Fathul tertegun. Kapan wanita itu menyetujuinya? Bukankah sejak tadi dia diam saja?
Diliriknya Raihanah yang duduk di ujung sofa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Fathul mengernyit ragu. Harusnya perempuan itu protes dan menyangkal habis-habisan.
Beberapa pasang mata yang terfokus padanya menanti jawaban Fathul. Dengan tarikan napas yang cukup kencang, dengan tegas Fathul membuka bibirnya.
“Saya tidak bisa.”
Siapa yang mau menyetujui ide gila dari orang sekarat yang hendak mati?
Ustadz Ridwan mengangguk paham. “Memang seharusnya begitu. Aku pun berpikir keputusan Lukman tidaklah dipikirkan secara matang. Namun, perbincangan kami beberapa hari yang lalu, membuatku cukup mengerti alasan Lukman ingin kau menikahi Raihanah setelah masa iddahnya selesai.”
Memangnya apa alasannya?
Fathul hanya berpikir, untuk yang terakhir kalinya, Lukman ingin memberinya sumbangan, berupa perusahaan yang akan bangkrut, barang bekas yang tak lagi dia inginkan atau warisan yang tidak bernilai. Namun, pria itu malah memberinya seorang istri yang tak lagi bisa dia jaga.
Bolehkan dia berpikir bahwa wanita itulah yang disumbangkan Lukman untuknya?
“Waktu itu Raihanah sempat hamil ketika tiba-tiba Lukman divonis menderita kanker. Sudah tiga bulan. Betul ‘kan, Hanah?”
Raihanah mengangguk dalam tundukan kepalanya. Fathul merasakan aliran darahnya memanas. Sambil menunggu lanjutan cerita Ustadz Ridwan, ia mengepalkan tangan. Jadi, sejauh apa dia akan dimanfaatkan?
“Raihanah yang ketakutan dan panik, ditambah harus merawat Lukman jadi keguguran. Sejak saat itu, Lukman merasa bersalah. Dalam kesakitannya, ia ingin menebusnya dan membuat Raihanah bahagia. Setidaknya, dia ingin ada yang menjaga Raihanah dan memimpinnya.”
“Saya bukan orang yang tepat untuk itu.” Jadi, lagi-lagi dia dimanfaatkan atas dasar rasa bersalah?
“Hanya kau pria yang sangat dikenalnya. Kau satu-satunya saudara dan orang yang dia percaya, Nak Fathul.”
“Dia bisa mencari orang yang lebih baik dari saya.”
Sebab sejak dulu, Lukman tidak pernah menganggapnya baik. Dia hanyalah seorang anak dari ibu yang sudah diam-diam menikah dengan ayah Lukman. Anak kurus ceking kekuarangan gizi yang patut dikasihani.
“Menantuku bukan barang! Dia tidak bisa dioper ke sana kemari.”
Fathul menatap Ramlah datar. Tatapan wanita itu disisipi kebencian.
“Pikirkanlah dengan matang, Fathul. Aku tidak bisa memaksamu. Kau berhak menolak. Sebab tidak semua amanat mesti dituntaskan jika memang itu membuat orang yang menerimanya tersiksa. Namun, kau bisa memberi dirimu waktu untuk berpikir lebih jauh lagi.”
***
Fathul kembali ke apartemennya, apartemen yang dia sewa sejak diangkat naik jabatan setahun yang lalu. Tempat itu terasa kosong. Di ruang tengah yang harusnya diisi sofa dan televisi kosong melompong.
Dengan cat dinding berwarna abu-abu gelap yang suram. Apartemen ini sejujurnya tidak cocok untuk ditinggali seorang istri. Fathul melangkah ke dapur, membuka kulkas untuk mengambil satu botol air mineral dari sekian banyak botol yang memenuhi ruangan pendingin itu.
Dia hanya punya air mineral di dalam kulkas. Dapur pun terasa kosong. Dia tidak membeli peralatan masak apa pun karena dirinya hanya menyempatkan waktu makan di luar atau di kantor. Itu lebih efektif ketimbang memasak mie instan setiap hari.
Wanita bernama Raihanah itu bisa apa jika tinggal di tempat ini? Apartemen yang barangkali hanya seluas ruang tamu rumah Malik. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Dia juga sekadar manajer biasa di perusahaan biasa. Mana bisa menafkahi wanita yang terbiasa hidup mewah di rumah Malik?
Dan lagi, Fathul tidak mengenalnya. Dia tidak tahu apa-apa soal Raihanah kecuali fakta bahwa perempuan itu adalah istri Lukman. Dia pun tidak berniat menikah dalam waktu dekat, apalagi dengan wanita yang pernah menjadi istri Lukman.
Ia membuang botol airnya yang sudah kosong. Sambil membuka kancing lengan kemeja hitamnya, Fathul meninggalkan dapur lalu masuk ke kamar. Tidak bisa membayangkan jika akan ada perempuan asing yang satu kamar dengannya.
Catnya yang berwarna hitam, juga seprei hitam tanpa motif dan ranjang yang tidak begitu luas tidak cocok ditinggali seorang wanita. Lemari kecil yang penuh, serta plafon berwarna gelap yang suram.
Kebahagiaan apa yang bisa didapatkan Raihanah di rumah ini?
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang