Share

Istri Tawanan Duda Tampan
Istri Tawanan Duda Tampan
Author: Koran Meikarta

Dijadikan Jaminan

"Bawa saja keponakan saya! Dia yang akan menjadi jaminannya!" seru Martin dengan gila, sebelum empat orang pria berbadan besar menangkapnya. Dia yang berada di belakang keponakannya, memegangi bahu Elena dan tak memedulikan tatapan kaget keponakannya itu.

"Apa? Apa yang Om katakan?"

"Diam! Kamu diam saja! Nurut sama Om!" Martin mendesak, lalu mengalihkan perhatiannya pada empat orang di depannya. Dia mencengkeram dagu gadis itu serta menunjukkan wajah Elena. "Kalian bisa membawa Elena. Lihatlah! Dia cantik, Bos pasti suka! Saya janji akan melunasi semuanya nanti."

Elena tersentak. Dia melotot kaget mendengar perkataan pamannya yang bicara seolah dia adalah barang. Bagaimana bisa pamannya bersikap seperti ini? Dia bahkan baru saja pulang kerja saat kegaduhan terjadi dan melihat pamannya dipukuli, gara-gara tidak mampu melunasi utang yang sudah menunggak hingga ratusan juta. Dia juga sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar terbaik agar utang pamannya bisa dilunasi, tapi apa yang dikatakan pamannya ini? Pamannya malah meminta mereka untuk membawanya? Setelah membuat masalah dengan meminjam uang untuk berjudi dan bahkan sampai menggadaikan rumah, sekarang dia akan dijadikan jaminan?

Marah? Kesal? Kecewa? Ya, itulah yang Elena rasakan sekarang, sampai dia mendorong pamannya dan menjauh. Pamannya adalah keluarganya sekaligus orang yang dia sayangi, tapi teganya melakukan ini terhadapnya. "Om! Om apa-apaan? Om mau menjualku?"

"Apa? Tentu saja tidak, Om hanya ingin kamu ikut mereka. Kamu tidak akan diapa-apakan. Jadi, bernegosiasi 'lah dengan Bos mereka. Bantu Om, Elena. Hanya kamu yang bisa melakukannya," bisiknya. Hanya ini satu-satunya cara agar dia masih bisa bernapas. Menyerahkan anak dari saudaranya yang telah meninggal. Ya, lagi pula dirinya tidak punya pilihan lain selain ini.

"Tapi tidak dengan cara seperti ini!"

"Sudahlah, tahu apa kamu? Lebih baik kamu diam saja!"

"Om!"

"Kami tidak membutuhkannya. Yang Bos minta itu, kau melunasi utangnya. Jika tidak, kami harus membawamu dan kau akan tahu akibatnya!" tegas salah seorang dari pria yang tadi memukuli Martin dan diam saja melihat pertengkaran paman serta keponakannya. Dia berhasil menarik kembali perhatian serta memberi ancamannya yang sangat nyata dan semua orang yang mendengar tahu itu tak main-main, apalagi saat kata 'Bos' disebut.

Selama ini, kata 'Bos' seolah menjadi momok menakutkan bagi siapa pun yang terlibat dengan mereka. Sebagai seorang penjudi dan orang yang berutang pada 'bos' tersebut, Martin tentu cukup mengenal siapa yang dimaksud. Pria kejam yang juga pemilik kasino dan sebuah kelab malam di pusat kota yang selalu dia kunjungi. Selentingan kabar mengatakan, pria itu adalah yang terburuk dari yang terburuk dan tak punya hati.

Sayangnya, tak ada yang pernah bertemu secara langsung. Mereka yang memiliki kepentingan hanya bisa berinteraksi lewat orang kepercayaannya, tapi beberapa orang yang berurusan dengan pria tersebut memiliki nasib tak beruntung. Apalagi jika mereka berutang dan tak mau membayar utangnya. Orang yang berutang itu bisa saja harus membayar utangnya dengan nyawa, dan jika orang yang berutang melarikan diri, maka keluarganya yang akan diburu.

"A-ayolah! Saya janji akan melunasi utangnya. Saya tidak akan melarikan diri."

Martin dengan cepat maju, menghadap pria yang merupakan ketua dari ketiga orang lainnya. Dia menariknya agak jauh untuk berdiskusi. "Tolong bawa saja keponakan saya. Bos kalian mungkin akan senang dan terserah dia mau diapakan. Bos kalian bebas melakukan apa pun padanya."

"Kenapa kau bisa berpikir Bos akan senang jika kami membawanya?"

