Home / Romansa / Istri Sumbangan / 3. Bersediakah Memenuhi Amanat?

Share

3. Bersediakah Memenuhi Amanat?

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-02-26 06:37:12

Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing. 

Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan. 

Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya. 

“Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.” 

Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis. 

Banyak orang yang membantu, termasuk ustadz-ustadz yang wara-wiri di stasiun TV, dan pemimpin-pemimpin pondok yang dulu bersahabat dengan Misan Malik. 

Fathul menghela napas setelah memandikan jenazah Lukman. Dulu paras dan tubuh yang rupawan itu seringkali diam-diam congkak dan memandangnya remeh. Sekarang ia bahkan mesti dimandikan dan dikafani. Tak lagi berdaya, pula tak membawa gelar terhormatnya dan harta-harta yang dia banggakan selama ini. 

Ini bukanlah utang terakhir yang mesti dia bayar. Fathul tak bisa mengukur seberapa banyak lagi utang yang harus dia tunaikan, sebab ada tanggung jawab yang lebih besar yang diembankan kepadanya. 

Nama wanita itu Raihanah. Kendati selalu berwajah pucat sejak kemarin, tetap tak memudarkan kecantikan dan kebeningan parasnya. Yah, serasi dengan Lukman. Dia juga terlihat berasal dari keluarga baik-baik.

Tingginya rata-rata, barangkali kisaran 165 cm. Dengan hijab panjang hingga ke pinggang, hidung mancung, serta bibir tebal yang kemerahan. Yang paling berkesan adalah matanya yang lebar. Setiap kali dia memandang sesuatu, ia selalu fokus. termasuk kitab kecil di atas pangkuannya. Sesekali dia akan melirik ke tempat pembaringan Lukman di ruang tengah. 

Doa dibacakan lalu jenazah mulai diangkat ke keranda. Orang-orang bersiap untuk ikut ke pembaringan terakhir putra Misan Malik, termasuk Raihanah dan Ramlah yang saling merangkul dengan kesedihan menghiasi wajah. 

Fathul sudah seperti robot yang bergerak membantu hingga akhir. Mengangkat jenazah dan membaringkannya di dalam tanah yang sempit, ikut berdoa, lalu melihat air mata-air mata yang membasahi makam. 

Raihanah berlutut di hadapan makam ketika tempat itu perlahan mulai ditinggalkan orang-orang. Air matanya deras mengaliri tanah dengan tatapan pilu dan bibir bergetar. 

Fathul tak mengerti bagaimana caranya bersedih sedalam itu. Sebab sudah tiga kali dia mendapati kematian orang-orang terdekatnya. Dimulai dari ibu kandungnya, Misan Malik, hingga Lukman. Fathul masih tidak bisa merasakan rasa sedih akibat ditinggalkan. 

Barangkali hatinya memang sudah mati. 

“Ayo, Hanah. Kita pulang.” Ramlah merangkul wanita itu agar bangkit dan kembali pulang, sebab dunianya dan dunia Lukman tak lagi sama. 

Menikahi wanita yang pernah menjadi istri kakak tirinya, sekaligus perempuan yang berduka kehilangan suami sepertinya adalah sesuatu yang merepotkan.

Yang ikut sampai ke rumah hanya dirinya, Ramlah, Raihanah, Ustadz Ridwan, dan dua muridnya yang senantiasa mengikuti. Mereka semua disuruh duduk melingkar di sofa dengan Ustadz Ridwan sebagai poros. 

Fathul tidak begitu familiar dengan sosok Ustadz Ridwan, sebab ia tidak banyak mengikuti pendidikan ala keluarga Malik, pendidikan agama yang ketat dan kental. Setelah Misan Malik meninggal, dia langsung meninggalkan rumah ini. 

Ustadz Ridwan mengangguk-angguk seperti sedang merenungkan sesuatu. “Satu titipan Allah kembali Dia ambil, Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.” 

