Happy Reading*****Seharian itu, pikiran Haidar benar-benar kacau. Antara ingin membantu kesusahan Yana dan juga menjaga istrinya yang sedang sakit. Sampai hampir jam makan siang, suhu tubuh Aliyah belum juga turun padahal dokter sudah memberinya obat penurun panas bahkan perempuan itu belum mau membuka matanya."Sayang, bangun. Mas, khawatir banget saat ini," ucap Haidar sambil mengelus puncak kepala sang istri yang tengah terlelap. "Kamu tahu, Al? Dokter sudah mengijinkan kita bisa bepergian jauh asal kesehatan dan imunmu semakin membaik. Jadi, Mas bisa mengabulkan permintaanmu untuk pulang."Mendengar kata pulang, entah mengapa tangan Aliyah bereaksi. Kelopak matanya juga bergerak-gerak seperti akan membuka saja."Sayang, apa kamu dengar apa yang Mas omongkan tadi?" tanya Haidar antusias ketika menyadari sang istri bereaksi."Kenapa, Mas?" ucap Aliyah dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Sayang kau sudah bangun," seru Haidar dengan wajah berseri. "Mas, panggil dokter dul
Happy Reading*****Tanpa mengganggu istirahat sang istri, Haidar melantunkan ayat-ayat Al-qur'an dengan nyaring. Sepertiga malamnya dihabiskan untuk bermunajat, bukan mengeluh atas keadaan yang dia jalani sekarang. Namun, lebih kepada curhatan seorang hamba kepada Sang Penciptanya.Mendengar azan fajar berkumandang, Haidar menghentikan bacaannya. Sekilas dia menengok ke arah Aliyah yang masih terlelap. Suara igauan tak jelas terdengar samar oleh inderannya. Haidar berdiri dan mendekati sang istri menyentuh kening serta mengecupnya sebentar. Masih terasa panas, rupanya obat yang diberikan belum bereaksi.Sesuai saran dokter tadi malam, Haidar mengambil handuk kecil dan sebaskom air untuk mengompres. Meletakkan alat pengecek suhu tubuh di antara lipatan ketiak sang istri. Jam dinding masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Haidar sedikit panik ketika alat itu berbunyi dan melihat angka yang tertera. Bukannya turun, suhu tubuh Aliyah malah meningkat."Ya Allah, bagaimana ini? Semalaman
Happy Reading*****"Mas," panggil Pak Mat mencoba menyadarkan lamunan panjang Haidar. Beberapa menit terdiam, Haidar mulai bisa mencerna saran sang sopir."Astagfirullah. Bener juga, Pak." Haidar menepuk keningnya sendiri. Akibat terlalu panik, dia melupakan hal yang jauh lebih penting. "Coba di telepon dulu, Mas. Nanti gimana-gimananya biar tahu. Kalau memang harus ke rumah sakit, ya, saya siapkan kendaraannya." Pak Mat menunggu Haidar yang mengambil ponsel. Dari tempat Pak Mat berdiri, dia melihat Haidar yang mengangguk-anggukkan kepala dengan ponsel menempel pada telinga kiri. Tak begitu jelas apa yang dibicarakan majikannya sekarang. Selesai dengan percakapannya, Haidar menghampiri lelaki paruh baya itu."Pak, njenengan siap-siap, nggeh. Sewaktu-waktu, saya akan minta bantuannya. Untuk sementara, saya akan menangani Aliyah sesuai arahan dokter," ucap Haidar."Nggeh, Mas. Saya siap. Gimana katanya dokter, Mas?" tanya Pak Mat. Lelaki paruh baya tersebut juga penasaran dengan sa
Happy Reading*****Aliyah cuma bisa menjawab perkataan sang suami dengan memasang wajah kecewa. Sadar diri jika perempuan itu memang sudah sanggat sering melanggar janjinya. "Mas, kali ini aku nggak akan bohong. Aku benar-benar cuma pengen ketemu Mbak Azza dan cerita-cerita saja." Aliyah menarik-narik ujung kemeja yang digunakan sang suami supaya lelaki itu mau mengabulkan permintaannya."Enggak, Sayang. Sekali, Mas ngomong enggak, ya, enggak," kata Haidar. Walau suaranya tak sekeras tadi, tetapi mampu membuat bibir sang istri mengerucut."Mas, nggak kasihan sama aku? Udah nggak sayang lagi, ya." Perempuan yang telah dihalalkan Haidar itu memasang wajah sedih."Justru karena Mas sangat sayang, makanya melarangmu untuk menemuinya. Ayolah, Sayang. Mas, melarang semua ini, demi kebaikanmu juga." Haidar mencoba membujuk sang istri dengan mengelus puncak kepala perempuan tersebut."Mas tahu kan kalau aku nggak pernah punya saudara perempuan. Jadi, ketika aku bertemu dengan Mbak Azza, aku
Happy Reading******Hari-hari yang dilalui Haidar dan Aliyah, hanya berkutat antara rumah dan rumah sakit. Walau cukup melelahkan, tetapi perempuan itu tetap menjalani pengobatannya demi melegakan hati sang suami.Sebulan berlalu, pengobatan Aliyah sudah mulai dijalankan. Obat-obatan terapi mulai masuk ke tubuhnya. Dia pun sudah mulai merasakan efek dari terapi yang dijalaninya. Ruam-ruam mulai tampak, kulitnya sedikit mengering, walau belum parah. Seringkali, ketika Aliyah mengecek kesehatan, tensinya ikut naik.Minggu pertama menjalani terapi, tubuh Aliyah sedikit melemah. Terapi yang diberikan, walaupun tak memiliki efek sekeras kemoterapi. Namun, masih sangat berimbas pada kesehatan tubuh lainnya. Sampai saat ini efek itu masih terasa pada Aliyah.Rencana, minggu ini Aliyah harus memeriksakan kembali kesehatannya. Hal itu harus rutin Aliyah lakukan agar sang dokter mengetahui seberapa besar manfaat dan efektifitas terapi yang dijalankan. Pastinya, semua akan memerlukan kesabaran
