Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing.
Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan.
Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya.
“Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.”
Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis.
Banyak orang yang membantu, termasuk ustadz-ustadz yang wara-wiri di stasiun TV, dan pemimpin-pemimpin pondok yang dulu bersahabat dengan Misan Malik.
Fathul menghela napas setelah memandikan jenazah Lukman. Dulu paras dan tubuh yang rupawan itu seringkali diam-diam congkak dan memandangnya remeh. Sekarang ia bahkan mesti dimandikan dan dikafani. Tak lagi berdaya, pula tak membawa gelar terhormatnya dan harta-harta yang dia banggakan selama ini.
Ini bukanlah utang terakhir yang mesti dia bayar. Fathul tak bisa mengukur seberapa banyak lagi utang yang harus dia tunaikan, sebab ada tanggung jawab yang lebih besar yang diembankan kepadanya.
Nama wanita itu Raihanah. Kendati selalu berwajah pucat sejak kemarin, tetap tak memudarkan kecantikan dan kebeningan parasnya. Yah, serasi dengan Lukman. Dia juga terlihat berasal dari keluarga baik-baik.
Tingginya rata-rata, barangkali kisaran 165 cm. Dengan hijab panjang hingga ke pinggang, hidung mancung, serta bibir tebal yang kemerahan. Yang paling berkesan adalah matanya yang lebar. Setiap kali dia memandang sesuatu, ia selalu fokus. termasuk kitab kecil di atas pangkuannya. Sesekali dia akan melirik ke tempat pembaringan Lukman di ruang tengah.
Doa dibacakan lalu jenazah mulai diangkat ke keranda. Orang-orang bersiap untuk ikut ke pembaringan terakhir putra Misan Malik, termasuk Raihanah dan Ramlah yang saling merangkul dengan kesedihan menghiasi wajah.
Fathul sudah seperti robot yang bergerak membantu hingga akhir. Mengangkat jenazah dan membaringkannya di dalam tanah yang sempit, ikut berdoa, lalu melihat air mata-air mata yang membasahi makam.
Raihanah berlutut di hadapan makam ketika tempat itu perlahan mulai ditinggalkan orang-orang. Air matanya deras mengaliri tanah dengan tatapan pilu dan bibir bergetar.
Fathul tak mengerti bagaimana caranya bersedih sedalam itu. Sebab sudah tiga kali dia mendapati kematian orang-orang terdekatnya. Dimulai dari ibu kandungnya, Misan Malik, hingga Lukman. Fathul masih tidak bisa merasakan rasa sedih akibat ditinggalkan.
Barangkali hatinya memang sudah mati.
“Ayo, Hanah. Kita pulang.” Ramlah merangkul wanita itu agar bangkit dan kembali pulang, sebab dunianya dan dunia Lukman tak lagi sama.
Menikahi wanita yang pernah menjadi istri kakak tirinya, sekaligus perempuan yang berduka kehilangan suami sepertinya adalah sesuatu yang merepotkan.
Yang ikut sampai ke rumah hanya dirinya, Ramlah, Raihanah, Ustadz Ridwan, dan dua muridnya yang senantiasa mengikuti. Mereka semua disuruh duduk melingkar di sofa dengan Ustadz Ridwan sebagai poros.
Fathul tidak begitu familiar dengan sosok Ustadz Ridwan, sebab ia tidak banyak mengikuti pendidikan ala keluarga Malik, pendidikan agama yang ketat dan kental. Setelah Misan Malik meninggal, dia langsung meninggalkan rumah ini.
Ustadz Ridwan mengangguk-angguk seperti sedang merenungkan sesuatu. “Satu titipan Allah kembali Dia ambil, Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.”
Wajah Ustadz Ridwan nampak teduh. Ia menghela napas beberapa kali sambil menyatukan kedua tangannya di atas paha. Ia sangat tenang menatap wajah-wajah yang duduk mengelilinginya.
“Suatu saat kita juga akan kembali. Dunia ini cuma seperti sejengkal lantai yang cukup untuk satu telapak kaki saja, sempit dan sementara. Jadi, janganlah larut terlalu lama pada kesedihan. Ikhlas dan menerima ketentuan Allah adalah jalan yang terbaik.”
“Saya sudah menghadapi dua kematian dari titipan Allah yang sangat saya kasihi. Rasanya sangat berat. Namun, seperti yang Ustadz bilang, dunia ini kecil dan sementara. Saya harus ikhlas apa pun yang terjadi, tapi rasa-rasanya saya tidak bisa mengerti keputusan terakhir Lukman.” Ramlah menunduk getir.
“Amanatnya tentang Raihanah dan Fathul?”
Ah, akhirnya topik itu diangkat juga. Fathul berharap Ustadz Ridwan tidak menyetujuinya atau akan mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai syariat agama.
