Pagi-pagi sekali, Lius berjalan perlahan masuk ke dalam ruang rawat Lea. Ia menatap diam Lea yang sedang tidur meringkuk memeluk perutnya.“Apa aku melakukan kesalahan?” batin Lius mulai bimbang.Ia berjalan masuk, duduk terdiam memandang Lea dari sofa tempatnya. Ada rasa damai saat memandang wajah lelap istrinya, namun ada rasa marah yang juga terselip dalam hatinya.Entah apa yang membuat Lius merasa marah, karena tuduhannya terhadap Lea atau justru ada penyebab lainnya.“Kenapa aku merasa bimbang melihatnya, kenapa dengan aku ini. “ batinnya begitu frustasi.Lius menghela nafasnya dengan kasar, menengadahkan kepalanya dan menutup mata dengan sebelah tangannya.Hari semakin siang, tepat pukul 10.00 pagi seorang dokter masuk dan mendekati Lea yang ternyata masih terlelap dalam tidurnya.“Bagaimana?” Tanya Dokter pada suster yang menemaninya.“Tensi darahnya sudah normal,
Sepanjang perjalanan pulang Lea hanya diam, menatap luar gedung-gedung tingkat yang di lewatinya. Perlakuan Lius hari ini benar-benar sudah keterlaluan, ia hampir saja melukai bayi dalam kandungannya.“Nyonya, kita sudah sampai.” Ucap supir yang menjemputnya.Lea tersadar dari lamunannya, ia segera turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Ia disambut oleh pak Erik yang sudah ada di depan rumah.“Selamat datang kembali, Nyonya.”“Pak Erik, kenapa ada disini?”“Karena Mommy yang memintanya.”Lea mengenali suara itu, air matanya mulai menganak di pelupuk matanya. Sosok wanita yang begitu elegant tengan berdiri di depannya, aura dinginnya begitu mendominasi hingga ia pun merasakan sesak dengan keringat dingin membasahi keningnya.Wanita itu mulai berjalan mendekat, membuat Lea semakin memundurkan setiap langkahnya.“Kenapa menghindar? Apa kau takut dengan Mommy mu ini?
Lea terbangun ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk, ia melirik jam weker yang ada di sebelah tempat tidurnya.“Masih jam 6 pagi ternyata,” gumamnya.Ia pun perlahan beringsut turun dari ranjangnya, berjalan sembari mengikat rambut panjangnya.“Sayang, ini Mommy.”Sekar tersenyum saat wajah bantal Lea muncul di hadapannya, ia pun segera memeluk tubuh itu dengan begitu hangat.“Selamat pagi sayang.”“Pagi, Mommy.” Balasnya penuh senyuman.Sekar melerai pelukannya, merapikan anak rambut Lea yang berantakan menutupi wajah cantiknya. Lea memejamkan matanya saat jari-jari lentik itu menyentuh setiap helai rambutnya.“Mau olah raga bareng?” tanya Sekar.“Aku mandi dulu kalau begitu, Mom?”“No, nanti aja mandinya. Sekarang ganti baju saja.”Sekar mendorong masuk tubuh Lea ke dalam kamar, menutup pintu dengan begitu perlahan.
Sekar begitu panik, ia ikut mendorong brangkar Lea menuju UGD. Rasa marah, cemas juga bersalah menjadi satu membuat Sekar begitu tak tenang.“Maafin, Mommy. Kalau saja aku nggak ninggalin Lea lama,” sesalnya.Sekar mondar mandir sembari memperhatikan pintu ruang UGD yang tak kunjung terbuka.Dan tak lama seorang dokter keluar, dengan segera Sekar menghampirinya.“Bagaimana putri saya, Dok?”“Tidak ada masalah yang berarti dengan pasien, hanya luka goresan pada kaki juga pergelangan tangannya saja.”“Lalu kandungannya gimana?”Dokter tersebut menjelaskan dengan detail kondisi Lea juga kandungannya, Sekar bisa bernafas lega mendengar jika mereka baik-baik saja.Tak perlu rawat inap, Lea segera di bawa pulang oleh Sekar ke rumahnya.Lasmi yang kesal karena di dorong hingga terjatuh pulang dengan wajah kesalnya, terlebih baju yang di kenakannya itu harus terkena t
“Apa putriku belum bangun, Bik?”“Belum, Nyonya. Apa perlu saya bangunkan?”Sekar menggeleng, pagi ini ia ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tak tega jika harus meninggalkan Lea seorang diri di rumah, Sekar berencana membawa serta Lea bersamanya.“Pagi semua,” Lea tiba-tiba sudah berdiri memeluk Sekar dari samping.Sekar tersenyum, ia membalas pelukan itu dan segera meminta Lea untuk duduk dengannya.“Sayang, hari ini Mom ada urusan. Mungkin sore baru kembali, kamu ikut ya?”Lea menghentikan gerakannya mengoles selai di atas roti, ia menatap Sekar yang juga tengah menatapnya dengan penuh harap.“Lea di rumah saja ya, Mom.”“Tapi, Mommy nggak tenang kalau kamu di rumah sendirian gini. Mom takut kejadian kemarin keulang lagi.”Lea jelas melihat gurat cemas di wajah mertuanya, ia pun tersenyum dan segera menggenggam tangan Sekar.“Mommy
Para pelayan di buat berdebar ketika mendengar suara pecah belah dari dalam kamar, mereka mencemaskan kondisi nona mudanya yang saat ini tengah mengandung.“Dimana tuan Lius?”Semua pelayan berucap syukur saat melihat pak Erik datang, mereka segera berusaha membuka pintu kamar dimana Lius mengunci diri bersama Lea.“Tuan Lius, tolong buka pintunya. Jangan melakukan hal yang akan membuat anda menyesal nantinya.” Teriak pak Erik.Tak ada sahutan, hanya suara barang berjatuhan yang nyaring terdengar di dalam sana.“Bagaimana ini, Pak?”“Apa bisa di buka dengan kunci cadangan?”“Tidak bisa, kunci yang ada didalam sepertinya tidak di lepas oleh tuan muda.”“Kita dobrak.”Lius tengah berusaha membuka paksa pintu kamar mandi, ia tahu jika Lea ada didalam sana.“Buka,” teriaknya.“Kenapa, kenapa Lius? Kenapa kau begitu kejam p
Akhrinya tiba, Rania kembali menginjakkan kakinya di negara kelahirannya.“I’m back.”Rania melihat mobil yang menjemputnya, ia pun segera melambaikan tangan pada supir yang menunggunya.Di perjalanan ia melihat toko bunga, ia teringat ibunya dan meminta sopir untuk berhenti sejenak.“Sebentar, aku ingin membeli bunga untuk mommy ku.”Bunga lili putih dengan kombinasi kristan merah menjadi pilihan Rania.“Rangkaikan ini, tolong.”Lea terbangun dari tidurnya, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan wajahnya seperti mati rasa.Ia menatap di sekelilingnya, kosong. Dan dia sudah merasa biasa dengan itu.Lea menatap ponsel yang ada di atas nakas, ia pun berusaha meraih nya dengan susah payah.“Bisa, aku harus kuat. Demi bayi ini,” menyentuh perutnya.Ingin sekali Lea menghubungi Lius, namun ia tak ada keberanian untuk itu semua. Ia hanya
Sekar terlibat perdebatan panjang dengan Lius, tak ada satupun dari keduanya yang ingin mengalah dan menyudahi argument itu. Hingga tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu dengan begitu angkuhnya.“Mom, biarkan dia pergi. Itu pilihannya sendiri, bukan kita yang memaksanya.”“Rania?”Semua orang terkejut dengan kedatangan Rania, terlebih Sekar yang terkejut dengan pernyataan putrinya itu.“Kak, kapan kau datang?”Lius berhambur memeluk Rania, laki-laki itu tersenyum begitu manis pada kakaknya. Ia begitu merindukan Rania, kakak perempuan yang selalu mengerti akan dirinya.“Aku sudah kembali, kamu tenang aja ya.”Rania segera membawa ibunya keluar dari rumah itu, rumah dimana penuh dengan banyak sandiwara.Sekar hanya diam saat di bawa pergi oleh putrinya, ia juga sama sekali tak mengucap sepatah katapun pada Rania.Di sepanjang jalan pulang keduanya saling diam, Rania mem