Share

Pria Tua Arogan

"Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?"

"Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."

Ugh.

Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah.

"Jaminan? Dia memberikan keponakannya?"

"Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan."

"Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah."

"Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu."

"Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."

Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke arah Elena yang masih tak sadarkan diri dan terbaring di lantai. Dia yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya, perlahan beranjak dan melangkah mendekati Elena. Wajah gadis itu masih tak dapat dilihatnya, hanya tubuhnya yang meringkuk, yang bisa dia lihat. Kaos dan celana jeans ketat serta sepatu jelek.

Semua orang langsung menyingkir seketika ketika pria itu mendekati Elena dan berjongkok di hadapannya. Menatap tubuh itu dari jarak yang dekat, sebelum akhirnya menggulingkan tubuhnya hingga terlentang. Tangannya juga menyingkir helaian rambut panjang yang menutupi wajah dan dia dibuat terkejut ketika melihat kecantikan Elena. Gadis muda yang tampak seperti baru saja tumbuh.

"Bangun!" perintahnya setelah tersadar dari diamnya. Dia menatap datar gadis itu yang dia tahu telah bangun. "Tidak perlu berpura-pura, kau sudah sadar. Buka matamu!"

"Ugh."

Elena merespon. Dia melenguh sambil berusaha untuk membuka matanya meski sulit. Hingga perlahan tapi pasti, matanya yang sedari tadi sulit dibuka, akhirnya bisa dia buka. Kesadarannya juga perlahan kembali. Walau saat ini, Elena melihat apa yang ada di depannya tidak terlalu jelas. Seorang pria, tidak, seorang pria dewasa yang asing ada di depannya. Perlahan-lahan, semuanya kini mulai menjadi jelas dan dia bisa melihat bagaimana rupa pria dewasa yang berjongkok di depannya.

Tampan.

Elena berkedip dan menatap lekat wajah dewasa yang rahangnya tampak penuh dengan bulu halus. Tampak begitu maskulin dan sorot matanya tajam. Pakaiannya juga tampak berbeda darinya, tapi ....

"Siapa ... kau?" Kata itu keluar dari mulut Elena pertama kali setelah sadar. Dia berusaha untuk duduk, di saat pria itu malah menjauh tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali.

"Kalian bisa pergi tinggalkan kami."

"Baik, Bos. Kami permisi."

Elena yang masih berusaha memahami situasi, seketika menyadari kalau ada orang lain lagi selain mereka di sana. Empat orang yang tentu saja tidak asing baginya. Mereka adalah orang yang membawanya dari rumah pamannya. Iya, Elena ingat wajah-wajah itu, tapi mereka hendak pergi meninggalkannya. Tak mau ditinggalkan sendiri, Elena berusaha menghentikannya.

"Tunggu! Kalian mau ke mana? Kalian yang membawaku ke sini 'kan! Tolong antarkan aku pulang! Aku harus bicara dengan Omku!"

Empat orang tersebut berhenti di ambang pintu dan menoleh ke arahnya, tapi dengan tatapan tak peduli.

"Ommu sudah menyerahkanmu. Sekarang kau milik Bos kami."

"Apa? Apa yang kalian kata—aakhh!"

Elena belum selesai bicara saat rambutnya tiba-tiba ditarik dari arah belakang oleh pria dewasa tadi, membuat wajahnya harus menghadap ke atas dan membuatnya bertatapan dengan wajah dingin itu. Dia tidak bisa beranjak sedikit pun. "S-sakit, tolong lepaskan! Aku mau pulang!"

"Sepertinya kau belum menyadari situasi." Pria itu kembali berjongkok di samping Elena tanpa melepaskan cengkeraman di rambutnya. Dia hanya mengendurkannya dan membuat wajah Elena menatapnya. "Pamanmu sudah memberikanmu sebagai jaminan."

"T-tidak! Aku tidak mau. Tolong kembalikan aku, Tuan! Aku mohon."

Elena menggelengkan kepalanya dengan takut. Dia merasa terintimidasi oleh pria dewasa di depannya. Pria yang dia sendiri tidak tahu namanya, tapi sepertinya orang ini adalah yang dimaksud. Pria yang membuat pamannya ketakutan karena dia juga merasa takut. "Aku tidak bersalah. Aku tidak ada hubungannya dengan Omku. Aku tidak tahu dia berjudi dan meminjam uang sebanyak itu. Aku mohon lepaskan aku, Tuan."

"Siapa namamu?"

Elena tersentak. Dia terkejut saat tangan kasar itu beralih mencengkeram dagunya dan memaksanya untuk bertatapan dengan pria tersebut. Pria itu bahkan tidak mau membalas permohonannya. "E-elena, Elena Marcia."

"Elena."

Pria itu menyebut nama Elena dengan suara rendahnya yang berhasil membuat siapa saja merinding. Begitu juga sang empunya nama. Elena merasa takut dan aneh, tapi secara mengejutkan, bibir pria itu membentuk lengkungan tipis seolah sedang tersenyum. Sayang, Elena hanya dapat melihatnya secara sekilas.

"Kau tidak akan ke mana-mana, Elena."

"A-apa? Apa maksudnya? Aku—"

"Kau tetap di sini sampai Pamanmu membayar semua utangnya," ucap pria itu sambil melepaskan tangannya dari Elena. Dia merapikan penampilannya seraya memerhatikan gadis itu dari atas hingga bawah, sebelum akhirnya dia melangkah keluar tanpa memberi penjelasan apa pun.

"Tuan! Apa maksudnya? Kenapa kau pergi begitu saja? Tolong biarkan aku bebas!" Elena berteriak. Dia berusaha bangun dari lantai dan hendak mengejar pria itu yang kini menutup pintu. Namun saat dia membukanya, bukanlah pria tadi yang dia lihat, melainkan seorang wanita dewasa dengan wajah teduh yang berdiri di depannya.