Wajah Ustadz Ridwan nampak teduh. Ia menghela napas beberapa kali sambil menyatukan kedua tangannya di atas paha. Ia sangat tenang menatap wajah-wajah yang duduk mengelilinginya. 

“Suatu saat kita juga akan kembali. Dunia ini cuma seperti sejengkal lantai yang cukup untuk satu telapak kaki saja, sempit dan sementara. Jadi, janganlah larut terlalu lama pada kesedihan. Ikhlas dan menerima ketentuan Allah adalah jalan yang terbaik.”

“Saya sudah menghadapi dua kematian dari titipan Allah yang sangat saya kasihi. Rasanya sangat berat. Namun, seperti yang Ustadz bilang, dunia ini kecil dan sementara. Saya harus ikhlas apa pun yang terjadi, tapi rasa-rasanya saya tidak bisa mengerti keputusan terakhir Lukman.” Ramlah menunduk getir. 

“Amanatnya tentang Raihanah dan Fathul?” 

Ah, akhirnya topik itu diangkat juga. Fathul berharap Ustadz Ridwan tidak menyetujuinya atau akan mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai syariat agama. 

“Saya tidak mengerti kenapa Lukman sampai memutuskan hal seperti itu.”

“Dia pasti punya alasan, Dik Ramlah. Dulu orang tua Raihanah juga memberikan tanggung jawab yang sama padanya. Lukman pasti tidak mau memutus tanggung jawab itu meskipun ia sudah tiada.”

Pandangan Ustadz Ridwan mengarah pada Fathul, seperti menitipkan harapan yang besar. Jujur saja, Fathul tidak ingin berlama-lama di sini. Dia juga tidak mau berurusan dengan keluarga Malik lagi jika seandainya Lukman tidak memberikan amanat yang tidak masuk akal itu. 

Fathul menganggapnya sebagai sumbangan yang kerap diberikan pria itu. Lukman memang pernah menanyakan kapan dia menikah dan seharusnya Fathul tidak menikah dengan sembarang perempuan. 

“Aku akan mengadakan resepsi pernikahan hari ini. Ijab kabulnya sudah dilakukan dari seminggu yang lalu. Datanglah ke pestanya.”

“Saya sibuk.” Itu jawaban Fathul ketika suatu hari Lukman meneleponnya. Tidak tertarik dengan pernikahan pria itu. 

“Sempatkanlah waktumu. Kau bisa melihat banyak hal di sana. Suatu saat kau pasti akan menikah juga. Kau mesti memilih perempuan yang cocok, seperti gadis yang kunikahi. Dia perempuan yang solehah dan membuatku sangat beruntung memilikinya.”

Percakapan lewat telepon itu terjadi tiga tahun yang lalu. Fathul tetap tak menghadiri pernikahan Lukman. Ia masih berjuang di pekerjaan barunya yang tidak mudah sebab Lukman mengambil kembali perusahaan yang sudah susah payah dia majukan.

Fathul tidak bisa menebak seperti apa karakter Raihanah sebab ia tidak banyak bicara. Akan sangat merepotkan jika dia bersifat dominan dan angkuh seperti Lukman. 

“Bagaimana, Nak Fathul? Bersediakan menaati amanat terakhir kakakmu?”

Fathul kembali memusatkan perhatian pada Ustadz Ridwan. 

“Nak Hanah sudah bersedia. Bagaimana denganmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sumbangan   43. Hati yang Hangat

    “Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun

  • Istri Sumbangan   42. Istri yang Tak Pantas Disumbangkan

    Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk

  • Istri Sumbangan   41. Semakin Jatuh Cinta

    “Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.

  • Istri Sumbangan   40. Menerima Seutuhnya

    “Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h

  • Istri Sumbangan   39. Menemukan Rumahku

    Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat

  • Istri Sumbangan   38. Cerita di Sepertiga Malam

    Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status