Ami dan Emir, kini sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Farida. Pagi-pagi sekali, Emir membawa Aminarsih dan Amira pulang ke rumah orangtuanya. Karena permintaan mamanya. Bu Farida rindu dengan Amira, selain itu, rumah juga terasa sepi bilam tak ada Amira di rumahnya.
Tentu saja, Emir yang kini merasa horor dengan apartemennya, memilih setuju untuk untuk membawa Amira.dan Ami ke rumahnya. Apartemen itu akan ia jual saja, dari pada menyeramkan seperti itu."Kamu gak papa, Mi?""Gak papa, Mas. Emangnya kenapa?" tanya Ami keheranan."Setelah tadi malam, apa kamu merasa baik-baik saja?" "Iya, saya tidak apa-apa. Mas yang takut ya? Hayo ... Ngaku, hi hi hi ...." Ami menertawakan Emir."Ketawanya jangan ngikik, Mi. Jadi mirip kunti," ujar Emir sambil menelan salivanya."Ha ha ha ... Mas lucu deh!" Ami mencubit pipi Emir."Sakit," ujar Emir manja."Uluh, lebay. Ha ha ha ...."Ami masih bingung dengan pengakuan dari Bu Farida. Benarkah Bu Farida teman dari umi dan abinya? Bu Farida masih saja menangis memeluk dirinya. Bahkan pelukan itu sangat erat, membuat Ami hampir kehabisan nafas."Ya Allah, puluhan tahun saya selalu berharap berjumpa dengan Narti, ternyata dia sudah tidak ada. Ya Allah, saya rasanya tak percaya, Mi. Terakhir bertemu, saat saya menjenguk kamu lahir usia empat puluh hari dan Narti memberi tahukan tanda lahir di leher kamu. Ya Allah ...." Bu Farida memeluk kembali Ami dengan erat.Amira yang asik bermain boneka, akhirnya menoleh pada ibu dan omanya. Amira bangum dari duduknya, lalu menghampiri keduanya. Amira bergelayut di tubuh Ami, sambil memandang heran keduanya."Ibu, Oma, tenapa nanis?""Ya Allah, kalian ini benar-benar bagian dari keluargaku. Alhamdulillah ya Allah, telah mempertemukan kami di sini." Bu Farida kini memanggku Amira. Jemari gadis kecil itu terangkat menghapus a
Emir sudah mengajukan gugatan perceraian pada Farah. Tak perlu memakai jasa pengacara, karena ia memiliki bukti cukup kuat untuk majelis hakim meloloskan gugatannya. Baru tahap pendaftaran, untuk jadwal masih antre dan akan dihubungi satu bulan yang akan datang. Tentu saja, banyak rencana di kepalanya setelah perceraiannya dengan Farah sah. Salah satunya adalah segera melamar Ami untuk ia jadikan istri. Rasa tak sabar begitu kuat di dadanya, tapi ia ingat akan perkataan sang mama, bahwa ia harus lebih dahulu membereskan semua masalah dengan Farah. Bahkan Emir sudah bercita-cita, akan membawa Aminarsih berbulan madu ke Mekkah, tepatnya melaksanakan umroh, tak lupa membawa Amira turut serta.DrrtDrrtEmir melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.Jin CantikEmir terkekeh sendiri membaca nama kontak Ami yang ia buat. Kenapa harus 'Jin Cantik'? Karena Ami mampu melihat hal goib yang tidak bisa semua
Amira sudah terlelap di pangkuan Emir. Lelaki itu bersikeras mengajak Ami bicara baik-baik. Sungguh ia pun tak menyangka akan kabar yang diberikan Farah tadi. Kini, keduanya masih senyap tanpa suara, hingga pukul sepuluh malam. Ami duduk menunduk sambil memilin ujung bajunya, dengan air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Emir memandang sendu wanita yang ia cintai. Perjuangan untuk memilikinya sepertinya akan panjang, tetapi ia tidak akan menyerah."Waktu itu, saat Farah pertama kali berangkat ke Malaysia, saya menemukan pil KB di kamar. Pil yang sudah hilang sebanyak tujuh pil. Jujur saya kecewa, karena saya tidak menyangka akan mendapati istri saya begitu enggan untuk punya anak," terang Emir dengan suara parau. Ia yang tadinya duduk berhadapan dengan Ami, kini memilih pindah, untuk kemudian duduk di samping Ami."Sini lihat saya!" Emir mengusap rambut Ami dengan lembut, namun Ami mengelak. Ia masih saja sesegukan menahan tangis agar tak tumpah
"Jadi menurut kalian, siapa ayah bayi itu? Katakan!""Mas Emir." Farah seketika bangun dari duduknya. Dadanya berdegub sangat kencang, saat sosok yang ia belum ingin lihat, sudah ada di hadapannya dengan wajah memerah menahan marah. Daniel pun hanya bisa menelan saliva tanpa mampu berkata-kata. Saat Emir berjalan mendekat, kemudian meremas kerah bajunya, nyali Daniel semakin menciut."Apa kamu ayah bayi yang dikandung istriku? Jawab!" Emir tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya, lelaki terus saja berteriak sampai urat leher dan wajahnya ikut memerah padam. Semua kru yang ada di sana mengelilingi Emir dengan tatapan bingung. Ada yang menarik tubuh Emir agar menjauh dari Daniel, namun ia tepis."Katakan siapa ayah bayi yang sebenarnya? Katakan Daniel! Sebelum aku membawa kalian berdua ke kantor polisi," bisik Emir sinis begitu dekat dengan wajah Daniel."Kamu ayah bayi itu, Emir. Kamu ayah bayinya. Jika tidak percaya, kamu sil
