Enam hari berlalu. Elena masih berada di ruangan rahasia milik Darryl dan selama itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah. Menerima setiap makanan yang diberikan Darryl atau pun Emma. Walau Elena sudah melakukan segala protes sampai berteriak hingga suaranya habis, Darryl akan berpura-pura tidak mendengarnya dan mengabaikannya. Ezekiel pun tidak terlihat. Harusnya anak itu mencarinya yang menghilang selama enam hari ini, tapi ternyata rumah lebih senyap dan tenang. "Apa aku sudah dibuang sekarang?" Elena tak bersemangat. Dia berbaring sambil menatap sekeliling ruangan yang terdapat beberapa barang aneh. Ruangan itu didominasi warna merah dah hitam. Ada cambuk yang tergantung di dinding bersama dengan rantai. Elena juga melihat senjata tajam. Entah itu hanya pajangan atau benar-benar berfungsi. Tak jauh dari ranjang yang ditidurinya, dia juga melihat sofa dengan bentuk aneh. Itu seperti sofa untuk pasangan suami-istri. Pipi Elena tiba-tiba memanas. Dia mengingatnya. Tema
"Besok, kita akan menemui pria itu dan membawa pulang Elena. Papa harus membantuku!" tegas Marcell pada ayahnya setelah mereka makan malam. Dia yang saat ini sedang duduk di depan TV, mengalihkan pandangannya pada sang ayah dan bersiap untuk menjelaskan rencananya. "Membawa Elena pulang? Kamu sudah punya uang untuk melunasinya?" Martin melirik putranya penasaran sambil meletakkan kakinya di meja. Dia bersandar dan tak begitu tertarik dengan ide putranya untuk membawa pulang Elena. Satu-satunya yang dia butuhkan adalah uang untuk membayar lunas utangnya. "Tidak.""APA! Lalu bagaimana kamu bisa membawanya?""Tentu saja dengan menipunya. Aku sudah bertemu dengan orang yang menahan Elena. Dia bernama Darryl. Dia pria tua menjijikkan dan arogan."Marcell sedikit kesal saat harus menjelaskan tentang pria yang ditemuinya satu minggu yang lalu. Dia masih ingat tatapan angkuh meremehkan. Pria itu memandangnya seperti seekor lalat. Sungguh, Marcell tidak bisa menebak bagaimana keadaan Elena ya
BUGH!"Bangun!"Sebuah tendangan Darryl berikan pada seorang lelaki yang kini terduduk dan pingsan di depannya. Lelaki yang tidak lain adalah Marcell, dan kini, lelaki itu dalam kondisi dirantai. Darryl membawanya ke ruang bawah tanah salah satu gedung miliknya. Tempat yang tidak memiliki jendela dan hanya mengandalkan cahaya lampu. Tempat kotor dan juga tempat yang dipasang teralis besi layaknya sebuah penjara. Dulu, di sana Darryl biasa menghukum dan mengeksekusi orang yang berani menantangnya. Dia tak segan untuk menyiksanya lebih dulu, dan ini adalah kali pertamanya dia melakukan ini lagi, setelah sekian lama. "Buka matamu!"Darryl merenggut rambut lelaki itu. Hingga akhirnya kepala Marcell mendongak dan kesadaran lelaki itu pun perlahan pulih. Marcell membuka mata dan menatapnya. Saat itu juga, Darryl langsung melepaskannya dan berjongkok di depannya. Dia tersenyum melihat lelaki itu melotot. "Kau ... apa yang kau lakukan, berengsek!" teriak Marcell. Dia hendak maju untuk menye
"Semua pilihan ada di tanganmu."Elena terdiam. Dia termenung beberapa saat ketika mengingat kembali ucapan Darryl tadi. Setelah dibebaskan pria itu dan keluar dari ruangan gelap, Elena kembali melakukan aktivitas biasa, termasuk menidurkan Ezekiel yang sudah seminggu ini tak dilihatnya."Tante? Kenapa, Tante? Tante pikirin apa?" tanya Ezekiel dengan raut penasaran. Dia memerhatikan Elena yang lebih banyak diam sejak keluar dari kurungan. Tentu saja itu membuat Ezekiel merasa khawatir, hingga dia lantas memegang tangan Elena. "Tante?""Ah, apa? Apa kamu mengatakan sesuatu?" Elena berkedip. Dia menatap Ezekiel yang belum menutup mata, meski telah dibacakan dongeng. Anak itu masih menatapnya. "Tante kenapa? Dari tadi kayaknya murung terus. Tante mikirin apa?""Tidak, Tante tidak memikirkan apa-apa."Elena berusaha tersenyum, walau terlihat kaku. Dia sungguh tidak bisa fokus pada Ezekiel gara-gara Darryl. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada kakak sepupunya. Elena benar-benar mengkhaw
