Emir sudah berada di dalam kereta api menuju Surabaya. Ya, malam ini, ia memutuskan pulang ke Surabaya, karena harus segera mengurus perceraiannya dengan Farah. Bagaiamana bisa? Bukannya Farah hamil? Pertanyaan itu terus yang berputar di kepalanya. Hingga ia bertemu dengan salah seorang ustadz di masjid rumah Suraya. Ia menanyakan perihal talak saat istri hamil. Maka hukumnya sah, karena istri dalam keadaan suci. Hanya untuk menyelesaikan semua berkas secara negara, maka sebaiknya ditunggu sampai dengan masa nifasnya selesai.
Tekad Emir sudah bulat, ia takkan ragu untuk menceraikan Farah. Besok pagi, begitu sampai di rumahnya, ia akan merapikan semua barang dari rumah yang ia beli bersama Farah. Biarlah rumah itu menjadi milik Farah saja. Ia tidak mau tinggal di atap yang berisikan kenangan bersama Farah. Amira bagaimana? Setelah semuanya selesai, Emir akan kembali mencari Amira dan Ami. Pasti ia akan menemukan keduanya.DrrtPrrang"Amira!" Ami berlari menghampiri Amira yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas minumnya."Diam di situ, Mira! Nanti terkena pecahan kacanya!" Bik Astri yang kaget dengan suara benda pecah, bergegas ke dapur untuk mengambil sapu dan serokan sampah."Biar saya, Non. Neng Amira, jangan bergerak ya. Biar Bibik sapu dulu," ujar Bik Astri pada Amira. Gadis kecil itu mengangguk, sekaligus takut. Air mata sudah mengalir di pipinya."Sudah sayang, sudah selesai. Ayo, sama Ibu sini!" Ami mengulurkan tangannya untuk menggapai Amira yang masih terdiam karena takut. Belum pernah sekalipun Amira terlepas memegang gelas atau pun piring."Amira kenapa? Licin ya tangannya?" tanya Ami lemah lembut. Amira sudah duduk di pangkuannya, sambil mengusap air mata."Ibu, Mila inet Papa Emil. Kenapa kita didak ke kantol Papa, Bu?" tanya Amira lagi diiringi isakan. Gadis kecil itu begitu merindukan Emir, begitu juga deng
Farah dilarikan ke rumah sakit, keesokan harinya. Sang Mama baru saja bangun saat pukul lima shubuh dan menemukan Farah terkapar tak sadarkan diri di lantai ruang televisi, dengan bau pesing yang sangat menyengat. Lekas Bu Sinta menghubungi Daniel dan mengabarkan kondisi Farah.Begitu sampai di rumah sakit, Daniel langsung menggendong Farah masuk ke dalam ruang IGD untuk diperiksa. Seorang dokter muda yang berjaga pagi itu, segera memeriksa kondisi Farah."Apa yang terjadi?" tanya dokter itu pada Daniel dan Bu Sinta."Saya bangun pagi hari dan menemukan anak saya sudah pingsan di ruang televisi," terang Bu Sinta dengan khawatir."Aromanya tak sedap," ujar dokter itu sambil mencebik, merasa terganggu dengan bau pesing pasien yang tengah ia periksa."Maaf, Dok. Sepertinya memang anak saya buang air kecil di celana," timpal Bu Sinta merasa tak enak dengan dokter dan beberapa perawat di sana."Saya periksa dulu ya."
Sepanjang perjalanan menuju Surabaya, dengan pesawat pribadi milik Tuan Wijaya. Ami tak hentinya meneteskan air mata, sedangkan Amira bingung, kenapa ibunya dari tadi menangis terus. Amira memang tidak tahu jika Emir sakit, Ami tak sampai hati menyampaikan kabar buruk pada Amira. Apa lagi, gadis kecil itu tahunya Papa Emir sedang bekerja. Tentulah Ami bisa dicap membohongi Amira lagi. Gadis kecil Aminarsih itu begitu pintar.Ada Bik Astri yang menemani penerbangan sore ini, Tuan Wijaya juga ikut serta, begitu juga Pak Samsul. Tuan Wijaya yang memaksa pergi ke Surabaya dengan pesawat pribadi miliknya, karena lelaki tua itu ingin mengucapkan terimakasih pada Emir, karena telah menolong cucu menantunya."Ibu, sudah ya, janan nanis." Amira bergelayut manja di tubuh Aminarsih. Bola mata abunya terus saja menatap Ami penuh harap, agar ibunya itu berhenti meneteskan air mata."Iya, Amira." Ami tersenyum, lalu menghapus air matanya."Makanla
