Sebulan telah berakhir setelah perceraian resmi Alan dan Ana. Keduanya kembali menjalani kehidupan masing-masing. Alan dengan kisah cinta yang baru dan Ana dengan kehamilan tanpa suami.
Tidak terasa kandungannya kini sudah menginjak usia 12 minggu. Ana sangat tidak sabar menunggu momen tendangan pertama bayinya. Dokter bilang janinnya baru akan menendang setelah usia 18-21 minggu, itu pun kalau anak pertama. Beda lagi kalau anak kedua atau ketiga si ibu baru akan merasakan tendangan setelah usia kandungan 15-16 minggu. Dan Perut buncitnya menjadi bukti bahwa bayi dalam kandungannya mengalami pertumbuhan.Sama seperti wanita hamil lainnya, Ana juga mengalami fase yang namanya mengidam dan dia selalu menikmati momen itu. Seperti saat ini, wanita itu sedang menyantap rujak mangga muda ala mama Rita."Pokoknya apapun yang kamu inginkan jangan sungkan-sungkan memintanya." ucap Rita sambil memotong buahnya lagi."Kamu tidak usah takut dan tidak perlu sungkan jika kamu mau sesuatu. Di rumah ini banyak orang yang bisa kita suruh-suruh. Mangga muda mah masih gampang." lanjut wanita itu ikut mencomot potongan buah mangganya."Ihhh, asam." ucapnya tapi tetap saja memakannya. "Mama jadi kangen deh masa-masa hamil dulu. Jadi pengen lagi.""Mama jangan ngada-ngada deh. Bima gak mau punya adek lagi, malu." ucap Bima yang baru saja bergabung."Lah, kenapa malu? Mama mah senang bisa dimanja sama papa lagi. Lagian mama udah bosan sama kamu dan Dinda. Pengen punya baby lagi." kata Rita semakin menggoda anak lajangnya."Mama!" kesal Bima.Ana dan Rita tergelak. "Bima, Bima, Anak lajang mama ini polos sekali sih. Mama mana bisa hamil lagi udah kadaluarsa abang." jelas Rita."Kadaluarsa apanya?" tanya Bima polos membuat Rita menepuk jidat. Sedangkan Ana semakin tergelak menikmati kepolosan Bima. Entahlah. Ana juga heran, entah pura-pura polos atau tidak. Yang jelas wajah laki-laki itu menunjukkan ekspresi kebingungan.***"Sampai kapan kita seperti ini? Aku tidak ingin terus-terusan diteror mama mengenai pacar. Keluarga kita kan dekat, apa gak lebih baik kita katakan saja yang sebenarnya? Kalau kamu tidak bisa aku bisa mengatakannya." tutur Melani menyampaikan keresahannya.Alan menggeleng. "Mel, aku tidak mau mama berpandangan buruk sama kamu. Perceraianku sama Ana baru sebulan. Bisa-bisa mama semakin memusuhi aku kalau tahu hubungan kita. Kamu tahu sendiri kan sejak perceraianku, mama selalu bersikap dingin kepadaku.""Maaf ya buat kamu dalam kondisi sulit. Aku egois hanya memikirkan perasaanku saja." ucap wanita itu merasa bersalah. ."Lain kali jangan diulangi lagi, ya. Aku juga lagi berusaha demi hubungan kita. Aku juga ingin yang terbaik untuk hubungan kita." kata Alan sambil mengusap kepala Melani.***"Sehat-sehat ya, nak, mama sangat menanti kehadiran kalian. Walau tanpa papa kita harus tetap kuat. Biar papa bahagia bersama orang lain aja ya. Bukan jahat, papa baik kok, hanya saja kebahagiaan papa bukan bersama kita. Nanti kalau kalian sudah lahir mama pasti mempertemukan kalian." Ana mengajak janinnya berbicara.Ya, walau bayi dalam kandungannya belum bisa mendengar dan merespon tapi Ana selalu melakukannya. Karna Janinnya baru berusia dua belas minggu dan bayi baru bisa mendengar saat usia enam belas minggu sedangkan memberikan respon ketika sikecil berusia 23 minggu.Klek! Terdengar suara pintu teebuka. "Kak, jalan yuk." kepala Dinda menyembul dari balik pintu."Kemana?""Kemana aja deh asal jangan di rumah. Dinda bosan. Dinda pengen cuci mata." ucapnya berjalan mendekati Ana."Di laptop kamu kan banyak.""Cuci mata yang lain deh kayaknya." Ana memicing."Tumben! Sudah bosan dengan oppa oppa kamu itu?""No! Big No! Tiada kata bosan kalau untuk mereka. Selamanya tetap EXO-L." kata Dinda dengan tegas."Ponakan-ponakan onty juga mau jalan kan? Iya onty kami juga mau jalan. Kami juga bosan onty. Tuh, dengan sendiri kan kak, ponakan-ponakan aku juga katanya bosan." Ana terkekeh. Ada-ada saja kelakuan Putri bapak Rahansen ini.