Arthur terbangun saat perutnya terasa lapar. Mesin pewaktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Pandangannya kemudian jatuh pada sosok perempuan yang meringkuk di sampingnya. Ada beberapa tanda kemerahan yang sengaja Arthur tinggalkan di sekitar leher dan dada Katya."Hey, bangun. Buatkan saya makanan." Arthur menggoyangkan pundak Katya cukup keras.Katya mengerutkan kening. Merasakan pening luar biasa di kepalanya. "Kepala aku pusing, Kak.""Sudahlah jangan banyak alasan. Cepat bangun dan buatkan saya makanan yang enak," ketus Arthur yang sama sekali tidak peduli dengan keluhan istrinya.Katya terpejam sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Percuma meminta kepedulian laki-laki itu karena dia akan lebih mementingkan perutnya yang sudah lapar.Katya melilitkan selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Meski Arthur sudah melihat setiap jengkal tubuhnya, tetap saja Katya malu kalau harus berjalan ke kamar mandi tanpa sehelai benangpun dan ada Arthur yang menyaksikan.Setelah berpakaian
Katya menarik kedua sudut bibirnya saat melihat kedatangan Arthur ke meja makan."Selamat pagi, Kak."Arthur tak membalas. Jangankan membalas, melihat wajah istrinya saja tidak. Laki-laki itu langsung duduk di meja makan sambil melihat menu sarapan pagi ini."Dasinya?""Lupa.""Aku ambil dulu ya, Kak." Katya berlalu pergi ke kamar untuk mengambil salah satu dasi yang dimiliki Arthur. Sebulan menyandang status sebagai istri, membuat Katya sudah mulai terbiasa dengan sikap dan kebiasaan suaminya. Seperti menyiapkan kopi sebelum berangkat bekerja, memasangkan dasi, dan menggosok rambutnya yang masih basah menggunakan handuk. Sikap Arthur sendiri kepada Katya sudah seperti bunglon. Iya, suka berubah-ubah. Terkadang ia mudah sekali marah dan tak segan membentak Katya hanya karena masalah sepele, tapi tak jarang juga ia memperlakukan Katya dengan baik. Itu tergantung pada suasana hatinya.Katya kembali dengan membawa dasi berwarna hitam lalu menyimpannya di sandaran kursi, kemudian melayan
Katya melepas sabuk pengamannya begitu mobil sport berwarna putih ini sudah parkir rapi bersama jejeran mobil lainnya."Terima kasih ya, Ger, untuk tumpangannya."Pemuda berkemeja maroon itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Iya, sama-sama. Kalo kamu mau saya juga bisa antar kamu pulang setelah ngampus, bagaimana?"Katya mengulas senyum yang membuat pemuda bernama lengkap Gery Jefferson itu terpesona."Tidak apa, aku biasa pulang naik taksi, kok. Sekali lagi terima kasih untuk tumpangannya. Aku turun duluan ya, bye!"Gery melambaikan tangan. Menatap punggung Katya semakin jauh dari penglihatannya.Gery berdecak kagum. "She look so beautiful."Gery tidak mengenal Katya, begitu juga dengan Katya yang tidak mengenal Gery. Mereka hanya orang asing yang dipertemukan dipinggir jalan, lalu memutuskan untuk berangkat bersama karena satu tujuan. Suara dering panggilan masuk terdengar dari handphone-nya. Gery mengulas senyum begitu melihat nama yang tertampil dilayar persegi panjang ters
"Aya, menurut kamu bagus yang warna merah, putih, atau hitam?" Airi bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari ketiga tas branded di tangannya.Sementara yang ditanya seolah tidak tahu dirinya sedang ditanya. Katya tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Arthur yang sedang bersama perempuan lain.Karena tidak mendengar jawaban apapun dari Katya, akhirnya Airi menoleh menatap kakak iparnya. Kedua alis gadis itu bertaut bingung saat melihat Katya yang seperti sedang melamun."Aya?" Airi menyentuh lengan Katya."Ha? Iya? Ada apa, Ai?"Airi menghela napas. "Kamu tidak dengar tadi aku bertanya apa?"Katya terkekeh pelan. "Maaf, memangnya tadi kamu bertanya apa sama aku?"Airi mengangkat dua tas berwarna merah dan hitam. "Menurut kamu mana yang lebih bagus? Merah, hitam, atau yang putih itu," ucapnya menunjuk pada tas putih di dekatnya.Katya terdiam sejenak seolah sedang menentukan pilihannya. "Semuanya bagus sih, tapi sepertinya Mama lebih suka yang merah. Itu warna kesukaan Mama bukan?
"Kamu kenapa tidak belajar mengemudi saja sih, Ya? Kan saat menikah Kak Arthur memberi mahar mobil untuk kamu."Saat ini, Katya dan Airi sedang makan di sebuah kafe sebelum mereka pulang. Dan Katya tidak memberitahu Airi kalau saat di mall dia bertemu dengan Arthur.Katya tersenyum mendengar saran dari gadis di hadapannya. Sejak Katya kelas tiga SMP, dia sudah pernah merengek kepada ayahnya kalau dia ingin belajar mengemudi mobil. Namun, Arkan tidak memberinya izin saat itu dan mengatakan kalau dia akan memberikan Katya mobil setelah perempuan itu lulus SMA. Akan tetapi, takdir mengubah kehidupan mereka semudah membalikkan telapak tangan. Tiba-tiba saja orang kepercayaan Arkan di kantor mengkhianatinya tanpa belas kasihan."Aku belum ada waktu untuk belajar mobil. Mungkin suatu hari nanti," ucap Katya menjawab pertanyaan Airi."Atau bagaimana kalau aku yang mengajari kamu? Aku tidak keberatan kok. Setiap pulang kuliah nanti aku ajari kamu mengemudi, bagaimana?"Katya tersenyum haru. Si
"Mas Arthur!"Ahh! Malas sekali Arthur harus bertemu dengan perempuan centil itu lagi.Syella menghampiri Arthur dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Perempuan itu mengenakan dress glamor berwarna biru dongker yang panjang hanya satu jengkal di atas lutut."Hai, Mas Arthur. Apa kabar?"Arthur memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Baik, Syella. Bahkan selalu baik setelah saya menikah."Syella mendengus kesal mendengarnya. Fakta itu tidak dapat Syella lupakan kalau laki-laki yang sangat dia inginkan telah menjadi suami dari perempuan lain. Tapi Syella tidak peduli, dia akan tetap mencari perhatian pada Arthur. Biarkan saja orang akan berkata apa, dia sudah terlanjur jatuh hati pada laki-laki tampan ini.Syella kembali tersenyum. Tangannya bergerak tanpa malu menggandeng lengan Arthur. Tentu saja membuat Arthur kesal."Mas Arthur mau minum sama aku tidak?"Tentu saja tidak!"Maaf, Syella. Saya tidak bisa. Kamu tahu sendiri kalau saya sudah mempunyai istri. Saya tidak mau istri
"Kamu mencintainya?"Arthur tersenyum remeh. "Yang benar saja.""Kamu mencintainya, Ar. Kamu menikahinya karena kamu mencintainya.""Tidak."Dalam beberapa detik mereka terdiam tanpa obrolan. Farhan menatap Arthur dalam-dalam, sementara yang ditatap tak menghiraukannya.Farhan menghela napas panjang. Ditepuknya pundak Arthur. "Saya hanya ingin mengingatkan kamu, jangan sampai kebencian membuat kamu buta dan berakhir dengan penyesalan."Penyesalan? Penyesalan karena? Karena tidak dapat membalaskan dendamnya? Arthur tersenyum remeh. Tak akan ada penyesalan yang Farhan maksud, Arthur jamin itu.***Katya keluar dari dalam kamar mandi bawah. Suara decakan ciuman mengejutkannya. Pandangan perempuan itu mengedar ke sekeliling sampai akhirnya menemukan dua orang pelaku yang sedang bercumbu di pojokan.Katya cukup terkejut melihat siapa kedua pelaku itu. Mereka adalah Airi dan Gery. Benar, laki-laki yang sedang bercumbu dengan Airi itu Gery yang memberi tumpangan kepada Katya pagi tadi."Ya a
Arthur menggulingkan tubuhnya dari atas tubuh Katya. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Rintik hujan masih menemani sejak lima belas menit yang lalu disertai kilatan petir yang membuat keadaan diluar terang sejenak.Katya menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Tak terhitung berapa banyak tanda kemerahan yang Arthur buat disepanjang tubuhnya.Katya menghela napas kesal saat Arthur mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Sungguh Katya sangat ingin menegur suaminya, namun ia tahu tegurannya tidak akan didengarkan.Katya menahan selimut di dadanya saat ia mengambil posisi duduk dan bersandar di kepala ranjang. Ia baru ingat kalau hari ini ulang tahun kakak iparnya."Kak...."Arthur tidak menjawab, tapi Katya tahu kalau laki-laki itu jelas mendengar panggilannya."Aku boleh minta handphone ku yang lama?""Tidak."Katya menghela napas pelan. Handphone pemberian dari Arthur pasca menikah hanya ada empat kontak, diantaranya kontak nomor Arthur, Radit, Sabrina, dan Airi. Entah a