Dengan jemari gemetar dan dada berdebar, Bu Farida mencoba menghubungi nomor Emir, namun tak diangkat. Berkali-kali tiada lelah Bu Farida melakukannya, bahkan air mata ikut menetes tatkala melihat semua pakaian yang dia berikan pada Ami dan Amira tidak ada yang dibawa. Lemari kecil yang digunakan untuk menyimpan baju-baju yang ia berikan masih terisi dengan penuh. Berati Ami dan Amira pergi hanya mengenakan baju yang melekat pada tubuh mereka saja. Betapa sedih dan hancurnya hati wanita paruh baya itu ketika mendapati Ami yang benar-benar pergi dari kehidupannya."Ami, kamu ke mana?" gumam Bu Farida dengan lemah. Ia duduk di ranjang Emir, yang kurang lebih sepuluh hari ini ditiduri oleh Ami dan juga Amira. Kasur sudah rapi, bersih, seprei juga tampaknya baru diganti oleh Ami."Kontrakan? Nah, iya, kontrakan." Cepat Bu Farida keluar dari kamar, lalu memakai gamis di dalam kamarnya serta kerudung instan cukup lebar. Setelahnya Bu Farida menyambar kunci mobil.&nbs
Ami sudah tiba di terminal bus Pulogadung. Kedua kakinya melangkah dengan sedikit berat, karena Amira tertidur. Perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta yang memakan waktu kurang lebih dua belas jam, membuat Amira tampak kelelahan. Kepalanya menoleh ke sana-kemari, mencari masjid, karena adzan magrib baru saja berkumandang, saat ia turun dari bus tadi."Permisi, Bang. Kalau mushollah atau masjid di mana ya?" tanya Ami pada kernet bus yang sedang ngetem tak jauh dari posisi ia berdiri."Oh, di sana Mbak. Lurus saja dari sini, terus belok kanan," ucapnya memberi tahu arah musholla dengan tangannya."Terimakasih," ucap Ami sambil sedikit membungkuk. Masih dengan menggendong Amira di depan tubuhnya, ia berjalan menuju arah musholla yang tadi diberitahu. Peluhmya bercucuran, bau badan akibat naik bus ekonomi membuat ia sendiri tak nyaman, namun, apa mau dikata, ia tidak punya baju lain, selain baju yang ia kenakan ini.Dibukanya sendal jep
Ami menyuapkan bubur kacang hijau ke dalam mulut Amira. Gadis kecil itu makan dengan lahap, sambil sesekali menoleh pada ibunya yang masih saja meneteskan air mata."Ibu, janan sedih telus. Nanti juga ada Papa Emil," ujar Amira dengan mulut penuh bubur kacang hijau.Ami semakin sedih bila mengingat Emir, lelaki yang takkan pernah menjadi imam dalam hidupnya. Ditambah lagi kehilangan uang hasil jerih payah menjual peyek, membuat air matanya tak mau disuruh berhenti. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri, karena teledor menyimpan uang, sehingga ia kehilangan uang banyak di sakunya. Hanya tersisa lima ribu rupiah di saku baju Amira, yang ia selipkan saat menerima kembalian dari beli nasi semalam."Belum rezeki, Mbak. Sabar ya," ucap mamang bubur yang merasa iba dengan keadaan Ami dan Amira."Iya, Mang. Terimakasih," sahut Ami sangat pelan. Sungguh ia tak berdaya kini, walaupun mamang bubur tetap memberikan semangkuk bubur tanpa harus
"Enak, Yut," ucap Amira saat tengah asik menyantap aneka makanan yang terhidang di atas meja makan besar di rumah Tuan Wijaya.Lelaki tua itu tersenyum, lalu mengangguk, "makannya yang banyak. Semua makanan ini punya Amira," katanya sambil mengusap rambut kriting Amira dengan lembut. Di depan Amira, ada Aminarsih yang juga tengah menyantap nasi, lengkap dengan aneka lauk pauk yang sangat enak."Tuan, ini ....," ucap Ami dengan mata berkaca-kaca."Makanlah dulu yang banyak, kenyangkan perutmu. Setelah itu beristirahatlah, nanti malam kita akan berbelanja kebutuhan kamu dan Amira, cicitku." Kakek tua itu memilih pergi meninggalkan Ami di meja makan bersama Amira, agar keduanya makan dengan lebih leluasa. Dia masuk ke dalam ruangan besar, di mana itu adalah kantor sekaligus kamar baginya. Diambilnya ponsel, lalu mencoba menghubungi seseorang.["Hallo, Pak Dibyo. Bisa segera diurus berkas warisan saya? Cucu dan cicit saya sudah ditem