***"Kak, menurut kakak lebih cantik pink atau putih?" Ana mendekat."Menurut kakak lebih cocok yang putih deh.""Benarkah? Ternyata selera kakak sama seperti aku. Thank you kakakku sayang." ucapnya merasa senang dan tanpa sadar memeluk Ana kencang."Din, ponakan kamu kegencet." peringat Ana dan Dinda langsung melepas pelukannya."I'm sorry babby onty lupa. Kakak gak papa kan?" Ana menggeleng. "Tidak apa-apa." ucapnya membuat Dinda membuang napas merasa lega.Dinda mengangkat tangan kirinya dan melihat arah jarum jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya."Kak Bima lama banget sih, katanya sepuluh menit lagi." matanya menoleh ke kiri dan ke kanan."Kita makan duluan aja yuk kak." ajaknya dan saat itu juga sepasang mata Ana menemukan keberadaan Bima."Tuh, orangnya udah datang.""Kalian sudah lama ya?""Ya iyalah. Kakak tuh kalau memang masih lama bilang masih lama dong." ucap Dinda cemberut. "Jangan buat orang menunggu lama. Kakak gak tahu ya kalau pekerjaan paling membosankan itu ya menunggu." lanjutnya lagi."Iya, iya. Kakak minta maaf.""Dimaafin kalau ada hadiahnya." Bima memutar bola mata jengah sudah menduga akan permintaan adiknya."Iya, iya." jawabnya lagi merasa jengah mendengar kecerewetan Dinda."Na, mau makan apa?""Eh, terserah saja. Aku ngikut saja." jawabnya setelah tersadar dari lamunannya. Jika seandainya dia memiliki adik atau kakak, pasti kejadian serupa akan terjadi pada dirinya. Hmm! Seandainya.***"Kak baju yang itu cantik deh," katanya menunjuk sebuah dress berwarna soft pink."Terus?""Ya beliin dong buat adek kakak yang cantik ini.""Ngak, nggak, enak saja. Tadi kamu bilangnya cuma tas, ya. Gak ada dress-dressan.""Ih, cuma satu saja please!" ucapnya sambil mengeluarkan puppy eyesnya."Nggak ada. Kalau mau dress, tas tidak jadi. Pilih salah satu." ucapnya tegas tidak mau dibantah."Yaudah tas saja deh." ucapnya lesu."Dasar kakak pelit." lanjutnya sambil menghentakkan kaki meninggalkan dress itu. Sedetik kemudian smirk mencurigakan muncul di kedua sudut bibirnya."Sebagai adik yang baik. Kak Bima dan kak Ana tunggu disini saja ya. Biar Dinda saja yang mencari tasnya. Kan kasian juga tuh kak Ana." ucapnya."Nah, gitu dong. Tumben-tumbenan kamu pengertian." balas Bima tanpa curiga sama sekali."Kak Ana juga mau satu kan? Oke akan kucarikan?" potongnya langsung sebelum dijawab Ana."Udah Na biarkan saja."Keduanya duduk di sofa yang disedikan toko. "Na, jika seandainya ada laki-laki yang menawarkan diri untuk mendekati kamu. Apakah kamu mau?""Untuk saat ini aku hanya ingin fokus dengan bayi-bayiku. Dan aku juga tidak tahu kapan pastinya hati ini terbuka lagi. Aku tidak mau tertipu dan tersakiti untuk kedua kalinya, Bim." Bima mengangguk. Semoga dia sabar menunggu wanita sebaik Ana."Kak," panggil Dinda menghentikan obrolan keduanya."Selamat membayar kakakku sayang. Tasnya sudah ada di kasir ya, kak." ucapnya penuh kemenangan."Kamu tidak melakukan hal aneh kan?" tatap Bima penuh curiga."Ck, kakak curigaan mulu sama adik kakak yang cantik ini. BTW thank you traktirannya ya kakak.""Sudah dapat tasnya?" Tanya Ana dan diangguki oleh Dinda."Punya kakak juga udah aku pilihkan. Kakak pasti suka.""Hmmm, sepertinya kakak mencium aroma-aroma kejahilan disini." Dinda terkekeh dan saat itu juga Bima datang dengan wajah ditekuk. Kalau tahu begini mending sekalian saja tadi dressnya. Kalau seperti itu pasti adiknya akan berpikir lebih waras."Kenapa Bim?" tanya Ana. Bima memberikan struk belanjanya."250 juta?" Ana melotot. Bukan perkara nominalnya. Kalau mamanya tahu pasti dia akan diomeli habis-habisan. Siap-siap saja! Seharusnya dia sadar pada saat adiknya berkelakuan tidak seperti biasanya."Ini untuk kakak dan ini untuk aku." Dinda menyerahkan salah satu kantong untuk Ana. "Sekali lagi terima kasih ya, kak. Dan siapkan telinga mendengar omelan mama tersayang." ledeknya. Dan saat itu juga Ana tersadar kalau Bima lesu bukan perkara nominalnya melainkan ketidaksiapan mendengar ocehan si macan betina di rumah mereka. Siapa lagi kalau bukan mama Rita tersayang. Mamanya Bima Raharsen dan Dinda Raharsen.Dengan telaten perawat itu menuntun Ana untuk menyusui kedu bayi kembarnya. Terlihat kalau Ana masih sangat kaku, tapi suster mengatakan bahwa itu adalah hal wajar bagi wanita yang baru saja melahirkan. Ana terharu, bayinya ternyata bisa mengkoordinasikan refleks mengisap dan menelan. Tanpa sadar wanita itu menitikkan bulir bening dari kelopak matanya karena kebanyakan bayi prematur tidak bisa mengkoordinasi refleks mengisap dan menelan. "Suster, kira-kira berapa lama mereka akan berada di sini?" "Tidak bisa dipastikan Ibu, tapi kalau bayi-bayi Ibu perkembangannya sudah stabil, seperti kenaikan berat badan bayi sudah dinyatakan baik dan stabil oleh dokter, suhu tubuh stabil tanpa bantuan inkubator, maka bayi-bayi Ibu sudah boleh pulang." terang suster sambil mengambil bayi dalam gendongan Ana dan meletakkannnya ke dalam inkubator lagi. Setelah itu, bayi yang kedua ia letakkan lagi ke dalam gendongan Ana. "Tapi sepertinya mereka akan cepat pulang karena mereka adalah bayi-bayi pint
Blam!Suara pintu tertutup dengan keras. Melani ketakutan. Masih sangat jelas dalam bayangannya bagaimana wanita itu terjatuh dan ada darah yang mengalir dari sela-sela pahanya. Melani mengunci pintu, mematikan lampu, dan memblokir akses masuknya cahaya dengan menutup rapat jendela dan gorden. Drrrrt! Drrrrt!Handphonenya berdering, tapi secepat kilat benda itu sudah tak berbentuk lagi. Melani memastikan bahwa benda itu sudah tidak berfungsi lagi. Dalam ruangan gelap gulita, ia terduduk dan memeluk erat kedua lututnya. Samar-samar mulutnya bergumam, "tidak! tidak! tidak! argghhh!" Melani menjambak rambutnya akibat frustasi. Sang Surya telah tenggelam ditelan malam yang kian menguasai bumi, tapi wanita itu masih diam tak bergeming. Rupanya sang putri kian ketakutan dengan ilusi-ilusi yang kini merajai pikirannya. Tok! Tok! Bahkan mendengar suara ketukan pintu saja dia merasa sangat ketakutan. Kedua tangannya memeluk erat kedua lututnya. Kakinya gemetar."Mel, ini mama. Kamu kenapa
Ana merasakan sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan seperti ini yang dia inginkan. Penyelesaian masalah dan kehidupan tenang bersama si kembar. Itulah harapan terbesarnya. Siapa sangka wanita jelmaan iblis itu sanggup memperlakukannya seperti ini. Ana memegang perutnya dan memohon kepada anak-anaknya untuk bertahan. Sungguh Ana tidak akan sanggup kalau sampai terjadi sesuatu pada anak-anaknya. Tuhan selamatkan kami! Handphonenya berdering. Namun sungguh ia sudah tak sanggup untuk sekadar mengangkatnya saja. Ana meminta tolong kepada orang yang ada di sana untuk mengambil handphonenya dari dalam tasnya dan Ana melihat bahwa orang yang menghubunginya adalah Dinda. Ana meminta orang itu untuk menjawab panggilan itu dan mengatakan keadaan Ana saat ini.Dinda terkejut. Dinda menyesal, tidak seharusnya ia meninggalkan Ana. Dalam keadaan panik dan menangis, ia menghubungi Bima dan mengatakan keadaan Ana. Bima juga terkejut. Setahunya Ana baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba sepert
