"Menikah Denganku, dan Beri Aku Anak. Maka Hidupmu Akan Tercukupi." Sanders Valerio Tristan—CEO kejam penuh misteri, memaksa Revana menjadi istrinya demi melunasi utang sang ayah, Rony, yang tak mampu membayarnya. Awalnya, Revana menolak dengan tegas. Namun, ketika nyawa ayah dan adik tersayangnya berada di ujung tanduk, ia terpaksa menerima tawaran Tristan yang dingin dan penuh perhitungan. Kehidupan Revana berubah drastis dalam sekejap. Harta melimpah, kemewahan tanpa batas, dan segala keinginan yang dapat terwujud dengan mudah. Namun, semua itu tak serta-merta membawa ketenangan bagi jiwa Revana. Di balik semua kekayaan dan kemewahan, ada satu masalah besar yang terus menghantui hidupnya—Alfrod, sang kakak ipar yang juga memendam perasaan padanya. Ketegangan memuncak ketika Tristan, dengan sifat posesifnya, semakin mengurung Revana untuk memastikan bahwa ia tidak jatuh ke pelukan Alfrod. Di tengah kemewahan yang memenjarakan, Revana harus menemukan cara untuk meraih kebebasannya. Akankah ia berhasil mengatasi semua rintangan dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya?
Lihat lebih banyakRevana menemukan pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya seakan membeku.
Ayahnya, Rony, berlutut di depan seorang pria tampan dengan perawakan tinggi dan tegap, sosok yang begitu mendominasi seolah menguasai seluruh ruang dengan keanggunannya.
“Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan di sini? Kenapa berlutut seperti itu?” tanyanya dengan suara bergetar, seakan angin malam yang menerpa dedaunan di hutan yang sunyi.
Rony tidak segera menjawab. Wajahnya memancarkan campuran rasa malu dan ketakutan, dua emosi yang bersarang di matanya yang kini tak berani menatap Revana.
Ia hanya memandang lurus ke depan, ke arah pria yang berdiri dengan sikap angkuh dan tak tertembus.
Revana mengikuti arah pandangan ayahnya, dan hatinya semakin mencelos saat ia mengenali siapa pria di depannya.
Sanders Valerio Tristan, seorang CEO perusahaan tempat Revana bekerja, berdiri dengan angkuh, menatapnya dengan pandangan datar yang menembus relung jiwanya.
“Pak Tristan? Apa yang Anda lakukan di sini? Kenapa ayah saya berlutut di kaki Anda?” tanya Revana, mencoba menenangkan gejolak emosinya yang berputar bak badai di tengah samudra.
Tristan, pria berusia tiga puluh dua tahun yang dikenal sebagai sosok yang dingin dan penuh perhitungan, melipat tangan di depan dada, seakan sikapnya adalah benteng kokoh yang tak bisa ditembus oleh apa pun.
“Rony memiliki utang padaku selama bertahun-tahun, dan kini saatnya aku untuk menagihnya,” katanya dengan suara tenang namun tajam, seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.
Mulut Revana menganga mendengar ucapan dari bosnya itu. Seumur hidup, ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki utang sebesar itu, apalagi kepada Tristan. Seakan seluruh dunia yang ia kenal runtuh di hadapannya.
“Ayah, berdirilah. Jangan merendahkan diri seperti ini di depan Pak Tristan,” kata Revana, suaranya penuh desakan dan rasa iba yang menyayat hati.
Rony menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, namun tidak beranjak dari posisinya. “Aku tidak punya pilihan lain, Nak,” katanya pelan, hampir berbisik, seakan setiap kata adalah beban yang menghancurkan dirinya sedikit demi sedikit.
Revana mengalihkan pandangannya kembali ke Tristan, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa.
“Saya akan membayar utang ayah saya,” katanya tegas, meski hatinya gemetar seakan akan runtuh.
Tristan tertawa kecil, tawa yang dingin dan tidak menyenangkan, menggemakan kekosongan yang tak terbendung.
“Kau? Membayar utang ayahmu? Ayahmu saja tidak mampu melunasinya, apalagi kamu. Hanya seorang bawahan di kantorku,” katanya dengan nada mengejek, menambah luka di hati Revana.
