Share

2. Nikahi Istriku

“Datanglah ke rumah, Fathul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Lima tahun setelah Misan Malik meninggal, Lukman memanggilnya ke rumah Malik, rumah yang ia tinggalkan sejak tiga hari setelah Misan Malik dimakamkan.

“Ah, tidak. Kita ketemu di kafe saja. Aku akan berikan alamatnya."

Setelahnya Fathul sampai di kafe yang disebutkan pria itu. Tempat itu cukup sederhana dari luar, tapi ternyata dari dalam lumayan mewah. Lukman duduk di salah satu sofa yang menghadap jendela. 

Fathul duduk tanpa berbasa-basi, hanya Lukman yang mengucapkan salam tanpa mau dia jawab. Dia tahu mengapa Lukman batal mengundangnya ke rumah, sebab Ramlah, ibu pria itu sekaligus ibu tiri Fathul akan terpengaruh dengan kehadirannya. 

“Mau pesan sesuatu?” tanya Lukman, tampak bersih dengan topi dan jaket putih, serta celana jeans yang sepertinya masih baru. 

Sedang Fathul berpakaian ala kadarnya. Kaos kebesaran yang ujungnya belel dan celana jeans robek yang kotor. Ia sedang bekerja dan tiba-tiba dipanggil. 

“Tidak perlu.” 

“Kau selalu saja tidak sabaran.” Lukman menghela napas, tampak seperti seorang kakak yang kecewa karena adiknya tidak ingin bertemu dengannya. 

“Saya bekerja.” Fathul tahu Lukman sedang menatap kerah kaosnya yang jahitannya hampir rusak. 

“Masih jadi kuli panggul di toko retail?”

Fathul mengernyit. 

“Ah, aku melihatmu beberapa kali di toko itu.”

Sejak meninggalkan rumah Malik, Fathul bekerja serabutan untuk hidup dengan layak. Sesekali dirinya akan dipanggil untuk alasan yang sama. Yaitu diberikan sumbangan, barang bekas, atau sesuatu yang bernilai sebagai bentuk rasa iba. 

“Pasti berat bekerja seperti itu sambil membiayai kuliahmu. Kenapa kau tak mau menerima beasiswa itu?” 

“Saya tidak berminat ke Mesir.”

Lukman pernah menawarkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Hanya saja, beasiswa itu hampir kadaluarsa. Ia harus segera berangkat ke Mesir hari itu juga, tapi sama sekali tidak punya biaya. Apalagi bantuan pendidikan itu tidak penuh, hanya setengah.

“Abi pasti mengharapkanmu juga.” 

Lukman punya pendidikan yang tinggi. Di usia muda, dia sudah punya gelar pendidikan yang mumpuni. Fathul bisa membaca pikiran Lukman hanya dengan melihat sorot mata penuh kebanggaannya dan senyumnya yang seolah memaklumi Fathul. Bahwa Fathul tidak ingin mengenyam pendidikan agama yang tinggi sebab dia bukanlah bagian keluarga Malik. Dirinya hanyalah anak dari seorang pelakor.

“Aku mau ke Mesir lagi untuk melanjutkan pendidikanku. Aku hampir lupa soal amanat Abi.” Dia mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tas ranselnya. “Abi bilang aku harus memberikan sesuatu padamu, mesti berbagi. Ini salah satu usaha yang dimiliki Abi, kau boleh mengambilnya.”

Dokumen bertuliskan nama perusahaan itu membuat kening Fathul mengerut tidak suka. 

“Aku baru memberikannya sekarang karena kupikir kau sudah berpengalaman dan dewasa. Ambillah, sebagai warisan terakhir dari Abi.”

Fathul ingat betul senyum yang terlihat tulus itu. Saat ternyata Fathul mengetahui bahwa perusahaan yang diberikan padanya adalah perusahaan kecil yang hampir bangkrut dan punya utang yang cukup besar. 

Ia ingin mengembalikannya, tapi kala mengingat Misan Malik, niatnya ia urungkan. Pria yang menolongnya dan memberinya rumah. Setidaknya dia harus menghargainya. Namun, kali ini dia tidak bisa menghargai pemberian pria itu. Ia tidak pernah menginginkan sumbangan dalam bentuk seorang istri. 

“Setelah masa iddahnya selesai, nikahilah dia.” 

Rasa-rasanya Fathul masih bisa merasakan kesombongan dari nada suara yang lemah dan wajah yang pucat itu. Keangkuhan yang selalu tersirat saat mereka bertemu. 