Cup. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia merasa terganggu saat merasakan sebuah kecupan di pundaknya. Sebuah tangan juga menyentuh dan mengelus tubuhnya dari atas hingga bawah. Elena juga bisa merasakan sesuatu menyentuh bokongnya yang telanjang, lalu disusul remasan kuat. Elena awalnya membiarkan, tapi dia langsung tersentak saat sebuah jari masuk menyentuh dirinya. Dia spontan menangkap lengan itu. "Tidak, tolong biarkan aku istirahat sekarang."Suara Elena terdengar lemah dan tak bertenaga, tapi dia memang benar-benar tak kuat lagi. Dia hanya bisa membuka matanya dan mengubah posisinya menghadap pria dewasa yang telah merenggut kegadisannya. Siapa lagi kalau bukan Darryl? Pria itu menatapnya dengan wajah puas karena baru saja mendapatkan apa yang diinginkan. Elena tidak bisa percaya, Darryl akan menunjukkan wajah seperti itu setelah membuatnya pingsan semalam. Pria yang dia kira akan memperlakukannya dengan lembut di malam pertamanya, justru malah kehilangan kendali dan meniduriny
"Darryl!"Suara sapaan terdengar, membuat perhatian sang pemilik nama teralihkan dan melihat seorang pria yang tersenyum sambil melambaikan tangannya. Darryl pun berdehem dan lekas mendekati meja tanpa memedulikan tatapan beberapa wanita padanya. Senyum tipis tersungging sepanjang hari ini di bibirnya, hingga saat dia duduk, pria yang menyapanya langsung mengernyit. "Apa aku terlambat?""Tidak, tapi ada apa denganmu? Kau tersenyum?" Pria itu menatap Darryl dengan wajah anehnya. Tentu saja dia heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, melihat Darryl tersenyum adalah hal yang langka. "Bukan apa-apa. Jadi, ada apa denganmu? Kenapa kau memintaku bertemu, Mike?" tanya Darryl pada temannya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil berpangku tangan. "Sebelum bicara, bagaimana kalau kita pesan makanan dulu? Kau pasti lapar.""Terserah. Lakukan saja."Darryl mengibaskan tangannya tak peduli. Ini memang sudah waktunya makan siang. Dia membiarkan Mike untuk memesankan makanan, sementara dirin
"Tante! Tante beneran sudah tidak sakit?"Ezekiel melirik Elena yang saat ini tengah merangkai bunga di taman belakang untuk disimpan di vas. Dia juga melakukan hal yang sama dan mengambil bunga lavender. "Tidak, Tante tidak apa-apa. Lihatlah, Ezekiel! Bukankah ini cantik?" Elena tersenyum sambil memperlihatkan bunga peony berbagai warna yang telah dia rangkai. Dia akan menyimpannya di kamar sebagai hiasan. "Wah, cantiknya. Sama kayak Tante."Elena refleks tertawa mendengar pujian polos Ezekiel. Dia tersipu malu. "Tante cantik?""Banget! Tante mirip Bunda. Tante suka bunga itu, ya?""Iya, Tante suka. Sangat.""Kenapa? Kasih tahu Iel dong, Tan." Ezekiel mendekat dan langsung duduk di sebelah Elena. Dia menatap penuh minat pada wanita di depannya, yang kini juga ikut duduk di rumput. "Sebenarnya tidak ada alasan. Tante hanya suka saja, tapi Tante berharap, Tante bisa pegang bunga ini saat nanti Tante menikah," ucap Elena sambil membayangkan dirinya yang akan menikah dan mengenakan ga
"Aakhh! Pelan ... tolong!"Elena mengerang keras sambil menggigit bantal di depannya. Dia mencengkeram apa saja untuk menahan tubuhnya yang terdorong cepat ke depan akibat gerakan kasar Darryl. Wajahnya sudah semerah tomat dan peluh kini menetes di tubuhnya yang tanpa busana. Elena benar-benar benci ini, Darryl memperlakukannya seperti wanita murahan yang bertugas untuk memuaskan nafsunya. "Sialan. Sialan ...."Plak!Sebuah pukulan Elena rasakan di bokongnya, yang membuat dia menjerit keras, bersamaan dengan erangan Darryl. Pria itu akhirnya selesai. Elena bisa merasakan cairan hangat dalam tubuhnya yang membuat dirinya bergetar keenakan, sebelum akhirnya ambruk di ranjang dalam posisi telungkup. Napasnya terengah-engah dan Darryl yang juga telah menjatuhkan dirinya di sampingnya, menatapnya dengan senyum puas. Pria itu jahat. Elena sudah memohon untuk bersikap lebih lembut, tapi keinginannya tidak dikabulkan. Bokongnya juga sakit karena dipukul pria itu beberapa kali. "Ada apa? Ap