Pasti lagi pada nungguin yang mau malam pertama yaak?? Ha ha ha hayy
****Setelah acara memakaikan cincin dan mengecup kening sang istri. Dilanjutkan dengan acara sungkeman. Tuan Wijaya dan Bu Farida sudah duduk di kursi ukir yang tadinya disiapkan untuk spot foto lamaran. Emir menggenggam jemari Ami, lalu menuntun Ami untuk berlutut di depan Tuan Wijaya. Amin mencium punggung tangan Tuan Wijaya dengan penuh haru. Bahkan ia tak sanggup menahan air matanya, saat Tuan Wijaya mengusap kepalanya dengan penuh sayang dan kelembutan. Punggung Tuan Wijaya basah oleh air mata Ami yang tak kunjung mengangkat wajahnya."Sudah, Ami. Nanti tangan saya bisa kena kutu air, kalau kamu banjirin air mata," ujar Tuan Wijaya dengan maksud berseloroh. Ami mengangkat wajahnya yang sembab dan mata berkabut,"terimakasih, Opa. Ami minta restu Opa," lirihnya begitu pelan dan dalam, seakan Tuan Wijaya adalah orang tuanya sendiTokTok"Sayang, ini bajunya," ujar Emir sambil senyam-senyum berdebar.Cleek"Makasih, Mas," ujar Ami sambil mengeluarkan tangannya saja dari balik pintu kamar mandi, untuk menerima baju yang dibawakan Emir. Lelaki itu mendorong pelan pintu kamar mandi, namun ditahan oleh Ami dari dalam. Emir mengeluarkan tenaganya lebih kuat, namun bisa ditahan oleh Ami."Sayang, kok ditahan?" Emir sedikit heran. Kenapa tenaga Ami begitu kuat? Istrinya bukan wonder womankan? Kenapa tenaganya tak bisa menggeser pintu kamar mandi walau sedikit. Seperti ditahan oleh beton."Saya ganti baju dulu ya, Mas. Sabar ya, Sayang," ujar Ami membuat Emir meleleh, apalagi ada kata sayang yang diucapkan Ami barusan."Jangan lama-lama, nanti saya keburu pules," ujar Emir dengan seringainya berjalan ke arah ranjang."Maas, kok bajunya yang ini?" rengek Ami saat menyadari bukan piyama atau daster yang diba
TokTok"Mirr! Ami!"Ami yang mudah sekali terbangun bila mendengar suara sedikit keras sedikit saja, langsung tersentak. Ia mengucek kedua matanya sambil memastikan suara di balik pintu kamarnya."Mir, Amii!""Mas, bangun! Ada Mama." Ami membangunkan Emir.Lelaki itu masih dalam keadaan setengah sadar, menoleh ke kanan dan ke kiri, mungkin masih bingung saat ini dia tidur di mana."Mas, kenapa? Itu Mama ketuk pintu.""Iya, Ma!" sahut Emir sedikit keras, lalu bergegas membuk pintu."Ada apa, Ma?""Tuan Wijaya pingsan.""Apa?!" belum lagi selesai sang mama bercerita, Ami dan Emir langsung turun ke lantai satu, menuju kamar Tuan Wijaya. Keduanya menghambur masuk ke dalam kamar. Sudah ada Pak Samsul dan seorang pria setengah baya tengah memeriksa Tuan Wijaya."Bagaimana Opa saya, Dok?" tanya Ami dengan begitu khawatir
Selamat Membaca"Kamu kenal sama lelaki yang bersama Annisa tadi?" tanya Iqbal pada Ami. Lelaki itu begitu penasarannya, karena memang Ica dan suaminya Alex, dua bulan belakangan ini jarang terlihat berkunjung ke rumah mertuanya. Informasi itu dia dengar dari keluarga Anton, sepupunya."Kamal namanya, Mas. Lelaki baik dan suka menolong seperti Mas Emir," sahut Ami sambil melirik suaminya yang berwajah masam. Masa ada yang sama seperti dia sih? Kamal pula!"Kok mukanya aneh gitu, Pa?" ledek Ami tertawa kecil saat Emir membuang pandangan tidak mau melihat istrinya dan juga mama dan iparnya."Suami kamu cemburu, kamu memuji lelaki lain di depan suami sendiri," jawab Bu Farida cukup serius. Ami merasa jadi tidak enak hati, ia merasa bersalah pada mertua dan suaminya."Maafin saya, Mas, Mama. Jika sudah salah bicara," lirih Ami dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar."Ish, Emir! Kekanakan sekali
Selamat Membaca.***"Mas, bibirnya kenapa? Melamun kok maju-maju bibirnya?" tanya Ami keheranan dengan tingkah sang suami."Eh, mimpikah?" Emir tersadar. Ia menoleh pada istrinya, tak terjadi apa-apakah? tapi kok, rasanya bagai nyata. Emir terus saja bermonolog. Sedangkan Ami hanya bisa menggelengkan kepala tidak paham."Ayo, mau pulang gak?" tanya Ami kemudian."Papa udah dimaafkan?" tanya Emir lagi, memastikan bahwa ucapan Ami memaafkannya bukan hayalan semata."Iya, Pa. Ibu sudah maafkan. Yuk, kita pulang!" ajak Ami sambil mengusap lengan suaminya sesaat, kemudian matanya kembali fokus pada pemandangan Kamal yang sedang merayu wanita hamil yang bersamanya.Ami ingin berkomentar, tetapi khawatir suaminya cemburu dan salah sangka. Jadi ia lebih memilih berdoa dalam hati, semoga Kamal juga seperti dirinya, mendapat jodoh yang baik.Perjalanan setengah jam terasa panjang, karena
Aminarsih membuka matanya perlahan, kepalanya benar-benar serasa berputar dan tenggorokannya begitu kering. Ada sinar matahari siang mempertegas pandangannya yang kabur. Ada mertua, suami, anak, dan juga Opa Wijaya di sana."Pa, ini kita di mana?" Ami berusaha duduk. Ia kini berada di saung tepatnya di area perkuburan. Dengan tergopoh, Pak Samsul menghampiri saung sambil memberikan sebungkus teh manis hangat untuk Ami."Non, ini tehnya. Ayo, diminum dulu," ujar Pak Samsul."Teriamakasih, Pak." Pelan Ami meneguk teh manis yang diberikan Pak Samsul. Sepersekian detik kemudian, Ami mulai sadar akan yang terjadi sebelumnya.Kepalanya mencari ke sana-kemari sambil menginjakkan kaki di tanah."Mana Umi dan Abi, mana?" Ami kembali menangis sambil berlarian ke sana-kemari mencari pemakaman kedua orangtuanya."Sayang, tunggu!" Emir ikut berlari mengejar Ami, dan berhasil menahan lengan istrinya."Sayang,
Maksud hati hendak melanjutkan tadi yang sempat tertunda, tetapi apalah daya,moodAminarsih langsung turun drastis setelah mendengar permintaan Opa Wijaya. Emir sudah berkali-kali merayu, agar tak perlu khawatir, karena ada dirinya yang akan selalu bersama Ami. Namun, kenangan lalu yang begitu kelam membuat Ami merasakan sesak di dadanya saat ini. Jika ia akan berangkat besok malam ke Lombok, itu tandanya besok pagi ia harus segera bertemu dengan Devano.Mau menolak tidaklah mungkin, karena Opa Wijaya sudah berbuat banyak untuk dirinya dan juga Amira. Saat ia menyetujuinya, hati dan dadanya terasa sesak."Sayang, ini sudah sangat malam. Sudah jam dua belas. Ayo, tidur," bujuk Emir sambil mengusap rambut Ami dengan penuh sayang."Besok bagaiamana, Pa? Ibu takut," cicitnya sambil menggigit bibir bawahnya."Kalau Ibu takut, biar Papa yang temui lebih dlu, bagaimana?""Mmm ... ya udah, Papa yang duluan kete
"Bangunlah!" akhirnya Ami mengeluarkan suaranya setelah Devano masih saja bersujud di kakinya tanda ingin beranjak. Ada rasa iba sekalian was-was di dalamnya."Maafkanlah saya, Narsih. Saya berdosa padamu dan juga Amira. Ya Allah, maafkan saya," ujar Devano dengan isakan begitu dalam."Om, tenapa nanis? Ayo banun!" gadis kecil yang bernama Amira menyentuh lengan Devano yang tak sempurna. Devano menoleh sesaat, lalu fak kuasa menahan haru, ia kembali memeluk Amira."Maafkan ayah, Amira. Maafkan." Ami pun menangis haru. Emir yang tepat berada di sampingnya langsung memeluk sang istri untuk menenangkan. Mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan."Sudah, Sayang. Jangan menangis!" Emir mendaratkan kecupan di kepala Ami yang masih tersedu di dadanya.Devano menyaksikan itu semua. Wanita yang secara tak sadar sudah menempati hatinya, kini menemukan lelaki yang bisa membahagiakan. Bukan sepertinya yang hanya bisa memberikan sakit d
Keduanya sudah berganti pakaian. Ami memakai baju tidur berbahan sateen warna merah, karena di dalam kopernya yang disiapkan oleh Bik Astri, tidak ada pakaian dengan potongan yang benar. Semuanya pakaian kekurangan bahan dan sangat seksi. Pasti Bik Astri diminta oleh Tuan Wijaya untuk menyiapkannya. Ami tak punya pilihan lain, ia tetap memakai pakaian itu walau dengan wajah sangat malu.Emir pun sama, bajunya hanya tiga potong, itu pun baju kaus untuk bepergian, bukan untuk tidur. Satu hal lagi yang mencengangkan keduanya, bahwa di dalam koper mereka hanya ada masing-masing dua pakaian dalam.Keduanya saling pandang, tak lama kemudian tertawa."Jadi, mungkin maksud Opa, kita berdua selama sepekan di sini, bagai bayi baru lahir. Gak perlu pake apa-apa, ha ha ha ....""Iya, ih. Masa pakaian kita cuma sedikit ya, Pa. Pantesan kode kopernya dikasih tahu barusan. Orang dalamnya baju kurang bahan semua," omel Ami sembari menggaruk rambutny