Share

Bab 5

Satria memanggil para dokter dan suster, dan Fatma langsung di bawa ke ruang IGD.

'Ya Allah, selamatkanlah Fatma. Aku mohon jangan ambil dia sebelum aku membahagiakannya.' batin Satria dengan langkah mondar-mandir di depan ruangan IGD.

Rasa bersalah kian hinggap sangat dalam. Dia merasa belum bisa membahagiakan Fatma selama ini, apalagi melihat kondisi Fatma yang semakin hari semakin menurun.

"Tenanglah Sat, abi yakin Fatma tidak kenapa napa," ucap abi Haidar mencoba menenangkan kecemasan Satria.

Satria menoleh dan mengangguk, "iya, Bi," jawabnya.

Namun, dapat Satria lihat raut kecemasan pada pria paruh baya itu. Dia tahu jika sebagai ayah pasti sangat sedih, tapi abi selalu bersikap tenang dan tawakal.

Tak lama dokter keluar dan mengabarkan tentang kondisi Fatma. "Pasien harus di rawat. Kankernya sudah menyebar dan harus di berikan perawatan intensif," jelas dokter tersebut.

"Lakukan yang terbaik, Dok." Satria menatap sendu ke arah Fatma yang tengah terbaring lemah di ranjang pasien.

Setelah itu Fatma di pindahkan ke ruang rawat inap, dan Satria menunggunya dengan menggenggam tangannya. 'Maafkan aku, Fatma. Maaf jika aku belum bisa mencintaimu. Aku berharap ada keajaiban dari Allah untuk kesembuhanmu.' batinnya.

Satria tak beranjak sama sekali, apalagi jam sudah menunjukan pukul 14.00 siang. Dia meminta abi Haidar untuk pulang, sementara dirinya akan menjaga Fatma.

Awalnya abi menolak, namun Satria. tetap bersikeras ingin di sana. Akhirnya abi pun pulang seorang diri.

Sambil menunggu Fatma sadar, Satria membuka ponselnya untuk menghubungi Rafa, sahabatnya. Dia meminta pria itu untuk meng-handle cafe terlebih dulu.

"Eeuugh." Terdengar suara lenguhan dari arah ranjang pasien.

Satria lengsung beranjak dari sofa, dia duduk di sebelah Fatma dan menggenggam tangannya. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga," ucap Satria dengan lega.

"Apa, aku di rumah sakit?" tanya Fatma dengan lemas.

."Iya. Tadi kamu pingsan, jadi aku membawamu kesini. Dan kata dokter, kamu harus di rawat untuk beberapa hari kedepan agar kondisimu stabil," terangnya.

Fatma menatap ke arah jam yang sudah menunjukan pukul 17.00 sore. Dia melirik ke arah Satria dengan wajah pucatnya.

"Kamu tidak pulang, Mas? Ini sudah sore." Satria menggelengkan kepalanya

"Aku akan di sini menemani kamu," jawabnya.

Fatma menggeleng lemah, dia menatap sendu ke arah pria itu. "Mas, kamu lupa ya? Malam ini kan, malam pertamamu dengan Azizah. Jadi kamu harus pulang! Kasihan jika--"

"Bagiku kesehatanmu lebih utama," potong Satria, "malam pertama bisa di lakukan kapan saja. Tapi kesehatanmu sekarang lebih penting."

Ada rasa hangat dan bahagia di hati Fatma saat mendengar jawaban dari mulut suaminya, yang mementingkan dirinya. Tetapi, Fatma tak boleh egois. Dia tak ingin melukai hati madunya.

"Mas, aku baik-baik saja kok. Lagi pula di sini banyak suster dan dokter. Ada umi dan abi juga yang akan menjagaku, jadi kamu pulang saja ya!" pintanya, namun Satria masih menolak, membuat Fatma membalas genggaman tangan pria itu. "Mas, Azizah sudah menjadi istrimu. Dia pasti akan sangat terluka jika di malam pertamanya kamu malah tidak ada."

Satria tak menjawab, dia malah menatap lekat ke arah wanita dengan wajah pucatnya. Dia merasa heran dengan dirinya sendiri, kenapa bisa tak mencintai wanita sebaik dan se-soliha Fatma. Mungkin jika bukan Fatma, wanita lain gak akan sanggup berkata demikian.

Wanita mana yang rela meminta suaminya berbagi peluh dengan wanita lain? Akan tetapi, Fatma malah sebaliknya.

"Kenapa kau masih memperdulikan perasaan orang lain, di saat dirimu sendiri sedang seperti ini? Kenapa kau terlalu baik, Fatma? Apa kau tidak merasa sakit, meminta suamimu berbagi peluhnya?"

