Home / Romansa / Istri Sumbangan / 2. Nikahi Istriku

Share

2. Nikahi Istriku

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-02-25 02:35:32

“Datanglah ke rumah, Fathul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Lima tahun setelah Misan Malik meninggal, Lukman memanggilnya ke rumah Malik, rumah yang ia tinggalkan sejak tiga hari setelah Misan Malik dimakamkan.

“Ah, tidak. Kita ketemu di kafe saja. Aku akan berikan alamatnya."

Setelahnya Fathul sampai di kafe yang disebutkan pria itu. Tempat itu cukup sederhana dari luar, tapi ternyata dari dalam lumayan mewah. Lukman duduk di salah satu sofa yang menghadap jendela. 

Fathul duduk tanpa berbasa-basi, hanya Lukman yang mengucapkan salam tanpa mau dia jawab. Dia tahu mengapa Lukman batal mengundangnya ke rumah, sebab Ramlah, ibu pria itu sekaligus ibu tiri Fathul akan terpengaruh dengan kehadirannya. 

“Mau pesan sesuatu?” tanya Lukman, tampak bersih dengan topi dan jaket putih, serta celana jeans yang sepertinya masih baru. 

Sedang Fathul berpakaian ala kadarnya. Kaos kebesaran yang ujungnya belel dan celana jeans robek yang kotor. Ia sedang bekerja dan tiba-tiba dipanggil. 

“Tidak perlu.” 

“Kau selalu saja tidak sabaran.” Lukman menghela napas, tampak seperti seorang kakak yang kecewa karena adiknya tidak ingin bertemu dengannya. 

“Saya bekerja.” Fathul tahu Lukman sedang menatap kerah kaosnya yang jahitannya hampir rusak. 

“Masih jadi kuli panggul di toko retail?”

Fathul mengernyit. 

“Ah, aku melihatmu beberapa kali di toko itu.”

Sejak meninggalkan rumah Malik, Fathul bekerja serabutan untuk hidup dengan layak. Sesekali dirinya akan dipanggil untuk alasan yang sama. Yaitu diberikan sumbangan, barang bekas, atau sesuatu yang bernilai sebagai bentuk rasa iba. 

“Pasti berat bekerja seperti itu sambil membiayai kuliahmu. Kenapa kau tak mau menerima beasiswa itu?” 

“Saya tidak berminat ke Mesir.”

Lukman pernah menawarkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Hanya saja, beasiswa itu hampir kadaluarsa. Ia harus segera berangkat ke Mesir hari itu juga, tapi sama sekali tidak punya biaya. Apalagi bantuan pendidikan itu tidak penuh, hanya setengah.

“Abi pasti mengharapkanmu juga.” 

Lukman punya pendidikan yang tinggi. Di usia muda, dia sudah punya gelar pendidikan yang mumpuni. Fathul bisa membaca pikiran Lukman hanya dengan melihat sorot mata penuh kebanggaannya dan senyumnya yang seolah memaklumi Fathul. Bahwa Fathul tidak ingin mengenyam pendidikan agama yang tinggi sebab dia bukanlah bagian keluarga Malik. Dirinya hanyalah anak dari seorang pelakor.

“Aku mau ke Mesir lagi untuk melanjutkan pendidikanku. Aku hampir lupa soal amanat Abi.” Dia mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tas ranselnya. “Abi bilang aku harus memberikan sesuatu padamu, mesti berbagi. Ini salah satu usaha yang dimiliki Abi, kau boleh mengambilnya.”

Dokumen bertuliskan nama perusahaan itu membuat kening Fathul mengerut tidak suka. 

“Aku baru memberikannya sekarang karena kupikir kau sudah berpengalaman dan dewasa. Ambillah, sebagai warisan terakhir dari Abi.”

Fathul ingat betul senyum yang terlihat tulus itu. Saat ternyata Fathul mengetahui bahwa perusahaan yang diberikan padanya adalah perusahaan kecil yang hampir bangkrut dan punya utang yang cukup besar. 

Ia ingin mengembalikannya, tapi kala mengingat Misan Malik, niatnya ia urungkan. Pria yang menolongnya dan memberinya rumah. Setidaknya dia harus menghargainya. Namun, kali ini dia tidak bisa menghargai pemberian pria itu. Ia tidak pernah menginginkan sumbangan dalam bentuk seorang istri. 

“Setelah masa iddahnya selesai, nikahilah dia.” 

Rasa-rasanya Fathul masih bisa merasakan kesombongan dari nada suara yang lemah dan wajah yang pucat itu. Keangkuhan yang selalu tersirat saat mereka bertemu. 

“Apa maksudmu, Lukman?! Raihanah bukan barang yang bisa diberikan pada pria lain!” Ramlah merebut perhatian Lukman. Sejak tadi, tidak sekalipun dia melirik Fathul. 

