Share

Pernikahan Kedua

Hari yang di nanti pun telah tiba, dimana saat ini Satria akan menikahi seorang wanita kembali atas permintaan Fatma.

"Waah! Mas, kamu sangat tampan. Aku yakin deh, istri kedua kamu nanti pasti akan terpesona," puji Fatma sambil merapikan jas milik suaminya.

Satria tak menjawab, dia hanya diam sambil menatap kedua netra milik sang istri. Dapat dia lihat ada gurat kesedihan di balik cadar itu.

"Sebelum ini semua terjadi, aku ingin memastikan kembali. Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Fatma?" Satria menatap lekat ke arah wanita itu.

Menghela nafas lalu mengangguk, "Iya Mas, insya Allah aku ikhlas."

Satria hanya bisa membuang nafasnya dengan pasrah saat mendengar keputusan Fatma yang tak berubah. Kemudian mereka keluar dari kamar menuju lantai bawah dimana umi dan abi sudah menunggu.

"Masya Allah, Satria, kamu tampan sekali," puji Umi Khaira.

"Terimakasih Umi," jawab Satria dengan senyuman tipis.

"Ya sudah, kalau begitu kita berangkat sekarang!" ajak Abi Haidar.

Mereka pun pergi dengan mengendarai mobil menuju salah satu mesjid di mana acara di langsungkan. Di pernikahan kedua Satria bahkan tak banyak yang di undang, hanya keluarga dekat saja yang datang.

1 jam perjalanan mereka pun sampai di sana. Umi dan abi langsung di sambut oleh kedua orang tua dari calon istri Satria.

"Satria, sini Nak!" panggil abi.

"Iya Bi."

"Satria, perkenalkan, ini adalah kedua calon mertuamu. Ini namanya Bu Marwah, dan ini Pak Heri."

Satria menyalami kedua tangan paruh baya tersebut. "Saya Satria," ucapnya sambil menunduk.

Bu Marwah mendekat ke arah Satria lalu memegang pundaknya. "Kami sudah tahu jika kamu sudah memiliki istri. Ibu hanya berharap, kamu bisa adil pada kedua istrimu. Ibu yakin kamu pria yang baik dan bertanggung jawab," tuturnya dengan air mata yang mulai memenuhi kedua pelupuk mata.

Ada gurat kesedihan di netra itu. Bagaimana seorang ibu tidak sedih saat harus merelakan putrinya menikah dengan pria beristri. Tapi dia tidak mempunyai pilihan lain, sebab bu Marwah ingin membalas budi kebaikan umi dan abi yang selama ini sudah banyak membantu keluarganya.

"Bu Marwah tenang saja. Kami akan menyayangi dia seperti putri kami sendiri. Bahkan jika Satria menyakitinya, kami tidak akan tinggal diam." Umi Khaira mencoba meyakinkan calon besannya.

Acara pun di mulai, di mana saat ini Satria tengah menjabat tangan penghulu untuk mengatakan ijab qobul. Dan dengan satu kali tarikan nafas, dia berhasil memperistri wanita itu.

Fatma sejak tadi menundukan kepalanya, dia menyembunyikan kesedihan di balik cadar hitamnya. Air mata merembes membasahi kain itu. Dadanya terasa sesak seperti tertimpa batu yang besar saat mendengar Satria mengucapkan kata sakral untuk wanita lain.

'Tidak Fatma. Tidak. Kamu harus kuat! Kamu gak boleh menunjukan kesedihanmu di hadapan Mas Satria. Kamu harus ikhlas.' batinnya menguatkan diri sendiri.

Akan tetapi, tetap saja hatinya terluka, hancur tak berbentuk walau dia mencoba ikhlas. Padahal Fatma sudah mempersiapkan perasaannya untuk hal ini, tapi tetap tak bisa menahan kesedihannya.

"Yang sabar ya Nak. Umi yakin kamu wanita kuat," bisik umi Khaira sambil menggenggam tangan Fatma.

Dia tahu jika saat ini Fatma pasti sangat amat terluka, karena sekuat kuatnya wanita, tetap mereka memiliki hati yang rapuh.

Fatma menatap lekat ke arah wanita cantik dengan kebaya putih muslimah di padu cadar senada yang saat ini tegah di gandeng bu Marwah dan duduk di samping Satria. Namun, pria itu bahkan hanya menatap sekilas ke arah istri keduanya.

Pak penghulu meminta Satria membuka cadar istrinya, namun Satria menolak dengan alasan bahwa dia akan membukanya saat di rumah saja. Kemudian umi menyerahkan cincin dan meminta kedua pengantin itu saling bertukar.

'Maaf jika ini melukaimu, Mas.' batin Fatma yang melihat raut wajah Satria yang murung.

Sementara madunya, Fatma hanya menunduk saja. Dia tak berani menatap Satria, karena saat ini jantungnya sedang berdetak kencang.

Air mata kembali menetes deras. Hati Fatma bagai tersayat sembilu saat melihat Satria mencium kening madunya. Dia meremas gamis yang saat ini tengah di kenakannya. Bahkan rasa sakit di bagian perutnya tidak terasa, karena perasaannya yang hacur lebih mendominasi.

Setelah acara selesai, kedua orang tua Azizah pamit pulang di antar oleh supirnya, abi. Sementara Azizah akan pulang kerumah Satria dan Fatma, bahkan Fatma di kenalkan sebagai saudaranya Satria. Dan selama di dalam mobil, Fatma hanya diam sambil menatap ke arah samping. Dia masih mencoba menetralkan rasa sakitnya.

"Umi, Abi, aku mau ke kamar dulu," ucap Fatma saat sudah sampai di rumah. Sementara Azizah di bawa ke kamar tamu yang sudah di siapkan oleh umi dan abi.

Fatma berjalan dengan sedikit tertatih, sebab perutnya terasa amat sakit. "Aawwwhh! Kenapa baru terasa ya?" ringis Fatma sambil meremas gamis dan menggigit bibir bawahnya.

Dia segera mengambil obat di laci dan Fatma langsung meminum obat itu. Akan tetapi, entah kenapa rasa sakitnya tidak mereda, bahkan semakin menjadi. Biasanya setelah minum obat rasa sakit itu akan mendingan, tapi ini tidak.

"Ya Allah, kenapa rasanya malah bertambah? Aaakkh!" Wajahnya terlihat pucat dengan keringat yang mulai bercucuran.

Sementara Satria ingin menyusul Fatma, dia yakin jika wanita itu sangat sedih. Dia pun berjalan ke kamarnya, dan saat pintu di buka, Satria panik saat melihat Fatma sedang meringis di samping tempat tidur.

"Astagfirullah! Fatma." paniknya dan langsung membantu sang istri untuk duduk di ranjang. "Sudah kamu minum obatnya?"

Fatma mengangguk lemah, "sudah Mas," jawabnya dengan lirih. Karena hanya untuk berbicara saja rasanya Fatma tidak kuat.

Dia merasakan ada cairan hangat yang keluar dari hidungnya, Fatama pun langsung memasukan tangannya di balik cadar, dan saat di lihat ternyata itu adalah darah.

"Astagfirullah! Kamu mimisan?" Tanpa menunggu Satria langsung mencopot cadar milik Fatma.

Matanya membulat dengan tatapan cemas saat melihat darah yang keluar dari hidung istrinya. "Kita kerumah sakit sekarang!" khawatirnya.

"Nggak usah--" Belum juga selesai, tubuh Fatma sudah oleng ke samping dan tidak sadarkan diri.

Satria yang melihat itu tentu saja sangat panik. Tanpa pikir panjang, dia langsung menggendong tubuh Fatma menuruni tangga menuju lantai bawah untuk ke rumah sakit.

"Ya Allah, Sat. Ini Fatma kenapa?" panik umi.

"Aku gak tahu, Mi. Tadi Fatma mimisan, lalu dia pingsan. Aku akan membawanya kerumah sakit," jawab Satria dengan cemas.

"Umi ikut!" serunya, akan tetapi di larang oleh abi, sebab umi harus menjaga Azizah di rumah itu.

Akhirnya Satria ke rumah sakit di antar oleh abi. Dia duduk di jok belakang memangku kepala Fatma. "Bertahanlah! Aku tahu kamu wanita yang kuat. Aku sudah mengabulkan permintaanmu, maka kau harus burtahan. Jangan membuatku semakin merasa bersalah padamu, Fatma." Satria tak bisa membendung air matanya.

BERSAMBUNG......

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tinta Hitam
Di kuat namun batinny hancur
goodnovel comment avatar
Nofita Sari
kasian si fatma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status