“Apa maksudmu, Lukman?! Raihanah bukan barang yang bisa diberikan pada pria lain!” Ramlah merebut perhatian Lukman. Sejak tadi, tidak sekalipun dia melirik Fathul. 

Fathul mengerti sebanyak apa wanita itu membencinya. Sebab Misan Malik menikahi ibunya secara diam-diam. Setelah ibu Fathul meninggal, Misan Malik membawanya ke rumah Malik dan memperkenalkannya sebagai anak dari istri keduanya. 

“Bukan seperti itu, Ummi. Lukman punya utang pada orang tua Hanah untuk terus menjaganya.”

“Biar Ummi yang menjaga Hanah!” Wanita yang biasanya selalu diam dan anggun itu terlihat sangat panik.

Lukman kembali menoleh pada Fathul. “Kalau tidak keberatan, bisakah kau juga menjaga Ummi?”

“Lukman!”

Fathul tidak memberi jawaban, sebab ia tahu Lukman tidak memerlukan persetujuannya. 

“Hanah, bukannya Abang menganggap Hanah tidak bisa menjaga diri sendiri. Hanya saja banyak hal yang bisa membuat kehormatanmu tercoreng jika ditinggalkan oleh suamimu. Orang-orang akan bergunjing dan Hanah akan menjadi buah bibir yang lezat jikalau sedikit saja ada kesalahan yang kamu perbuat.” 

Perempuan bernama Hanah yang sejak tadi menunduk dengan napas tidak teratur itu mengangkat wajahnya. Dengan bibir pucat dan mata penuh kecemasan. 

“Hanah bisa paham maksud Abang, ‘kan?’

Raihanah mengangguk. 

“Abang selalu ingin yang terbaik untukmu.”

Fathul berharap wanita itu mengatakan tidak, mengajukan protes seperti yang dilakukan Ramlah atau bersikeras dan bilang jika dia hanya setia pada Lukman meskipun pria itu sudah meninggal, atau apa saja. Fathul tidak peduli. 

“Fathul, ini adalah permintaan terakhirku. Sebab hanya kaulah satu-satunya putra Malik yang tersisa setelah aku tiada.”

Mata yang meredup itu menyiratkan banyak hal yang bisa Fathul tebak. Bahwa sudah seharusnya Fathul membayar segala kebaikan yang sudah keluarga Malik berikan untuknya. 

“Ustadz Ridwan akan segera datang. Tolong jangan menangis terlalu lama, Hanah dan Ummi.” 

Sekitar tiga menit kemudian, seorang pria berpenampilan rapi, berpeci, dan mengenakan baju koko serta celana hitam yang longgar masuk dengan ucapan salam yang pelan. 

Jawaban dari salam itu pun lesu. Tiga orang yang ada di hadapan Fathul ini tengah diselimuti kesedihan yang mendalam, mungkin hanya dirinya yang tidak. 

Fathul ingat soal Ustadz Ridwan. Pemilik pondok pesantren yang merupakan sahabat Misan Malik. Dia yang juga membimbing Lukman selama ini setelah kematian Misan Malik. 

“Anakku, Lukman. Sudah kuterima pesanmu saat aku datang kemarin. Insya Allah aku akan berusaha mengawasi mereka dan membimbing mereka ke jalan yang benar.”

Lukman memberikan senyum yang teramat lemah. “Adik saya adalah pria yang baik. Tolong bimbing dia seperti Ustadz membimbing saya.”

“Insya Allah, jika Allah merestui, adik dan istrimu akan sampai pada jalan yang sama.”

Fathul melihat Raihanah menggigit bibir. Tampak sangat tersiksa dan menahan diri. 

“Mohon bimbing saya untuk yang terakhir kalinya, Ustadz.”

Ustadz Ridwan mengangkat kedua tangan setelah memberikan anggukan kepada Ramlah, istri sahabatnya. Seolah mengingatkan wania itu untuk ikhlas lillahi ta’ala. Doa yang panjang pun dimulai, dilatarbelakangi isak tangis yang mati-matian diredam. Hanya Fathul yang berdiri di samping ranjang tanpa melakukan apa pun. 

Ustadz Ridwan mendekatkan bibir ke telinga Fathul, membisikkan sesuatu yang berulang-ulang sambil memegang kepala pria itu. Lukman mengikutinya dengan gerakan bibir yang samar-samar. 

Lalu … di detik yang panjang dan melelahkan itu, Ustadz Ridwan akhirnya mengusap wajah Lukman hingga kedua matanya tertutup sempurna. Dadanya tak lagi bergerak dan embusan napasnya tak terasa sama sekali. 

Pria itu sudah pulang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status