Share

5. Menikah

Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.

Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.

Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.

Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.

“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”

“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”

Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laureta pikir, ia akan mengompol di celana. Ia takut sekali jika ia akan ditelan hidup-hidup.

Laureta hendak salim, tapi sang ayah tidak merespon dengan ramah. Jadi, Laureta mengurungkan niatnya.

“Laureta,” ucap ayahnya dingin. “Dari mana kamu mengenal putraku?”

“Hmmm, waktu itu kami bertemu di Bali. Aku sedang berlibur. Lalu kami saling mengenal dan ….”

“Kalian pacaran diam-diam tanpa sepengetahuanku?” Ayahnya mengangkat sebelah alisnya. “Sudah berapa lama kalian pacaran?”

“Maaf, Pa. Aku tidak bermaksud untuk merahasiakannya dari Papa. Sebenarnya, kami sudah berpacaran lima tahun.”

Ayahnya mengangguk perlahan. “Apa pekerjaanmu?” tanyanya pada Laureta.

“Aku seorang instruktur senam,” jawab Laureta jujur.

Kian merangkul Laureta, tapi tangannya meremas bahunya cukup keras. Laureta menahan diri untuk tidak mengernyit karena Kian meremas di tempat yang sakit.

“Oh! Kamu seorang ZIN?” seru ibunya Kian. “Pantas badanmu kekar sekali. Kalian akan segera menikah bukan? Kalau begitu, Mama bisa senam setiap hari. Nanti kamu yang ajari Mama ya, Laureta.”

Belum apa-apa, sang ibu sudah menyebut dirinya mama. Laureta canggung sekali. Ia tersenyum sambil mengangguk.

“Ayahnya adalah seorang pilot dan ibunya sudah meninggal,” ucap Kian tiba-tiba. Sungguh sandiwara yang luar biasa.

“Ah, benarkah?” Ibunya menggenggam tangan Laureta dengan hangat. “Kasihan sekali. Kamu pasti sedih karena merindukan ibumu. Biar aku yang akan menjadi ibumu sekarang ya.”

“Terima kasih, Bu.” Laureta mengangguk canggung.

“Panggil aku mama. Oke? Dan panggil dia papa. Kamu akan menjadi menantu kami. Jadi, jangan sungkan-sungkan ya.”

Laureta pikir, ia akan menghadapi ikan hiu pemangsa yang mungkin akan menelannya dalam satu kali gigitan. Namun, ternyata suasana makan malam hari itu terasa hangat, kecuali sang ayah yang memiliki aura dingin seperti es.

Tanpa banyak basa-basi, malam itu sang ayah menentukan tanggal pernikahan. Mereka akan menikah akhir minggu ini. Semua persiapan pernikahan akan dilaksanakan sesegera mungkin. Sepertinya sang ayah sudah lama merencakan pernikahan ini, hanya tinggal menunggu sang anak untuk membawa calonnya.

Seumur hidup, Laureta tidak pernah berpikir jika ia akan ditabrak seorang pria dan kemudian menikahinya. Hanya butuh satu hari pertemuan dan hidupnya langsung berubah. Menanti Erwin untuk menikahinya hanya membuatnya sakit hati. Pria itu malah berselingkuh dengan wanita lain.

Ibunya Laureta telah pergi meninggalkan rumah. Menurut Kian, ia sudah memberikan sejumlah uang pada ibunya untuk pergi menjauh dari sini. Kian tidak mengizinkan ibunya untuk hadir di pernikahannya. Dan ya, ayahnya Laureta adalah seorang ‘pilot’ yang artinya tidak bisa hadir di pernikahan mereka.

Hari Minggu datang begitu cepat hingga Laureta tidak ingat apa saja yang sudah ia lakukan selama tiga hari ini. Hanya Reksiana, sahabatnya yang bisa ia ajak bicara. Reksi begitu terkejut hingga nyaris berguling-guling di lantai.

Sahabatnya itu yang menjadi pendamping pengantin wanita. Reksi lebih tomboy daripada Laureta. Aneh rasanya melihat sahabatnya itu mengenakan gaun dan dirias wajahnya.

