Pov Author. "Karma adalah buah dari perbuatan kita. Bukan pemberian dari mulut manusia. Berprasangka baiklah pada Tuhan, maka yang terjadi akan baik. Segalanya atas kehendak-Nya." Sebelum pergi Shila sudah menyakinkan Elgar untuk tidak menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Shila. Tidak sesuai janji. Elgar tetap kekeh mengantar Shila sampai di depan rumah. Beruntung ketiga teman Shila sedang berada di rumah keluarganya masing-masing. Setelah memastikan Shila masuk rumah Elgar pun pergi. [Aku sudah sampai di rumah.] Shila mengirim pesan ke group whats**p, disertai gambar kopernya diatas ranjang tidur. [Siapa yang menjemputmu?] Ardi yang memang tak pernah lepas dari ponselnya menjadi orang pertama yang berkomentar. [Kenapa tidak bilang, aku bisa menjemputmu di bandara.] Selang satu detik Nathan juga berkomentar. [Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah sampai rumah dengan selamat. Setelah istirahat segera nyusul kesini. Edel sudah kangen dengan Bundanya.] Giliran Miranda,
"Shila ini aku...." Sesosok ia yang sangat Shilla kenal sedang berjalan kearahnya."Maaf jika terlalu lama aku pergi. Aku akan jelaskan semuanya," ucap sang pria sambil berjalan pelan mendekati Shilla. "Berhenti di sana!" Teriak Ardi sambil berlari. Dibelakangnya menyusul Nathan dan Miranda. "Bajing*n menjauhlah dari Shila! Pria pengecut seperti kamu tak pantas untuknya." Sambil mengumpat Ardi menerjang Devon sampai pria itu tersungkur. Ya, pria itu Devon, kekasih Shila yang sebelumnya dikabarkan meninggal di Belanda karena kecelakaan. "Apa kamu sudah gil*?" Rafka segera berlari dan menghadang Ardi yang masih ingin memukul Devon yang sedang berusaha bangun. "Kamu dan temanmu itu yang gil*. Kalian sudah menipu Shila selama ini. Kamu bahkan Membully-nya dan media sosial. Brengs*k!!!!" Cecar Ardi penuh amarah. "Ar, tenanglah." Nathan memegangi lengan Ardi yang sedang diliputi amarah. Devon bangun lalu membalas Ardi. Pria yang memang tempramental sejak dulu itu tidak terima."Sudah
"Apa yang kamu katakan, aku mengharapkan kematianmu dan kamu ingin mengujiku?" tanya Shilla dengan mata melebar. Seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Bisa-bisanya Devon menjadikan hidup dan mati sebagai ujian. Dan apa dia katakan, Shilla mengharapkan kematiannya? Berita kematian Devon saja dia dapatkan dari Ayunda, kakak perempuan Devon. "Iya, Kak, Ayunda bilang kalau dia menelponmu meminta kamu datang ke Belanda untuk merawatku. Tapi kamu malah berkata...." Devon tak melanjutkan ucapannya saat melihat Ekspresi wajah Shilla. Shilla mengela nafas kasar, terjawab sudah rasa penasarannya selama ini. 'Jadi, itu alasannya.' batin Shilla.Sambil membuang muka, Shilla pun tersenyum kecut. Dirinya tak habis pikir dengan pria di sampingnya itu. Bisa-bisanya Devon langsung percaya dengan ucapan kakaknya yang memang sedari awal tidak merestui hubungannya dengan Shilla. Seharusnya Devon mengkonfirmasi lebih dulu pada Shila atau setidaknya meminta penjelasan atas tuduhan Ayunda pada w
"Aku tanya kita mau kemana?" Berusaha menaha diri Shilla menekan suaranya. "Pulang ke rumah kita." Jawab Devon masih dengan fokus pada jalanan di depannya. Shilla memiringkan tubuhnya, "Berhenti!" pinta Shilla dengan nada tegas. "Aku bilang berhenti!" Ulangnya. "Kamu gak dengar? Atau aku harus menarik paksa stirnya?" Devon menoleh sebentar lalu tersenyum sinis. "Sekarang kamu benar-benar berubah. Kamu jadi suka membantahku. Apa Ardi yang mempengaruhimu? Ah... atau dia, lelaki bernama Jonathan itu?" Shilla menarik nafas panjang, berusaha menekan amarah yang mulai memenuhi dadanya. 'Tenang Shilla... kamu harus tenang,' batin Shilla. Tak ingin dirinya terbawa emosi dan melakukan hal-hal yang akan disesalinya nanti.Masih segar di ingatannya kejadian terakhir dirinya terbawa emosi saat bertengkar dengan Elgar. Beruntung saat itu masih sempat minum obat dan hanya pingsan di pinggir jalan. Bagaimana jika tidak, Shilla tidak bisa membayangkannya. "Apa dia yang menyembuhkan lukamu? Aku l