"Kamu ...," suara bariton tua milik Tuan Wijaya membuat Bu Farida menoleh pada sosok lelaki, yang kini berdiri dengan tongkat di depannya."Allahu Akbar! Papa?!""K-kamu Farida, temannya Deandra'kan?" tanya Tuan Wijaya lagi sambil mendekat ke arah Bu Farida."I-iya, Pa. Ya Allah." Bu Farida menghambur ke hadapan Tuan Wijaya, bahkan ia mencium punggung tangan lelaki tua renta itu, sembari memeluknya singkat."Ada apa ini, Ma?" tanya Suraya menginterupsi. Ia merasa heran dengan kedekatan antara ibunya dan kakek sepuh yang sedang memakai tongkat ini."Kamu ingat Tante Deandra'kan? Ini mertuanya. Ayah dari Pak Broto," terang Bu Farida dengan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Suraya mengangguk kaku, bukankah Tante Deandra sudah meninggal bunuh diri?"Papa Emil sakit ya, Bu?" suara Amira yang kini berdiri di dekat brangkar Emir, membuat semua yang ada di sana ikut menoleh kepada Amira. Mereka tersenyum penuh ha
Opa Wijaya, Pak Samsul, dan Bik Astri, sudah pergi menuju hotel yang terdekat dari rumah sakit tempat Emir dirawat. Sedangkan Amira dan Ami, memilih untuk tidur di rumah sakit bersama Bu Farida, karena Suraya besok harus kembali ke Jakarta.Bola mata abu Amira masih terus saja memandang Emir yang terlelap di brangkarnya. Gadis kecil itu memilih tidur di sofa yang mengarah pada Emir. Tak sedikit pun ia memejamkan mata. Amira benar-benar merasa sedih karena Papa Emirnya masih saja terlelap."Tidur, Sayang," tegur Ami pada puterinya. Ami mengusap rambut Amira penuh sayang, lalu mengecup kepala Amira yang masih sangat harum. Jika dulu rambut dan kepala anaknya bau apek, karena hanya memakai sampo dua hari sekali. Sekarang, entah sampo apa yang diberikan oleh Bik Astri, sehingga rambut Amira selalu wangi sepanjang hari, walaupun gadis kecilnya itu berkeringat."Papa boboknya lama ya, Bu? Tapan banunnya?" Amira yang tadinya berbaring, kini memi
Satu Jam Sebelum Emir Kejang.Seorang lelaki tengah berada di dalam kelas, mengajar Mata Pelajaran Bahasa Inggris, di kelas IX. Saat tengah asik menerangkan pelajaran, tiba-tiba pintu kelasnya diketuk.TokTokKleeek"Permisi, Pak Iqbal. Tolong diangkat telepon dari Pak Zaki," ujar Pak Ujang, guru olah raga yang barusan mengetuk pintu kelasnya."Oh, baik Pak. Terimakasih." Iqbal mengangguk paham, lalu mengeluarkan ponsel yang memang ia getarkan saja. Sehingga tidak mengganggu saat ia mengajar. Maklumlah, bekerja sebagai tenaga pendidik, memang sudah sangat ia sukai, sehingga walau sudah bekerja di kantor, tetap ia mengambil freelance mengajar pelajaran Bahasa Inggris di dua sekolah."Anak-anak, Bapak ijin terima telepon dulu ya," ujarnya pada seluruh siswa di dalam kelas. Lamgkahnya lebar menuju pintu keluar."Hallo, Assalamualaikum. Iya, Pak Zak
"Narsih,Amira, saya harus kembali ke Jakarta sekarang, tetapi Pak Samsul dan Bik Astri akan menemani kalian di sini," terang Tuan Wijaya menghampiri Ami yang tengah membantu Emir mengganti pakaiannya yang terkena muntahaan darah."Opa, tapi ... Saya dan Amira baik-baik saja. Pak Samsul biar ikut Opa pulang, Bik Astri yang di sini," sahut Ami yang merasa sungkan. Bagaimana mungkin ia didampingin banyak orang?"Tak apa, saya juga akan kirim beberapa orang untuk berjaga di depan," tambah Tuan Wijaya, yang kini melihat ke arah Emir. Tentu saja Emir mengangguk hormat sambil memberikan senyum tipisnya."Pa, memangnya ada apa? Kenapa sampai harus ada yang berjaga di depan?" kali ini Bu Farida yang buka suara, bertanya pada Tuan Wijaya.Kening Emir, semakin berkerut. Di kepalanya ada begitu tanda tanya tentang siapa lelaki tua yang masih terlihat gagah ini? Bagaimana bisa bersama Ami? Bagaimana bisa ibunya memanggil Papa? Bukankah kakeknya s
Farah membuka mata perlahan, sambil merasakan sakit pada pergelangan tangan yang sepertinya terikat di ranjang besi. Langsung ia tersentak, saat menyadari keadaan sekelilingnya yang gelap. Di mana dia?"Hei! Lepaskan aku!" teriaknya kencang. Suara itu menggema di dalam ruangan. Bau anyir, apek, dan aroma bangunan tua, sangat menusuk hidungnya. Membuat ia merasakan mual yang sangat hebat."Ueekk!""Ueek!""Baji***n! Beraninya kalian dengan perempuan! Baji****n! Lepaas!"Farah terus saja berteriak histeris minra dilepaskan. Ia tidak tahu, apakah sekarang sudah malam, atau malah sudah pagi. Rasa lapar membuatnya semakin histeris. Jika artis atau model yang lain akan memilih diet, atau sedikit makan, tetapi dirinya tak pernah melewatkan waktu makan sedikit pun. Jadi, bila sekarang perutnya terasa sangat sakit, itu tandanya ia memang belum makan apapun."Aku lapar, baji***n! Lepaaass! Toloooong! Tolooong!" jerit Farah pilu sembari ter