikan agama yang ketat dan kental. Setelah Misan Malik meninggal, dia langsung meninggalkan rumah ini. 

Ustadz Ridwan mengangguk-angguk seperti sedang merenungkan sesuatu. “Satu titipan Allah kembali Dia ambil, Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.” 

Wajah Ustadz Ridwan nampak teduh. Ia menghela napas beberapa kali sambil menyatukan kedua tangannya di atas paha. Ia sangat tenang menatap wajah-wajah yang duduk mengelilinginya. 

“Suatu saat kita juga akan kembali. Dunia ini cuma seperti sejengkal lantai yang cukup untuk satu telapak kaki saja, sempit dan sementara. Jadi, janganlah larut terlalu lama pada kesedihan. Ikhlas dan menerima ketentuan Allah adalah jalan yang terbaik.”

“Saya sudah menghadapi dua kematian dari titipan Allah yang sangat saya kasihi. Rasanya sangat berat. Namun, seperti yang Ustadz bilang, dunia ini kecil dan sementara. Saya harus ikhlas apa pun yang terjadi, tapi rasa-rasanya saya tidak bisa mengerti keputusan terakhir Lukman.” Ramlah menunduk getir. 

“Amanatnya tentang Raihanah dan Fathul?” 

Ah, akhirnya topik itu diangkat juga. Fathul berharap Ustadz Ridwan tidak menyetujuinya atau akan mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai syariat agama. 

“Saya tidak mengerti kenapa Lukman sampai memutuskan hal seperti itu.”

“Dia pasti punya alasan, Dik Ramlah. Dulu orang tua Raihanah juga memberikan tanggung jawab yang sama padanya. Lukman pasti tidak mau memutus tanggung jawab itu meskipun ia sudah tiada.”

Pandangan Ustadz Ridwan mengarah pada Fathul, seperti menitipkan harapan yang besar. Jujur saja, Fathul tidak ingin berlama-lama di sini. Dia juga tidak mau berurusan dengan keluarga Malik lagi jika seandainya Lukman tidak memberikan amanat yang tidak masuk akal itu. 

Fathul menganggapnya sebagai sumbangan yang kerap diberikan pria itu. Lukman memang pernah menanyakan kapan dia menikah dan seharusnya Fathul tidak menikah dengan sembarang perempuan. 

“Aku akan mengadakan resepsi pernikahan hari ini. Ijab kabulnya sudah dilakukan dari seminggu yang lalu. Datanglah ke pestanya.”

“Saya sibuk.” Itu jawaban Fathul ketika suatu hari Lukman meneleponnya. Tidak tertarik dengan pernikahan pria itu. 

“Sempatkanlah waktumu. Kau bisa melihat banyak hal di sana. Suatu saat kau pasti akan menikah juga. Kau mesti memilih perempuan yang cocok, seperti gadis yang kunikahi. Dia perempuan yang solehah dan membuatku sangat beruntung memilikinya.”

Percakapan lewat telepon itu terjadi tiga tahun yang lalu. Fathul tetap tak menghadiri pernikahan Lukman. Ia masih berjuang di pekerjaan barunya yang tidak mudah sebab Lukman mengambil kembali perusahaan yang sudah susah payah dia majukan.

Fathul tidak bisa menebak seperti apa karakter Raihanah sebab ia tidak banyak bicara. Akan sangat merepotkan jika dia bersifat dominan dan angkuh seperti Lukman. 

“Bagaimana, Nak Fathul? Bersediakan menaati amanat terakhir kakakmu?”

Fathul kembali memusatkan perhatian pada Ustadz Ridwan. 

“Nak Hanah sudah bersedia. Bagaimana denganmu?”

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status