Bajing*n!" Devon mengangkat kepalanya. "Kubilang hentikan, brengs*k!!!" Umpat Shilla dengan tatapan tajam. Devon tertegun, selama ini tidak pernah sekalipun mendengar gadis yang dicintainya itu berkata kasar apalagi mengumpat. Shilla memang dingin dan jarang bicara tapi tidak pernah kasar. Dia juga sangat lembut dan sabar. "Memang seharusnya kamu itu mat*. Jadi mat*lah!!!" Shilla mendorong dan menendang Devon sekuat tenaga sampai pria itu terjermbab jatuh. Devon merasakan sakit di punggung dan pantatnya yang mencium lantai. Pria itu masih berusaha bangun ketika Shilla sudah berdiri di depannya. Gadis yang selama ini Devon kenal sebagai pribadi yang lembut itu memiringkan kepalanya dengan tatapan tajam dan senyum sinis. "Kamu sudah mat* jadi kamu harus mat*." Katanya lalu berjalan menuju meja belajar yang ada di pojok ruangan itu. "Shilla kamu mau apa?" tanya Devon ketika Shilla berjalan ke arahnya dengan memegangi gunting yang sudah diangkatnya setinggi kepala. Shilla kembali
"Aku khawatir dengan kondisi mental Shilla setelah kejadian ini." Ungkap Mirnada setelah selesai mengganti pakaian Shilla dengan piyama bersih. "Aku akan membawanya kembali ke Jepang. Rahasiakan alamat kita di Jepang dari semua teman Shilla." "Sepertinya itu yang terbaik. Aku akan bantu membujuk Shilla." Miranda menyetujui keputusan Nathan. "Tapi bagaimana jika pria itu melaporkan masalah ini ke polisi. Pasti akan ada pencekalan terhadap Shilla." Akhirnya Miranda mengutarakan kekhawatiran yang di rasakanya sejak tadi. "Tenang saja, aku sudah mengambil foto Shilla Sebelumya. Itu bisa dijadikan bukti. Jika Shilla hanya membela diri." "apa perlu melakukan visum?" "Tidak perlu. Aku yakin pria itu tidak akan melakukannya." "Mungkin dia tidak bagaimana dengan keluarganya. Akan lebih bijak jika kita mempersatukan ssmuanya." "Iya, kamu benar. Akan aku hubungi pengacara dan berkonsultasi." ****Setelah dua jam Shilla akhirnya sadar. Gadis itu awalnya bingung dan sedikit melupakan keja
Sampai pukul dua belas malam Shilla masih sibuk dengan laptop di depannya. Setelah selesai dengan teman lamanya, saat ini Shilla sedang berkirim email dengan psikiaternya yang sedang berada di Mesir dan baru akan kembali ke Jepang bulan depan. Diabaikannya ponsel yang sejak tadi berdering. Fokusnya masih pada email yang ada layar laptop. Dirinya sedang berkonsultasi dengan Psikiater yang selama ini merawatnya.Lama-lama Shilla merasa terganggu dengan suara nada dering dari ponselnya. Dengan sedikit malas diambilnya benda pintar itu. "Elgar," gumamnya ragu untuk menerima panggil video dari pria itu. Dari pantulan cermin nampak wajah sembab dengan mata bengkak. Shila mendengus, "Nampak sekali jika habis nangis," gumamnya. Elgar pasti akan bereaksi berlebihan jika melihat dirinya seperti ini. Shilla masih belum lupa seperti kepanikan Elgar saat melihat dirinya terluka karena Olivia. [Terima VC dariku atau aku akan menerobos masuk ke dalam rumah.] Sebuah pesan masuk dari sang pria. [
"Siapa yang melakukannya? Pria itu?" tanya Elgar dengan wajah memerah. Shilla semakin menunduk dengan tangis yang kembali pecah. "Katakan, siapa yang melakukanya? Aku suamimu jawab aku! Apa laki-laki bernama Devon itu yang melakukanya?" Shilla mengangkat wajahnya, terkejut. 'Dari mana Elgar tahu? Jangan-jangan...' batin Shilla. "Kenapa kamu menemuinya seorang diri? Kemana Nathan dan Ardi yang biasanya sangat protect sama kamu?" Elgar tak sabar dan terus mencecar Shilla dengan banyak pertanyaan. "Apaang kamu sengaja ingin bertemu berdua dengan mantan kekasihmu itu?" Shilla menggeleng cepat. "Kamu masih mencintainya?" Pertanyaan yang sama sekali tak ingin Elgar ajukan namun pada akhirnya terucap juga karena kebisuan Shilla. "A-aku menemuinya untuk menegaskan semuanya. Ada janji yang belum selesai dan aku ingin mengakhirinya. A-ku juga mengembalikan cincin pertunangan kami dulu." Tak mau Elgar salah faham, Shilla pun berusaha menjelaskan sambil sesegukan. Entah kenapa Shilla me