"Tentu saja karena pria suka bersenang-senang dengan wanita! Dengarlah, keponakan saya itu, dia masih perawan. Dia akan cocok untuk melayani Bos kalian."

"Perawan?"

"Ya, lihatlah! Elena sangat cantik, tubuhnya juga bagus. Saya janji tidak akan melarikan diri. Saya juga pasti akan membayar utangnya, jadi tolong bawa saja dia sebagai jaminannya. Jika Bos kalian puas dengannya, bukankah kalian juga akan mendapatkan bonus?"

Martin mencoba menghasut dan mengiming-imingi sambil berharap keponakannya akan berguna. Hingga pria itu mulai berpikir dan menimbang perkataan Martin, sambil sesekali melirik ke arah Elena yang tampak waspada karena tidak tahu apa yang dibicarakan. Memang tidak ada ruginya sekali pun mereka membawa gadis itu. Jika Martin melarikan diri, mereka tinggal membunuhnya dan mengambil apa yang bisa mereka jual dari gadis itu. Memburu Martin juga tidaklah sulit. Bosnya juga mungkin senang karena gadis itu bisa menjadi hiburannya.

"Baiklah, kami akan bawa gadis itu, tapi kalau Bos tidak mau, kami akan datang dan memenggal kepalamu," ucapnya dengan serius sambil menekankan setiap kalimatnya, yang membuat Martin berkeringat dingin. Lalu dia menoleh ke arah tiga orang anak buahnya. "Bawa gadis itu. Kita akan menyerahkannya pada Bos."

"Baik."

"Apa? Om! Aku tidak mau! Kenapa jadi aku?"

Elena kaget saat kedua tangannya dipegangi. Dia ketakutan, tapi dia masih berusaha memberontak. Dia sama sekali tidak menyangka, kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Kenapa jadi dirinya yang harus dibawa dan apa yang dikatakan pamannya pada orang itu?

"Cckk, menurut saja, Elena. Ini juga demi kebaikan kita! Kamu harus bisa melakukan tugasmu dengan baik!"

"Aku tidak mau! Apa yang akan dikatakan Kak Marcell kalau dia tahu apa yang Om lakukan padaku!" jerit Elena yang berusaha bertahan. Dia tidak ingin pergi. Dia tidak mau meninggalkan tempat itu. Rumahnya dan kakak sepupunya yang entah kenapa belum kunjung pulang.

"Marcell tidak akan marah, dia pasti akan mengerti. Tenang saja, kami juga akan membawamu lagi."

Wajah Elena memucat mendengar perkataan pamannya. Membawanya kembali? Apa itu mungkin? Elena memiliki firasat, dia tidak akan pernah kembali ke sini lagi jika dibawa oleh mereka. Jahat sekali pamannya melakukan ini padanya. Padahal orang tuanya telah mempercayakan dirinya untuk menjaganya. Elena merasa sangat terluka dan dikhianati. Selama ini dia selalu berusaha menjadi orang yang berguna dan membantu memenuhi kebutuhan pamannya yang sudah tidak bekerja. Namun balasannya? Dia dijadikan barang jaminan.

"Kenapa Om tega sekali padaku! Aku dan Kak Marcell sudah berulang kali memintamu berhenti berjudi, tapi Om malah melakukan ini padaku! Kak Marcell pasti akan marah!" Elena berusaha keras untuk tidak menangis, walau dadanya sesak bukan main.

"Kalian bisa membawanya sebelum orang lain melihat." Martin tak memedulikan ucapan Elena.

"OM!"

Elena benar-benar tidak mau pergi. Dia juga tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia tak percaya pamannya malah memalingkan muka. Hingga Elena yang marah dan kesal, serta ingin bebas, berusaha menggigit tangan yang memegangi lengan kirinya dan hendak melarikan diri, tapi sialnya dia kembali ditahan. Tentu saja, siapa gadis yang bisa mengalahkan tiga pria berbadan besar seorang diri? Bukan Elena tentunya.

Hal itu pun membuat Elena frustrasi sampai akhirnya dia mencoba cara terakhir, yaitu berteriak dan berharap ada orang yang menolongnya. "TIDAK! LEPASKAN! TOLONG! TOLONG AK—"

Sayangnya, belum sempat Elena berteriak kembali, sebuah pukulan dirasakan di tengkuknya dan itu cukup keras sampai akhirnya berhasil membuatnya pusing. Elena mulai merasakan pandangannya tidak terlalu jelas, sampai sebelum dia sempat melakukan apa pun, kegelapan merenggutnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nhur Mhan
saya ska cerita ini.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status