Revana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang, setiap tetesnya seakan adalah simbol dari rasa sakit yang tak terhingga.
“Saya serius. Berapa pun jumlahnya, saya akan membayarnya,” ucapnya dengan tegas, suara yang terbungkus dalam keberanian yang rapuh.
Tristan menatapnya lama, seakan menilai ketulusan dan keberanian di balik kata-katanya. “Kau tahu berapa besar utang ayahmu?” tanyanya akhirnya, seakan setiap kata adalah tantangan yang harus dihadapi.
Revana menggeleng, kepalanya tertunduk seakan berat oleh beban yang tak terlihat. Ia benar-benar tidak tahu, dan fakta ini membuatnya merasa semakin kecil di depan Tristan, semakin tak berdaya.
“Lima miliar. Itu jumlah utang yang harus ayahmu bayar, Revana!” ucapnya memberi tahu.
Wanita itu membolakan matanya, terkejut bukan main kala mendengar jumlah utang yang dimiliki ayahnya itu.
Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. “Saya butuh waktu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan, mencoba menggapai harapan di tengah kegelapan.
“Waktu tidak ada di pihakmu, Revana. Jika utang ini tidak dilunasi segera, aku harus mengambil tindakan yang mungkin tidak akan kau senangi,” kata Tristan dengan nada mengancam, seakan bayangan ancaman itu melingkari mereka dengan keganasan yang tersembunyi.
Revana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna kenyataan pahit yang ada di depan matanya.
Ayahnya, pria yang selalu ia pandang sebagai sosok kuat dan tak terkalahkan, kini berlutut dengan penuh kehinaan di hadapan pria lain.
Seketika itu juga, dunia Revana seakan runtuh, seperti istana pasir yang diterjang ombak tanpa ampun.
"Lima miliar? Bagaimana mungkin?" pikirnya dalam hati, terkejut dan putus asa bersamaan. Ia menatap ayahnya, mencari penjelasan di mata yang kini tidak berani menatapnya.
"Ayah, untuk apa Ayah memiliki utang sebanyak itu?" tanyanya dengan nada memohon, mencari harapan di tengah keputusasaan.
Rony, dengan suara yang terdengar lebih kecil dari biasanya, berbohong, "Untuk bisnis, Nak. Ayah butuh modal untuk mengembangkan usaha."
Namun, Tristan tertawa mendengar jawaban itu, tawa yang dingin dan penuh kemenangan, seakan ia tahu kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
Beberapa detik kemudian, tawa Tristan berhenti, dan ia menatap Rony dengan pandangan tajam sebelum beralih pada Revana. "Bagaimana kalau aku beri penawaran?" ucap Tristan, senyum penuh arti terukir di bibirnya, seakan ia telah merencanakan semua ini sejak awal.
Rony segera menolak, "Tidak! Aku tahu siapa kamu, Tristan. Kamu bukan hanya CEO perusahaan besar, tapi juga punya bisnis ilegal dan menguasai wilayah ini. Aku tidak akan membiarkan anakku terperangkap olehmu."
Tristan mengangkat alisnya, sedikit terkejut namun tidak sepenuhnya. Ia sudah menduga reaksi Rony. Dengan sikap tenang, Tristan mendekatkan dirinya pada Revana, mengabaikan keberatan Rony.
"Ikutlah denganku, Rony. Kamu tahu ini tidak ada pilihan lain," katanya tegas, suara yang menggemakan kepastian yang tak terbantahkan.
Revana, dengan cepat mencegah Tristan menarik ayahnya, "Tunggu! Aku ingin mendengar tawaran yang akan kamu berikan," katanya, suaranya bergetar namun tegas, mencoba mempertahankan keberanian yang tersisa.
Tristan tersenyum penuh kemenangan, seakan ia telah memenangkan permainan ini sejak awal.
"Baiklah," katanya dengan nada halus. "Aku akan menghapus seluruh utang ayahmu, dengan satu syarat," lanjutnya, seakan ia memegang kendali penuh atas takdir mereka.
Revana menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. "Apa syaratnya?" tanyanya, suara yang penuh dengan ketidakpastian dan harapan yang rapuh.
"Menikahlah denganku dan berikan seorang anak untukku," jawab Tristan tanpa ragu, kata-katanya yang seakan adalah penentu nasib mereka.
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen