“Datanglah ke rumah, Fathul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
Lima tahun setelah Misan Malik meninggal, Lukman memanggilnya ke rumah Malik, rumah yang ia tinggalkan sejak tiga hari setelah Misan Malik dimakamkan.
“Ah, tidak. Kita ketemu di kafe saja. Aku akan berikan alamatnya."
Setelahnya Fathul sampai di kafe yang disebutkan pria itu. Tempat itu cukup sederhana dari luar, tapi ternyata dari dalam lumayan mewah. Lukman duduk di salah satu sofa yang menghadap jendela.
Fathul duduk tanpa berbasa-basi, hanya Lukman yang mengucapkan salam tanpa mau dia jawab. Dia tahu mengapa Lukman batal mengundangnya ke rumah, sebab Ramlah, ibu pria itu sekaligus ibu tiri Fathul akan terpengaruh dengan kehadirannya.
“Mau pesan sesuatu?” tanya Lukman, tampak bersih dengan topi dan jaket putih, serta celana jeans yang sepertinya masih baru.
Sedang Fathul berpakaian ala kadarnya. Kaos kebesaran yang ujungnya belel dan celana jeans robek yang kotor. Ia sedang bekerja dan tiba-tiba dipanggil.
“Tidak perlu.”
“Kau selalu saja tidak sabaran.” Lukman menghela napas, tampak seperti seorang kakak yang kecewa karena adiknya tidak ingin bertemu dengannya.
“Saya bekerja.” Fathul tahu Lukman sedang menatap kerah kaosnya yang jahitannya hampir rusak.
“Masih jadi kuli panggul di toko retail?”
Fathul mengernyit.
“Ah, aku melihatmu beberapa kali di toko itu.”
Sejak meninggalkan rumah Malik, Fathul bekerja serabutan untuk hidup dengan layak. Sesekali dirinya akan dipanggil untuk alasan yang sama. Yaitu diberikan sumbangan, barang bekas, atau sesuatu yang bernilai sebagai bentuk rasa iba.
“Pasti berat bekerja seperti itu sambil membiayai kuliahmu. Kenapa kau tak mau menerima beasiswa itu?”
“Saya tidak berminat ke Mesir.”
Lukman pernah menawarkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Hanya saja, beasiswa itu hampir kadaluarsa. Ia harus segera berangkat ke Mesir hari itu juga, tapi sama sekali tidak punya biaya. Apalagi bantuan pendidikan itu tidak penuh, hanya setengah.
“Abi pasti mengharapkanmu juga.”
Lukman punya pendidikan yang tinggi. Di usia muda, dia sudah punya gelar pendidikan yang mumpuni. Fathul bisa membaca pikiran Lukman hanya dengan melihat sorot mata penuh kebanggaannya dan senyumnya yang seolah memaklumi Fathul. Bahwa Fathul tidak ingin mengenyam pendidikan agama yang tinggi sebab dia bukanlah bagian keluarga Malik. Dirinya hanyalah anak dari seorang pelakor.
“Aku mau ke Mesir lagi untuk melanjutkan pendidikanku. Aku hampir lupa soal amanat Abi.” Dia mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tas ranselnya. “Abi bilang aku harus memberikan sesuatu padamu, mesti berbagi. Ini salah satu usaha yang dimiliki Abi, kau boleh mengambilnya.”
Dokumen bertuliskan nama perusahaan itu membuat kening Fathul mengerut tidak suka.
“Aku baru memberikannya sekarang karena kupikir kau sudah berpengalaman dan dewasa. Ambillah, sebagai warisan terakhir dari Abi.”
Fathul ingat betul senyum yang terlihat tulus itu. Saat ternyata Fathul mengetahui bahwa perusahaan yang diberikan padanya adalah perusahaan kecil yang hampir bangkrut dan punya utang yang cukup besar.
Ia ingin mengembalikannya, tapi kala mengingat Misan Malik, niatnya ia urungkan. Pria yang menolongnya dan memberinya rumah. Setidaknya dia harus menghargainya. Namun, kali ini dia tidak bisa menghargai pemberian pria itu. Ia tidak pernah menginginkan sumbangan dalam bentuk seorang istri.
“Setelah masa iddahnya selesai, nikahilah dia.”
Rasa-rasanya Fathul masih bisa merasakan kesombongan dari nada suara yang lemah dan wajah yang pucat itu. Keangkuhan yang selalu tersirat saat mereka bertemu.
“Apa maksudmu, Lukman?! Raihanah bukan barang yang bisa diberikan pada pria lain!” Ramlah merebut perhatian Lukman. Sejak tadi, tidak sekalipun dia melirik Fathul.
Fathul mengerti sebanyak apa wanita itu membencinya. Sebab Misan Malik menikahi ibunya secara diam-diam. Setelah ibu Fathul meninggal, Misan Malik membawanya ke rumah Malik dan memperkenalkannya sebagai anak dari istri keduanya.
“Bukan seperti itu, Ummi. Lukman punya utang pada orang tua Hanah untuk terus menjaganya.”
“Biar Ummi yang menjaga Hanah!” Wanita yang biasanya selalu diam dan anggun itu terlihat sangat panik.