Cepat, Aliyah menggelengkan kepalanya. "Mas, nggak salah apa-apa, kok. Air mata ini adalah air mata kebahagiaan. Aku nggak pernah nyangka bisa dicintai oleh lelaki seperti njenengan, Mas." Perempuan itu tanpa sungkan mendaratkan kecupan di pipi Haidar.Lelaki di hadapan Aliyah tersebut sampai membulatkan mata saking terkejutnya dengan tingkah sang istri. Haidar pun membalas berkali-kali lipat apa yang dilakukan perempuan tersebut."Mas, ih. Berhenti, dong. Aku lapar," protes Aliyah karena sang suami belum mau melepaskan ciumannya. *****Rasa gugup melanda Aliyah ketika memasuki ruang observasi pengambilan sampel sel kanker pada dirinya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah kanker yang dideritanya memiliki target untuk menjadi fokus pengobatan terapi. Setelah mendapat penjelasan dan pengarahan sebelumnya dari sang dokter, Aliyah makin pesimis jika penyakitnya bisa disembuhkan.Semangat dari Haidar dan seluruh keluarganya tak mampu menghilangkan ketakutan Aliyah. Sepersekian pers
Happy Reading*****Haidar cuma bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sang istri yang terlihat sangat bahagia. Memang tidak salah lelaki itu membawa Aliyah ke tempat seperti itu."Sayang, tunggu. Cukup lari-larinya," peringat Haidar. Napas Aliyah mulai tersengal-sengal karena sedikit berlari dari halaman parkir tadi. Bibir yang tanpa polesan apa pun tampak memutih seiring wajahnya yang kian memucat. Haidar hampir saja mengeluarkan air matanya melihat kondisi sang istri."Sayang, Mas sudah bilang jangan lari. Lihat kondisimu sekarang." Gegas Haidar merengkuh tubuh Aliyah dan mendudukkannya pada kursi roda."Aku cuma pengen hidup normal seperti dulu, Mas. Nggak terganggu sama sekali dengan penyakit ini." Suara Aliyah mulai terbata-bata karena napasnya terputus-putus."Sabar, ya, Sayang. Suatu saat, kamu pasti bisa kembali seperti dulu.""Tapi, Mas."Tatapan sayu milik Aliyah membuat Haidar tak tega meneruskan keinginannya untuk makan di kafe. Niat semula yang ingin membahagiakan sa
Happy reading*****Keesokan harinya, Haidar membawa sang istri bertemu dengan dokter yang sudah direkomendasikan oleh dokter Irma. Walau agak terkejut karena dokter yang menangani sang istri ternyata laki-laki. Namun, Haidar berusaha menepis semua pemikiran negatif agar pengobatan Aliyah berjalan lancar."Kapan kami bisa menjalani terapi pengobatan istri saya, Dok," tanya Haidar pada dokter setelah menyerahkan beberapa berkas rujukan yang diberikan oleh dokter Irma."Besok sudah bisa kita mulai, Pak. Mengingat kondisi pasien yang sudah siap menerima proses pengobatannya, tapi ingat Anda berdua harus sabar dan telaten pada pengobatan ini. Kami para dokter, bukanlah pesulap yang dengan mudah dapat menghilangkan penyakit istri Anda." Dokter muda itu tersenyum saat mengatakannya."Saya paham akan hal itu, Dok. Terima kasih sudah berkenan merawat istri saya." Haidar menjabat tangan sang dokter dan segera berpamitan. Aliyah sudah diperiksa dengan teliti oleh dokter muda tersebut.Perjalana
Happy Reading*****"Aku lagi sakit, lho, Mas. Jadi, nggak akan bisa ngurus rumah dengan baik. Sekalipun rumah sederhana, wong jaga badan aja nggak mampu apalagi sampai menjaga rumah sebesar ini." kata Aliyah."Siapa yang nyuruh sayangnya Mas ini ngurus rumah sebesar ini? Tugasmu itu cuma berada di samping Mas, menjaga kesehatan dan semangat untuk sembuh. Enggak ada tugas lainnya," sahut Haidar disertai kerlingan mata. Jelas sekali jika lelaki itu begitu mencintai Aliyah.Perempuan yang sedang duduk di kursi roda tersebut mengerucutkan bibir. Aliyah berdiri dan mulai meninggalkan sang suami."Eh, mau ke mana?" Haidar panik dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan sang istri."Mau pipis, Mas. Masak iya mau ikut?" Senyum terkembang disertai kerlingan mata sama seperti yang dilakukan Haidar, saat Aliyah mengatakan hal tersebut."Kalau boleh, ya, mau." Haidar mengurungkan kalimat yang akan dia keluarkan selanjutnya karena melihat kedua indera penglihatan sang istri terbuka sempurna. "Kala