Hari ini Ana bersama Dinda pergi berbelanja untuk membeli baju bayi-bayinya. Karena jenis kelamin yang belum diketahui Ana sengaja memilih warna-warna yang bisa dipakai perempuan atau pun laki-laki. Sebenarnya dia sudah belanja kebutuhan anaknya, hanya saja dia merasa sedikit bosan di rumah dan mengajak Dinda untuk berbelanja. Ana memilih baju-baju dengan teliti dan memastikan bahwa baju-baju itu aman untuk kulit anak-anaknya kelak."Kak, lihat deh bajunya bagus banget. Dinda yakin baju ini akan sangat cocok untuk si kembar. Mereka pasti kelihatan sangat lucu kalau memakai ini," Ana tersenyum."Iya kamu benar, tapi ini baju untuk anak usia lima tahun," Ana menggelengkan kepalanya."Tapi bisa saja kalau si kembar memakai ini kak. Justru itu yang akan membuat mereka makin lucu. Pokoknya ini wajib beli ya, kak dan si kembar juga harus memakainya nanti. Ini mode zaman sekarang tahu kak," lagi-lagi Ana menggelengkan kepalanya. Tahu apa anak baru lahir tentang mode. Ada-ada saja memang an
Alan bernapas lega setelah mengatakan segalanya pada Melani. Tinggal selangkah lagi. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti hati wanita itu. Tapi ini lebih baik daripada terus-terusan memberi harapan kosong pada wanita itu. Alan memandang foto USG yang diberikan Ana kepadanya. Terhitung dua hari semenjak pertemuan terakhir mereka dia tidak menemui wanita itu. Ia tersenyum, ternyata rindu setelah tidak memiliki itu sangat menyakitkan. Ya, ia merindukan wanita itu, apalagi perut besarnya yang berisi anak-anaknya. Dia mengelus foto itu,"tunggu papa, nak. Papa akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa kembali bersama dengan mama kalian. Papa ingin menebus semuanya. Bantu papa jaga mama dulu ya, nak." ***Ana tertawa senang melihat interaksi mantan ibu mertuanya dengan bayi di dalam kandungannya. Bayi-bayinya seolah mengerti dengan apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya itu. Mereka selalu merespon setiap perkataan yang keluar dari mulut wanita itu."Mama semakin nggak sabar melihat merek
Alan masih merenung menyesali segala pesakitan yang telah ia berikan untuk Ana. Rasa malu seketika muncul dalam dirinya. Setelah Ana menyeselesaikan ungkapan sakit hatinya, ia sadar betul betapa berengseknya seorang Alan. Bahkan ketika Bima membawa Ana pulang secara tiba-tiba pun, ia tidak berani menahan karena ia sadar Ana butuh ketenangan setelah apa yang telah terjadi.Tidak percaya diri, itulah yang ia rasakan saat ini. Hatinya terasa terkoyak kala mengingat air mata Ana yang berjatuhan membasahi kedua belah pipinya. Masih sanggupkah ia menampakkan diri ke hadapan wanita itu. Wanita yang selama ini hanya menerima penderitaan selama hidup bersamanya. Ya, dari semua perkataan Ana, Alan berkesimpulan bahwa selama ini ia belum pernah memberikan kebahagiaan untuk Ana. Rasa sakit yang bertubi-tubilah yang ia berikan untuk wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Alan tersenyum lagi. Lebih tepatnya senyuman yang mengejek dirinya sendiri. Bahkan dengan teganya ia sempat berpikiran bah