Lukman kembali menoleh pada Fathul. “Kalau tidak keberatan, bisakah kau juga menjaga Ummi?”
“Lukman!”
Fathul tidak memberi jawaban, sebab ia tahu Lukman tidak memerlukan persetujuannya.
“Hanah, bukannya Abang menganggap Hanah tidak bisa menjaga diri sendiri. Hanya saja banyak hal yang bisa membuat kehormatanmu tercoreng jika ditinggalkan oleh suamimu. Orang-orang akan bergunjing dan Hanah akan menjadi buah bibir yang lezat jikalau sedikit saja ada kesalahan yang kamu perbuat.”
Perempuan bernama Hanah yang sejak tadi menunduk dengan napas tidak teratur itu mengangkat wajahnya. Dengan bibir pucat dan mata penuh kecemasan.
“Hanah bisa paham maksud Abang, ‘kan?’
Raihanah mengangguk.
“Abang selalu ingin yang terbaik untukmu.”
Fathul berharap wanita itu mengatakan tidak, mengajukan protes seperti yang dilakukan Ramlah atau bersikeras dan bilang jika dia hanya setia pada Lukman meskipun pria itu sudah meninggal, atau apa saja. Fathul tidak peduli.
“Fathul, ini adalah permintaan terakhirku. Sebab hanya kaulah satu-satunya putra Malik yang tersisa setelah aku tiada.”
Mata yang meredup itu menyiratkan banyak hal yang bisa Fathul tebak. Bahwa sudah seharusnya Fathul membayar segala kebaikan yang sudah keluarga Malik berikan untuknya.
“Ustadz Ridwan akan segera datang. Tolong jangan menangis terlalu lama, Hanah dan Ummi.”
Sekitar tiga menit kemudian, seorang pria berpenampilan rapi, berpeci, dan mengenakan baju koko serta celana hitam yang longgar masuk dengan ucapan salam yang pelan.
Jawaban dari salam itu pun lesu. Tiga orang yang ada di hadapan Fathul ini tengah diselimuti kesedihan yang mendalam, mungkin hanya dirinya yang tidak.
Fathul ingat soal Ustadz Ridwan. Pemilik pondok pesantren yang merupakan sahabat Misan Malik. Dia yang juga membimbing Lukman selama ini setelah kematian Misan Malik.
“Anakku, Lukman. Sudah kuterima pesanmu saat aku datang kemarin. Insya Allah aku akan berusaha mengawasi mereka dan membimbing mereka ke jalan yang benar.”
Lukman memberikan senyum yang teramat lemah. “Adik saya adalah pria yang baik. Tolong bimbing dia seperti Ustadz membimbing saya.”
“Insya Allah, jika Allah merestui, adik dan istrimu akan sampai pada jalan yang sama.”
Fathul melihat Raihanah menggigit bibir. Tampak sangat tersiksa dan menahan diri.
“Mohon bimbing saya untuk yang terakhir kalinya, Ustadz.”
Ustadz Ridwan mengangkat kedua tangan setelah memberikan anggukan kepada Ramlah, istri sahabatnya. Seolah mengingatkan wania itu untuk ikhlas lillahi ta’ala. Doa yang panjang pun dimulai, dilatarbelakangi isak tangis yang mati-matian diredam. Hanya Fathul yang berdiri di samping ranjang tanpa melakukan apa pun.
Ustadz Ridwan mendekatkan bibir ke telinga Fathul, membisikkan sesuatu yang berulang-ulang sambil memegang kepala pria itu. Lukman mengikutinya dengan gerakan bibir yang samar-samar.
Lalu … di detik yang panjang dan melelahkan itu, Ustadz Ridwan akhirnya mengusap wajah Lukman hingga kedua matanya tertutup sempurna. Dadanya tak lagi bergerak dan embusan napasnya tak terasa sama sekali.
Pria itu sudah pulang.
Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing. Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya. “Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.” Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis. Banyak orang yang m
Fathul tertegun. Kapan wanita itu menyetujuinya? Bukankah sejak tadi dia diam saja? Diliriknya Raihanah yang duduk di ujung sofa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Fathul mengernyit ragu. Harusnya perempuan itu protes dan menyangkal habis-habisan. Beberapa pasang mata yang terfokus padanya menanti jawaban Fathul. Dengan tarikan napas yang cukup kencang, dengan tegas Fathul membuka bibirnya. “Saya tidak bisa.” Siapa yang mau menyetujui ide gila dari orang sekarat yang hendak mati? Ustadz Ridwan mengangguk paham. “Memang seharusnya begitu. Aku pun berpikir keputusan Lukman tidaklah dipikirkan secara matang. Namun, perbincangan kami beberapa hari yang lalu, membuatku cukup mengerti alasan Lukman ingin kau menikahi Raihanah setelah masa iddahnya selesai.” Memangnya apa alasannya? Fathul hanya berpikir, untuk yang terakhir kalinya, Lukman ingin memberinya sumbangan, berupa perusahaan yang akan bangkrut, barang bekas yang tak lagi dia inginkan atau warisan yang tidak bernilai. N
Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali. Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu. Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu. Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari. Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah. “Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?” Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungk
Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun. Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia. Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar. Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut. Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih. “Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdo
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana