Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara.
Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau. Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah. Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran. “Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yang tajam seolah menusuk langsung ke dalam jiwanya, membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya. “Baik, Mas,” ucap Revana pelan, menundukkan kepala, hatinya diliputi oleh rasa takut yang mendalam. Seorang pelayan rumah yang baru itu segera mendekat, membungkuk hormat di hadapan mereka. “Mari, Nyonya, saya antar ke kamar Anda,” ucapnya lembut, mencoba memberikan kenyamanan di tengah ketegangan yang terasa begitu kental. Revana mengikuti pelayan itu dengan langkah pelan, perasaannya campur aduk antara ketakutan dan rasa penasaran akan rumah baru mereka. Sementara itu, Tristan tetap berdiri di ruang tamu, menunggu kedatangan anak buahnya yang sudah ia percayai, Gavin dan Hendri. Tak lama kemudian, Gavin dan Hendri tiba. Dua pria dengan postur tegap dan wajah serius, mereka langsung menuju ke tempat Tristan berdiri. “Ada perintah, Tuan?” tanya Gavin, suaranya penuh dengan kewaspadaan. Tristan menghela napas panjang, menatap kedua anak buahnya dengan tatapan yang penuh dengan beban tanggung jawab. “Kalian harus menjaga rumah ini dengan sangat ketat. Jangan sampai Alfrod maupun Michael tahu keberadaan kita di sini. Tidak boleh ada yang lolos dari pengawasan kalian,” ucapnya tegas, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk keraguan. Gavin dan Hendri saling bertukar pandang, lalu mengangguk serempak. “Siap, Tuan!” jawab mereka, suara mereka kompak dan penuh dengan keyakinan. Tristan merasa sedikit lega mendengar jawaban itu. “Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk menemukan kita. Aku percayakan keselamatan Revana pada kalian berdua,” tambahnya, menekankan pentingnya tugas yang mereka emban. “Karena aku tidak yakin akan selalu ada di sisi Revana sebab pekerjaanku yang tak pernah padam,” gumamnya lalu melirik ke arah pintu utama, seolah-olah di sana terdapat Revana. Gavin dan Hendri kembali mengangguk, lalu segera berpencar untuk mulai menjalankan tugas mereka. Sementara itu, Tristan melangkah menuju kamar, di mana Revana sudah menunggunya. Ketika ia membuka pintu, ia melihat istrinya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. “Ada apa?” tanya Tristan dengan suara datar, penuh ketegasan yang membuat suasana semakin tegang. Revana menggeleng pelan, matanya penuh keraguan. “Apakah aku benar-benar tidak boleh bertemu dengan ayah dan adikku lagi, Mas?” tanyanya memastikan, mencoba mencari sedikit ruang untuk meyakinkan dirinya. Tristan mengangguk dengan tegas. “Ya. Kamu tidak boleh bertemu dengan mereka lagi. Aku lebih tahu siapa mereka, Revana!” ucapnya, suaranya terdengar dingin dan penuh kepastian. Revana mengerutkan kening, rasa penasaran dan kebingungan bercampur dalam pikirannya. “Tapi, mereka adalah keluargaku. Bagaimana mungkin kamu tahu tentang mereka?” tanyanya, mencoba mencari jawaban yang masuk akal dari situasi yang membingungkan ini. Tristan tertawa pasi, sebuah tawa yang terdengar sinis dan penuh rahasia. “Hei! Jika kamu mau mengingat-ingat saat pertama kali kamu kerja di kantorku, seharusnya kamu paham maksud dari ucapanku,” ucapnya dengan nada yang semakin membuat Revana bingung. “Apa itu?” tanyanya dengan polos, berharap ada penjelasan yang bisa membuatnya mengerti. Tristan memutar bola matanya dengan lelah. “Simple saja, Revana. Ayahmu memiliki utang padaku dalam tiga tahun terakhir ini. Jadi, aku tahu siapa kamu, adikmu, dan juga kedua orang tuamu!” ucapnya dengan tegas, seolah-olah itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Revana terdiam, merenungkan apa yang dikatakan oleh Tristan. Apa yang dikatakan oleh Tristan ada benarnya. Mungkin Tristan tahu tentang keluarganya karena ayahnya memiliki utang padanya. Perlahan, rasa cemas semakin merayapi hatinya. “Jadi, utang ayahku lunas, kan?” tanya Revana memastikan, suaranya penuh harap namun juga rasa cemas yang mendalam. “Baru tiga puluh persen,” ucap Tristan dengan datar, seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Mata Revana membola, terkejut mendengar jawaban itu. “Mas! Apa maksudmu? Kenapa kamu mempermainkan janji yang telah kamu berikan padaku?!” pekik Revana tak terima jika utang ayahnya baru lunas tiga puluh persen. Rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu dalam dirinya. Mata tajam bak elang itu menatap lekat wajah Revana, membuatnya merasa terintimidasi. “Karena kamu belum memberiku anak, kamu belum hamil anakku. Dan aku juga tidak tahu, apakah kamu masih gadis, atau sudah hilang diambil pria sialan itu!” bisiknya dengan suara berat, penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Revana terdiam, merasa terpojok oleh kata-kata Tristan. Ketidakadilan dan rasa sakit hati meliputi dirinya. Bagaimana mungkin Tristan bisa meragukan dirinya seperti itu?Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq