Share

Aku, Kamu, dan Orang Tuamu 2

Drrtttt Drrttt

"Halo..."

"Ana..." Alan menjeda ucapannya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam. Tidak ada cara lain, Alan memutuskan menghubungi wanita itu. "Maafkan aku. Aku sudah berusaha tidak melibatkanmu tapi mama dan papa memintamu datang." Ana terdiam. Sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Ana."

"Iya?"

"Apa kamu keberatan?"

"Kamu tenang saja. Aku akan datang. Karna sudah seharusnya kita memberi kejelasan untuk mama dan papa kan?"

"Kamu benar. Sampai ketemu besok Ana."

Tut! bunyi sambungan terputus.

"Besok kita akan ketemu papa. Kalian baik-baik ya, jangan rewel di hadapan papa. Ini rahasia antara kita." ucapnya sambil mengusap perutnya. Berharap anak dalam kandungannya mengerti dan mau bekerja sama dengan dirinya.

Ana menghapus air matanya dan memegang perutnya, "Maafkan mama. Mama terpaksa melakukannya. Mama tidak ingin kalian merasakan sakit sama seperti mama. Mama yakin walau tanpa papa kita tetap bisa bahagia."

***

"Kamu yakin akan ke sana?" Ana mengangguk walau sebagian hatinya menolak untuk pergi.

"Atau mau aku temani?" tanya Bima mengikuti langkah Ana menuju pintu.

"Tidak usah Bim, aku bisa sendiri kok. Percaya sama aku, oke." katanya meyakinkan Bima.

"Kalau seperti itu ijinkan aku mengantarmu." pinta Bima.

Ana menghembuskan napas, lelah menghadapi sikap Bima sejak tadi malam. "Bim, sudah ada pak Sarno yang mengantar, jadi kamu nggak perlu khawatir, oke." kesalnya.

"Oh, tidak! Tidak! Pak Sarno mengantar Dinda dan aku yang mengantarmu." Bima menarik tangan Ana pelan menuju mobilnya. Kalau tau akan seperti ini jadinya, Ana lebih memilih tidak menceritakannya ke Bima. Lihatlah betapa cerewetnya laki-laki ini. Tapi sudahlah. Sudah terlanjur.

"Aku baru tahu ternyata kamu orangnya keras kepala." kata Ana setelah memasuki mobil Bima.

Lelaki itu tersenyum, "tidak apa-apa, kalau itu demi kebaikan." ucapnya sambil menghidupkan mesin mobil.

"Kamu wanita baik dan Alan akan menyesal menyakiti wanita sepertimu." jujurnya dan melajukan mobil menembus jalanan. Ana terdiam tidak bisa mengolah kata membalas ucapan Bima.

Tidak berapa lama mobil Bima berhenti melaju. "Kabari aku kalau kamu sudah selesai." ucap Bima sebelum Ana keluar dari dalam mobil.

Ana mengangguk. "Hati-hati, Bim!" katanya dan menutup pintu mobil.

"Anak-anak mama sangat senang bertemu papa ya? Mama juga. Tapi ingat pesan mama tadi malam ya, sayang. Kalian harus baik-baik supaya papa kalian tidak curiga. Yang jelas kita manfaatkan saja hari ini dengan baik ya, sayang." ucapnya seraya mengusap perutnya.

Ana menarik napas dalam lalu melepasnya secara perlahan, "mari kita bertemu papa!" ucapnya menyemangati diri dan melangkahkan kaki memasuki rumah.

"Ana, kamu sudah datang?" Alan tersenyum menyapa wanita hamil itu. 

"Belum."

"Ana?"

"Pertanyaan kamu aneh. Jelas-jelas aku sudah berada di depanmu. " jawab Ana sambil tersenyum. Alan ikut tersenyum merasa senang bisa melihat senyuman indah itu lagi.

"Aku senang kamu baik-baik saja." katanya dan mengacak rambut Ana.

Ana berdecak, "Aku bisa baper lo, bisa-bisa aku membatalkan perceraian kita." ucapnya dengan santai.

Alan tertegun. "Maaf," katanya.

Alan juga tidak tahu kenapa tangannya tiba-tiba melakukan itu. Keduanya memasuki rumah dan langsung disambut dengan pertanyaan Ami.

"Mama tidak habis pikir dengan tingkah kalian. Semua terlihat baik-baik saja tapi kenapa harus ada perpisahan?" ucap wanita itu tanpa menunggu keduanya duduk.

"Apa masalah kalian, mama tidak tahu. Tiba-tiba saja berkata ingin cerai." lanjut Ami lagi.

"Ma, tenang dulu." Hendra mengintrupsi dan mempersilahkan Ana dan Alan duduk lewat lirikan matanya.

"Tenang papa bilang! Bagaimana bisa mama tenang disaat rumah tangga anak kita diambang kehancuran. Mama tidak bisa tidur semalaman gara-gara memikirkan masalah ini. Coba jelaskan kepada mama, apa masalahnya? Kenapa tiba-tiba mama mendapat berita buruk seperti ini?" Ami berkata dengan suara meninggi.

"Kamu lagi, dimana tanggung jawab kamu sebagai laki-laki? Bagaimana bisa kamu memulangkan anak orang setelah kamu menikmatinya. Kamu enak tapi bagaimana nasib Ana? Dalam tubuh Ana ada bekas yang sudah kamu tinggalkan. Tidak akan pernah bisa kamu kembalikan. Apa pernah kamu berpikir sampai disitu? Ana sudah kamu rusak sebagai wanita Alan! Dia! wanita itu! Tidak akan bisa menjadi sempurna lagi." geramnya tidak tahan dengan tingkah putranya.

"Kamu lagi! Kamu terlalu lembek menjadi wanita, seharusnya kamu hajar saja laki-laki ini. Enak saja meminta cerai setelah kamu habis diobok-obok sama dia. Kalau bisa tendang sekalian." kalau tidak dalam keadaan menegangkan seperti ini Hendra pasti sudah meledakkan tawanya. Lihat saja laki-laki itu sedang berusaha menahan tawa.

"Maafkan Ana, ma. Tapi ini lebih baik. Percuma kami bertahan tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Mama jangan khawatir, Ana pasti akan menemukan laki-laki yang menerima Ana apa adanya. Kalau memang dia mencintai Ana, laki-laki manapun itu pasti mau menerima kekurangan Ana. Percaya sama Ana ya, ma." Alan meremang. Hatinya tersentil mendengar ucapan Ana. Ada sisi asing dalam dirinya yang tidak menerima ketika Ana berkata laki-laki lain.

"Tapi mama yang tidak rela, Ana. Mama tidak mau kehilangan putri mama. Iya, mama memang pernah menolak kamu tapi mama bersyukur tidak bertindak bodoh waktu itu. Kamu menduduki posisi melebihi seorang menantu di hati mama." Ana terharu mendengar pengakuan Ami. Wanita itu berdiri dan menarik kaki mendekati Ami. Ia menyentuh tangan wanita paruh baya itu.

"Ma, sampai kapanpun Ana akan tetap menjadi putri mama. Ana senang bisa merasakan kasih sayang mama dan papa setelah sekian lama tidak merasakannya. Ana sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini." Ami menangkup wajah Ana. "Kamu janji ya, jangan pernah lupakan mama. Mama akan sangat sedih kalau sampai itu terjadi."

Ana mengangguk, "Ana janji ma. Ana akan selalu ingat mama." kata wanita itu dan menghampur ke dalam pelukan Ana. Ami menerimanya, wanita itu membalas pelukan Ana.

Hendra, laki-laki paruh baya itu ikut menitikkan air mata terharu melihat kedua wanita itu.

Sedangkan Alan, laki-laki itu terdiam tidak berkata sepatah kata pun. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya. Sedalam itukah mamanya menyayangi Ana?

***

Laki-laki itu meletakkan bunga dan berkata, "Ayah, ibu, maafkan Alan yang tidak bisa menepati janji." ucapnya bersimpuh di depan dua gundukan tanah itu. Ya, Alan sedang berada di pusara kedua orang tua Ana. Setelah berpikir cukup panjang, Alan memutuskan bersinggah di tempat ini.

"Alan sudah mengecewakan ayah dan ibu. Padahal Alan sudah berjanji akan membahagiakan putri ayah dan ibu. Alan salah, Alan sudah menyakiti Ana. Maafkan laki-laki brengsek ini yang memilih melepaskan putri ayah dan ibu. Alan tidak ingin menyakiti Ana lebih dalam lagi. Maaf! Maaf!" ucapnya dengan suara parau.

Alan tahu Ana sangat sempurna sebagai seorang istri. Wanita itu sangat cekatan menyiapkan segala kebutuhannya. Kesalahan ada pada dirinya, dia yang membagi hati kepada wanita lain. Maka dari itu Alan merasa menjadi pria paling brengsek jika terus-terusan mengikat Ana dengan hubungan yang tidak jelas. Alan merasa sangat-sangat berdosa. Dan akhirnya Alan melepas Ana. Biarlah mereka menemukan kebahagiaan masing-masing. Menjalani hidup masing-masing tanpa saling menyakiti lagi. Dan Alan harap Ana menemukan laki-laki yang mencintainya dengan sepenuh hati, tidak seperti yang dilakukannya selama ini. Ya, ini yang terbaik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status