“Saya tidak mengerti kenapa Lukman sampai memutuskan hal seperti itu.”
“Dia pasti punya alasan, Dik Ramlah. Dulu orang tua Raihanah juga memberikan tanggung jawab yang sama padanya. Lukman pasti tidak mau memutus tanggung jawab itu meskipun ia sudah tiada.”
Pandangan Ustadz Ridwan mengarah pada Fathul, seperti menitipkan harapan yang besar. Jujur saja, Fathul tidak ingin berlama-lama di sini. Dia juga tidak mau berurusan dengan keluarga Malik lagi jika seandainya Lukman tidak memberikan amanat yang tidak masuk akal itu.
Fathul menganggapnya sebagai sumbangan yang kerap diberikan pria itu. Lukman memang pernah menanyakan kapan dia menikah dan seharusnya Fathul tidak menikah dengan sembarang perempuan.
“Aku akan mengadakan resepsi pernikahan hari ini. Ijab kabulnya sudah dilakukan dari seminggu yang lalu. Datanglah ke pestanya.”
“Saya sibuk.” Itu jawaban Fathul ketika suatu hari Lukman meneleponnya. Tidak tertarik dengan pernikahan pria itu.
“Sempatkanlah waktumu. Kau bisa melihat banyak hal di sana. Suatu saat kau pasti akan menikah juga. Kau mesti memilih perempuan yang cocok, seperti gadis yang kunikahi. Dia perempuan yang solehah dan membuatku sangat beruntung memilikinya.”
Percakapan lewat telepon itu terjadi tiga tahun yang lalu. Fathul tetap tak menghadiri pernikahan Lukman. Ia masih berjuang di pekerjaan barunya yang tidak mudah sebab Lukman mengambil kembali perusahaan yang sudah susah payah dia majukan.
Fathul tidak bisa menebak seperti apa karakter Raihanah sebab ia tidak banyak bicara. Akan sangat merepotkan jika dia bersifat dominan dan angkuh seperti Lukman.
“Bagaimana, Nak Fathul? Bersediakan menaati amanat terakhir kakakmu?”
Fathul kembali memusatkan perhatian pada Ustadz Ridwan.
“Nak Hanah sudah bersedia. Bagaimana denganmu?”
Fathul tertegun. Kapan wanita itu menyetujuinya? Bukankah sejak tadi dia diam saja? Diliriknya Raihanah yang duduk di ujung sofa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Fathul mengernyit ragu. Harusnya perempuan itu protes dan menyangkal habis-habisan. Beberapa pasang mata yang terfokus padanya menanti jawaban Fathul. Dengan tarikan napas yang cukup kencang, dengan tegas Fathul membuka bibirnya. “Saya tidak bisa.” Siapa yang mau menyetujui ide gila dari orang sekarat yang hendak mati? Ustadz Ridwan mengangguk paham. “Memang seharusnya begitu. Aku pun berpikir keputusan Lukman tidaklah dipikirkan secara matang. Namun, perbincangan kami beberapa hari yang lalu, membuatku cukup mengerti alasan Lukman ingin kau menikahi Raihanah setelah masa iddahnya selesai.” Memangnya apa alasannya? Fathul hanya berpikir, untuk yang terakhir kalinya, Lukman ingin memberinya sumbangan, berupa perusahaan yang akan bangkrut, barang bekas yang tak lagi dia inginkan atau warisan yang tidak bernilai. N
Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali. Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu. Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu. Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari. Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah. “Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?” Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungk
Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun. Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia. Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar. Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut. Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih. “Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdo
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana
Raihanah ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang pencahayaannya kurang ini. Ia tidak tahu mengapa Fathul semarah itu. Apakah karena Raihanah menyelonong masuk ke kamarnya atau mungkin … ia tidak ingin Raihanah berlama-lama tinggal di sini?Raihanah sempat panik karena tiba-tiba Fathul membanting pintu kamarnya di tengah pembicaraan mereka. Ia sampai tidak sadar sudah menerobos ke kamar pria itu. Baru sekarang ia merasakan bahwa kamar yang luas ini terasa pengap. Meski siang, tapi tidak banyak cahaya yang menerangi karena gorden tidak dibuka. Matanya tidak sengaja tertambat pada ranjang yang berantakan. Lemari di sampingnya terbuka dan baju-baju di dalamnya acak-acakan. Ia juga melihat meja kerja yang penuh dengan buku. Beberapa berhamburan di lantai serta kertas-kertas laporan yang tergeletak begitu saja. Raihanah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak langsung meluncur membereskan kekacauan itu, sebab ini bukan kamarnya. Dia bahkan mengepalkan tangan erat-erat, gemas dengan