"Nona Elena, mari, saya akan memandu Anda menuju kamar."

"Apa? Siapa kau? Di mana pria tadi?" Elena kebingungan. Dia merasa aneh dengan gaya bicara wanita di depannya ini yang terkesan formal.

"Saya Emma, pelayan di rumah ini dan orang yang diperintah Tuan Darryl untuk mengurus Anda."

"Darryl? Apa yang kau maksud itu pria tadi?"

"Ya."

Elena terdiam. Dia tidak tahu soal itu, tapi nama tersebut sepertinya tidak akan cocok untuk pria menakutkan itu. Elena masih teringat tentang bagaimana cara Darryl menatapnya. Seperti hewan buas yang bersiap memangsa buruannya.

"Nona, ayo ikut saya!"

"Ke mana?"

"Ke kamar Anda."

"Tapi, aku ingin pulang! Tolong tunjukkan jalannya padaku!"

Elena berusaha untuk mencari tempat keluar, tapi pelayan itu menyeretnya dengan kuat ke arah lorong sepi. Elena tidak tahu letak pintu keluarnya, karena sekilas, dia melihat rumah yang akan ditinggalinya terlalu besar. "Emma, tolong lepaskan! Aku—"

"Saya akan menyiapkan air untuk Anda mandi."

Elena dilepaskan di sebuah ruangan yang ternyata merupakan sebuah kamar mewah dan pintu pun dikunci sebelum dia sempat melarikan diri. Perhatiannya pun tertuju pada pelayan yang kini berjalan ke arah pintu lain di ruangan tersebut. Dia tidak tahu apa yang dilakukan wanita itu, tapi perhatian Elena langsung beralih ke sekitar. Dia mendekat ke arah jendela dan mencari cara untuk keluar, tapi ternyata ada teralis besi di jendela yang membuatnya sulit membukanya. Elena hanya dapat melihat siang yang kini telah berganti menjadi malam.

Bagaimana ini? Elena tidak ingat sudah berapa lama dia pingsan. Dia juga tidak tahu, di mana dirinya berada sekarang. Apa Marcell sudah pulang? Apa sepupunya itu tahu apa yang dilakukan pamannya? Bagaimana kalau dia menghubunginya lebih dulu?

Elena yang sadar kalau dirinya memegang ponsel, mencoba mencarinya. Dia akan meminta bantuan pada Marcell. Namun sialnya, entah apa yang terjadi, ponsel miliknya yang sejak tadi ada padanya ternyata hilang. Elena juga baru menyadari kalau tas selempang miliknya tidak bersamanya. Benda-bendanya tidak ada.

"Sial, apa mereka mengambilnya? Bagaimana ini? Aku tidak membawa barang apa pun." Elena menggigit bibirnya dengan cemas. Dia sulit melarikan diri karena tidak tahu di mana dirinya berada saat ini. Ponselnya yang sangat dia butuhkan juga tidak ada.

Di tengah kebingungan yang melandanya, saat itulah pelayan yang tadi menemaninya, keluar dari pintu yang sama dan langsung menghampirinya.

"Nona, tolong lepas pakaian Anda."

"Apa? Tunggu! Apa yang kau lakukan?" Elena sontak menjauh saat wanita itu menyentuh pakaiannya seolah hendak melucutinya.

"Anda harus mandi. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Anda."

"Bagaimana kalau aku tidak mau? Aku ingin kembali. Tolong biarkan aku—"

"Nona, tolong dengarkan saya atau saya terpaksa menemui Tuan dan jika Tuan datang, saya tidak tahu apa yang akan beliau lakukan pada Anda."

Glek.

Apa itu ancaman? Kenapa Elena merasa tak tenang? Dia teringat sikap kasar pria menakutkan tadi yang menjambak rambutnya. Pria itu sangat dingin dan kasar. Dia tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Mungkinkah dia harus bernegosiasi seperti apa yang dikatakan pamannya? Dia harus meyakinkan pria yang menakutkan tadi? Tapi Elena merasa takut.

"Nona?"

"Baiklah, baiklah, aku akan mandi sendiri." Elena menyerah. Dia langsung berjalan ke arah kamar mandi dengan cepat. Mencoba untuk mengikuti alur yang dibuat pria tadi.

"Kalau begitu, saya akan menyiapkan makan malam untuk Anda dan pakaian Anda."

Elena tak menjawab lagi, dia kini masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Menatap berapa luasnya ruangan tersebut. Suara air mengalir mengisi bathub yang sudah diisi kelopak bunga, serta aroma wangi di sana, memaksanya untuk melangkah mendekat.

Sebelum membuka pakaian, Elena menatap sekitar dengan waspada. Dia takut ada CCTV atau seseorang yang mengintip. Bagaimana pun, tempat ini sangat asing baginya. Namun untungnya, dia tidak melihat hal yang bisa dicurigai, hingga Elena langsung melepaskan pakaiannya begitu saja. Mendekat, lalu masuk ke dalam bathub dalam keadaan telanjang bulat.

Elena yang gugup, mencoba memikirkan cara untuk bisa keluar atau bernegosiasi dengan pria tadi. Dia merancang rencana di kepalanya, tapi sialnya itu terlalu sulit. Hingga akhirnya, rasa nyaman mengambil alih semuanya. Tubuh Elena yang memang sudah lelah setelah tadi siang bekerja, tanpa sadar mulai mengantuk.

'Sial, ini enak, tapi aku tidak boleh tidur. Aku tidak boleh ....'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status