Mendengar pertanyaan dari sang suami, Fatma hanya bisa mengulas senyumnya dengan bibir pucat. "Sakit itu pasti, Mas. Tapi, aku harus berusaha kuat bukan? Aku harus menerima konsekuensinya jika di madu," paparnya dengan lembut, "Mas, aku ini sudah mempersiapkan hati untuk hal ini. Ingat! Kamu harus adil, Mas. Kamu--" Ucapannya lagi-lagi terheti saat Satria menaruh jari telunjuknya di bibir pucat Fatma.

"Kamu terlalu banyak bicara. Kamu ini sedang sakit, jadi stop berceramah, oke! Aku akan menelepon umi dan abi agar menjelaskan pada Azizah. Aku akan tetap di sini menemanimu!" tegasnya.

"Tapi Mas ... Azizah pasti akan kebingungan. Dia kan tidak tahu jika kita ini suami istri?" Tetapi Satria tidak menjawab, dia berlalu keluar untuk menelepon mertuanya.

Bagi Satria kesehatan Fatma yang lebih penting sekarang. Soal Azizah, ia bisa jelaskan nanti, karena Satria yakin jika wanita itu akan mengerti.

.

.

Dua hari Fatma di rawat, dan Satria tidak pulang sama sekali. Dia terus menjaga Fatma, walau umi dan abi sudah melarangnya dan memintanya untuk pulang.

Satria hanya ingin memberikan waktunya, sebab hatinya tidak bisa. Dan sesampainya mereka di rumah, umi, abi dan Azizah menyambut mereka dengan hangat. Namun, Azizah memakai cadar dan Satria belum pernah melihat wajahnya.

"Aku akan membawa Fatma ke kamar dulu," ujar Satria, akan tetapi tangannya di tahan oleh Fatma.

"Mas." Dia menggelengkan kepalanya sambil melirik ke arah Azizah, memberi kode pada Satria agar menghampiri wanita itu.

Akan tetapi, Satria tidak perduli. Dia menggendong tubuh Fatma dan membawanya ke kamar. Sementara tatapan Fatma bertabrakan dengan netra madunya. Dia tahu jika pasti Azizah sakit hati dan di landa kebingungan atas sikap acuh Satria.

"Mas, seharusnya tadi kamu hampiri dia! Pasti Azizah kebingungan melihat sikap manis dan pedulimu padaku," ucap Fatma saat sudah beraada di dalam kamar.

"Dia akan paham. Aku akan menjelaskannya nanti." Satria menarik selimut sebatas dada Fatma. "Sekarang kamu istirahat ya! Ingat kata dokter, jangan cape-cape."

Saat Satria bangkit, tangannya di tahan oleh Fatma, membuat pria itu kembali duduk di tepi ranjang. "Kenapa? Kamu butuh sesuatu?" tanyanya.

Fatma menggeleng, "Mas, aku mohon padamu! Kamu harus adil padaku dan Azizah. Jujur saja Mas, aku takut saat memberitahukan kebenarannya pada Azizah, dia pasti akan terluka. Dan yang ku takutkan adalah ..." Fatma menggantungkan ucapannya.

"Apa?" tanya Satria penasaran.

"Aku takut dia malah meminta kamu menceraikannya." Tatapan wanita itu menjadi sendu.

Satria hanya menghela nafasnya dengan kasar, lalu dia menatap Fatma. "Itu adalah konsekuensinya. Sedari awal aku sudah memintamu menpertimbangkan semuanya, bukan?"

Fatma terdiam, lalu dia menatap ke arah langit-langit kamarnya. "Iya, tapi aku yakin dia paati bisa menerima," ujarnya sambil menatap Satria, "aku mau malam ini kamu tidur dengannya, Mas! Laksanakan tugasmu sebagai suami. Jangan membuatnya semakin terluka."

"Baiklah, malam ini aku akan tidur dengannya." Terdengar jawaban pria itu dengan nada pasrah.

Fatma tersenyum bahagia. "Lalu, kapan kita akan memberitahukan padanya jika sejujurnya kita adalah suami istri?" tanya Satria.

"Aku akan bertanya pada ab--" Ucapan Fatma terhenti oleh suara benda jatuh di pintu kamar, membuat keduanya menengok.

PRANG!

BERSAMBUNG.....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tinta Hitam
Semoga saja kak...
goodnovel comment avatar
Nofita Sari
jngan² itu azizah..semoga aja azizah bsa nerima penjelasan fatma dn satria
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status