“Tata! Kamu cantik sekali,” puji Reksi. “Tapi wajah kamu tidak tersenyum. Ayolah bukankah ini namanya rejeki?”

“Rejeki apa? Ayahku masuk penjara. Ibuku diusir dari rumah. Lalu aku juga akan dipenjara di rumah pria aneh itu!”

“Ta, kamu berhasil mendapatkan pria kaya raya yang jauh lebih baik daripada Erwin!”

Laureta menghela napas. “Tapi usia kami jauh sekali, Reks. Dia sudah umur empat puluh.”

“Tidak apa-apa, Ta. Yang matang itu lebih menantang. Kamu pasti akan bahagia hidup bersamanya.”

Laureta ingin tertawa mendengar perkataan sahabatnya. Namun, doa sahabatnya itu akan ia percayai. Semoga saja ia akan hidup bahagia bersama Kian.

Pernikahan berlangsung secara sakral dan hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat saja. Tak ada satu pun keluarga Laureta. Hanya Reksiana satu-satunya orang yang Laureta kenal di pernikahan ini.

Bersanding di pelaminan bersama pria asing di sebelahnya ini membuat Laureta ingin pingsan. Namun, saat Laureta memandangi pria yang telah menjadi suaminya itu, ia pikir ia telah menikahi seorang pangeran.

Kian tampak sangat tampan dan mempesona. Rambutnya ditata sedemikian rupa, berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Hidungnya mancung hingga Laureta pikir tangannya akan terluka jika menyentuh hidung itu.

Tatapan matanya begitu tajam, menyorot setiap orang yang berada di undangan. Entah harus merasa sedih atau bahagia, Laureta telah menghadapi kehidupannya yang baru. Ia akan menjadi seorang istri.

Lampu ruangan meremang, lalu sebuah lampu terang menyorot Laureta dan Kian. Pria itu membimbingnya untuk berdansa. Tubuh Laureta sudah biasa menari, senam zumba. Ia tentu bisa jika sekedar berdansa waltz.

Pegangan tangan Kian di pinggangnya terasa mantap. Laureta memandangi dagunya yang terdapat berewok tipis menggoda, tak sanggup menatap wajahnya yang tampan. Ia merasakan hujaman tatapan pria itu hingga membuat Laureta tidak nyaman.

“Kamu cantik,” pujinya singkat.

Laureta pun mendongak. “Terima kasih.”

You may kiss the bride!” seru sang pembawa acara.

Laureta tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Kian melepaskan tangannya dari pinggang Laureta, lalu merenggut dagunya. Ini adalah kali kedua pria itu menarik dagunya. Napas Laureta tercekat.

Kian mendekatkan wajahnya sambil memejamkan mata. Laureta pun ikut memejamkan matanya. Sebuah ciuman mendarat di bibirnya, membuat jiwanya melayang-layang di udara.

Laureta pikir ia sedang bermimpi. Tak pernah ia merasakan bibir hangat seorang pria melumat bibirnya. Ini benar-benar pengalaman pertamanya. Laureta hanya bisa terdiam dengan lutut yang gemetar.

Semua orang bertepuk tangan riuh dan kembang api berpendar di sekelilingnya. Ciuman itu benar-benar romantis. Laureta ingin menangis karena terharu, tapi kemudian Kian melepaskan ciumannya.

“Selamat datang di duniaku, Istriku,” ucap Kian dengan suaranya yang dalam.

Laureta tersenyum sambil menegakkan tubuhnya. Ia terlalu ringkih untuk berdiri tegak. Ia mengedarkan pandangannya. Seluruh undangan tampak senang melihat sepasang suami istri yang baru saja menunjukkan kemesraannya.

Lalu di sanalah, Laureta melihat seorang pria yang ia kenal betul. Pandangan mata mereka berserobok. Seketika jiwa Laureta kembali ke bumi. Kembang api telah padam. Laureta bisa melihat pria itu dengan lebih jelas lagi.

“Erwin?” gumam Laureta.

Kian menoleh padanya. “Ada apa? Kamu mengenal Erwin?”

“I-iya. Aku mengenalnya,” jawab Laureta gugup.

“Oh, Erwin adalah keponakanku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status