Fathul mengerti sebanyak apa wanita itu membencinya. Sebab Misan Malik menikahi ibunya secara diam-diam. Setelah ibu Fathul meninggal, Misan Malik membawanya ke rumah Malik dan memperkenalkannya sebagai anak dari istri keduanya. 

“Bukan seperti itu, Ummi. Lukman punya utang pada orang tua Hanah untuk terus menjaganya.”

“Biar Ummi yang menjaga Hanah!” Wanita yang biasanya selalu diam dan anggun itu terlihat sangat panik.

Lukman kembali menoleh pada Fathul. “Kalau tidak keberatan, bisakah kau juga menjaga Ummi?”

“Lukman!”

Fathul tidak memberi jawaban, sebab ia tahu Lukman tidak memerlukan persetujuannya. 

“Hanah, bukannya Abang menganggap Hanah tidak bisa menjaga diri sendiri. Hanya saja banyak hal yang bisa membuat kehormatanmu tercoreng jika ditinggalkan oleh suamimu. Orang-orang akan bergunjing dan Hanah akan menjadi buah bibir yang lezat jikalau sedikit saja ada kesalahan yang kamu perbuat.” 

Perempuan bernama Hanah yang sejak tadi menunduk dengan napas tidak teratur itu mengangkat wajahnya. Dengan bibir pucat dan mata penuh kecemasan. 

“Hanah bisa paham maksud Abang, ‘kan?’

Raihanah mengangguk. 

“Abang selalu ingin yang terbaik untukmu.”

Fathul berharap wanita itu mengatakan tidak, mengajukan protes seperti yang dilakukan Ramlah atau bersikeras dan bilang jika dia hanya setia pada Lukman meskipun pria itu sudah meninggal, atau apa saja. Fathul tidak peduli. 

“Fathul, ini adalah permintaan terakhirku. Sebab hanya kaulah satu-satunya putra Malik yang tersisa setelah aku tiada.”

Mata yang meredup itu menyiratkan banyak hal yang bisa Fathul tebak. Bahwa sudah seharusnya Fathul membayar segala kebaikan yang sudah keluarga Malik berikan untuknya. 

“Ustadz Ridwan akan segera datang. Tolong jangan menangis terlalu lama, Hanah dan Ummi.” 

Sekitar tiga menit kemudian, seorang pria berpenampilan rapi, berpeci, dan mengenakan baju koko serta celana hitam yang longgar masuk dengan ucapan salam yang pelan. 

Jawaban dari salam itu pun lesu. Tiga orang yang ada di hadapan Fathul ini tengah diselimuti kesedihan yang mendalam, mungkin hanya dirinya yang tidak. 

Fathul ingat soal Ustadz Ridwan. Pemilik pondok pesantren yang merupakan sahabat Misan Malik. Dia yang juga membimbing Lukman selama ini setelah kematian Misan Malik. 

“Anakku, Lukman. Sudah kuterima pesanmu saat aku datang kemarin. Insya Allah aku akan berusaha mengawasi mereka dan membimbing mereka ke jalan yang benar.”

Lukman memberikan senyum yang teramat lemah. “Adik saya adalah pria yang baik. Tolong bimbing dia seperti Ustadz membimbing saya.”

“Insya Allah, jika Allah merestui, adik dan istrimu akan sampai pada jalan yang sama.”

Fathul melihat Raihanah menggigit bibir. Tampak sangat tersiksa dan menahan diri. 

“Mohon bimbing saya untuk yang terakhir kalinya, Ustadz.”

Ustadz Ridwan mengangkat kedua tangan setelah memberikan anggukan kepada Ramlah, istri sahabatnya. Seolah mengingatkan wania itu untuk ikhlas lillahi ta’ala. Doa yang panjang pun dimulai, dilatarbelakangi isak tangis yang mati-matian diredam. Hanya Fathul yang berdiri di samping ranjang tanpa melakukan apa pun. 

Ustadz Ridwan mendekatkan bibir ke telinga Fathul, membisikkan sesuatu yang berulang-ulang sambil memegang kepala pria itu. Lukman mengikutinya dengan gerakan bibir yang samar-samar. 

Lalu … di detik yang panjang dan melelahkan itu, Ustadz Ridwan akhirnya mengusap wajah Lukman hingga kedua matanya tertutup sempurna. Dadanya tak lagi bergerak dan embusan napasnya tak terasa sama sekali. 

Pria itu sudah pulang. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sumbangan   43. Hati yang Hangat

    “Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun

  • Istri Sumbangan   42. Istri yang Tak Pantas Disumbangkan

    Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk

  • Istri Sumbangan   41. Semakin Jatuh Cinta

    “Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.

  • Istri Sumbangan   40. Menerima Seutuhnya

    “Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h

  • Istri Sumbangan   39. Menemukan Rumahku

    Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat

  • Istri Sumbangan   38. Cerita di Sepertiga Malam

    Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang

  • Istri Sumbangan   37. Takluk

    “Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”

  • Istri Sumbangan   36. Omelan Istri

    Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca

  • Istri Sumbangan   35. Pendekatan

    Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status