Drrtttt Drrttt
"Halo...""Ana..." Alan menjeda ucapannya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam. Tidak ada cara lain, Alan memutuskan menghubungi wanita itu. "Maafkan aku. Aku sudah berusaha tidak melibatkanmu tapi mama dan papa memintamu datang." Ana terdiam. Sudah menduga hal ini akan terjadi."Ana.""Iya?""Apa kamu keberatan?""Kamu tenang saja. Aku akan datang. Karna sudah seharusnya kita memberi kejelasan untuk mama dan papa kan?""Kamu benar. Sampai ketemu besok Ana."Tut! bunyi sambungan terputus."Besok kita akan ketemu papa. Kalian baik-baik ya, jangan rewel di hadapan papa. Ini rahasia antara kita." ucapnya sambil mengusap perutnya. Berharap anak dalam kandungannya mengerti dan mau bekerja sama dengan dirinya.Ana menghapus air matanya dan memegang perutnya, "Maafkan mama. Mama terpaksa melakukannya. Mama tidak ingin kalian merasakan sakit sama seperti mama. Mama yakin walau tanpa papa kita tetap bisa bahagia."***"Kamu yakin akan ke sana?" Ana mengangguk walau sebagian hatinya menolak untuk pergi."Atau mau aku temani?" tanya Bima mengikuti langkah Ana menuju pintu."Tidak usah Bim, aku bisa sendiri kok. Percaya sama aku, oke." katanya meyakinkan Bima."Kalau seperti itu ijinkan aku mengantarmu." pinta Bima.Ana menghembuskan napas, lelah menghadapi sikap Bima sejak tadi malam. "Bim, sudah ada pak Sarno yang mengantar, jadi kamu nggak perlu khawatir, oke." kesalnya."Oh, tidak! Tidak! Pak Sarno mengantar Dinda dan aku yang mengantarmu." Bima menarik tangan Ana pelan menuju mobilnya. Kalau tau akan seperti ini jadinya, Ana lebih memilih tidak menceritakannya ke Bima. Lihatlah betapa cerewetnya laki-laki ini. Tapi sudahlah. Sudah terlanjur."Aku baru tahu ternyata kamu orangnya keras kepala." kata Ana setelah memasuki mobil Bima.Lelaki itu tersenyum, "tidak apa-apa, kalau itu demi kebaikan." ucapnya sambil menghidupkan mesin mobil."Kamu wanita baik dan Alan akan menyesal menyakiti wanita sepertimu." jujurnya dan melajukan mobil menembus jalanan. Ana terdiam tidak bisa mengolah kata membalas ucapan Bima.Tidak berapa lama mobil Bima berhenti melaju. "Kabari aku kalau kamu sudah selesai." ucap Bima sebelum Ana keluar dari dalam mobil.Ana mengangguk. "Hati-hati, Bim!" katanya dan menutup pintu mobil."Anak-anak mama sangat senang bertemu papa ya? Mama juga. Tapi ingat pesan mama tadi malam ya, sayang. Kalian harus baik-baik supaya papa kalian tidak curiga. Yang jelas kita manfaatkan saja hari ini dengan baik ya, sayang." ucapnya seraya mengusap perutnya.Ana menarik napas dalam lalu melepasnya secara perlahan, "mari kita bertemu papa!" ucapnya menyemangati diri dan melangkahkan kaki memasuki rumah."Ana, kamu sudah datang?" Alan tersenyum menyapa wanita hamil itu. "Belum.""Ana?""Pertanyaan kamu aneh. Jelas-jelas aku sudah berada di depanmu. " jawab Ana sambil tersenyum. Alan ikut tersenyum merasa senang bisa melihat senyuman indah itu lagi."Aku senang kamu baik-baik saja." katanya dan mengacak rambut Ana.Ana berdecak, "Aku bisa baper lo, bisa-bisa aku membatalkan perceraian kita." ucapnya dengan santai.Alan tertegun. "Maaf," katanya.Alan juga tidak tahu kenapa tangannya tiba-tiba melakukan itu. Keduanya memasuki rumah dan langsung disambut dengan pertanyaan Ami."Mama tidak habis pikir dengan tingkah kalian. Semua terlihat baik-baik saja tapi kenapa harus ada perpisahan?" ucap wanita itu tanpa menunggu keduanya duduk."Apa masalah kalian, mama tidak tahu. Tiba-tiba saja berkata ingin cerai." lanjut Ami lagi."Ma, tenang dulu." Hendra mengintrupsi dan mempersilahkan Ana dan Alan duduk lewat lirikan matanya."Tenang papa bilang! Bagaimana bisa mama tenang disaat rumah tangga anak kita diambang kehancuran. Mama tidak bisa tidur semalaman gara-gara memikirkan masalah ini. Coba jelaskan kepada mama, apa masalahnya? Kenapa tiba-tiba mama mendapat berita buruk seperti ini?" Ami berkata dengan suara meninggi."Kamu lagi, dimana tanggung jawab kamu sebagai laki-laki? Bagaimana bisa kamu memulangkan anak orang setelah kamu menikmatinya. Kamu enak tapi bagaimana nasib Ana? Dalam tubuh Ana ada bekas yang sudah kamu tinggalkan. Tidak akan pernah bisa kamu kembalikan. Apa pernah kamu berpikir sampai disitu? Ana sudah kamu rusak sebagai wanita Alan! Dia! wanita itu! Tidak akan bisa menjadi sempurna lagi." geramnya tidak tahan dengan tingkah putranya."Kamu lagi! Kamu terlalu lembek menjadi wanita, seharusnya kamu hajar saja laki-laki ini. Enak saja meminta cerai setelah kamu habis diobok-obok sama dia. Kalau bisa tendang sekalian." kalau tidak dalam keadaan menegangkan seperti ini Hendra pasti sudah meledakkan tawanya. Lihat saja laki-laki itu sedang berusaha menahan tawa."Maafkan Ana, ma. Tapi ini lebih baik. Percuma kami bertahan tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Mama jangan khawatir, Ana pasti akan menemukan laki-laki yang menerima Ana apa adanya. Kalau memang dia mencintai Ana, laki-laki manapun itu pasti mau menerima kekurangan Ana. Percaya sama Ana ya, ma." Alan meremang. Hatinya tersentil mendengar ucapan Ana. Ada sisi asing dalam dirinya yang tidak menerima ketika Ana berkata laki-laki lain."Tapi mama yang tidak rela, Ana. Mama tidak mau kehilangan putri mama. Iya, mama memang pernah menolak kamu tapi mama bersyukur tidak bertindak bodoh waktu itu. Kamu menduduki posisi melebihi seorang menantu di hati mama." Ana terharu mendengar pengakuan Ami. Wanita itu berdiri dan menarik kaki mendekati Ami. Ia menyentuh tangan wanita paruh baya itu."Ma, sampai kapanpun Ana akan tetap menjadi putri mama. Ana senang bisa merasakan kasih sayang mama dan papa setelah sekian lama tidak merasakannya. Ana sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini." Ami menangkup wajah Ana. "Kamu janji ya, jangan pernah lupakan mama. Mama akan sangat sedih kalau sampai itu terjadi."Ana mengangguk, "Ana janji ma. Ana akan selalu ingat mama." kata wanita itu dan menghampur ke dalam pelukan Ana. Ami menerimanya, wanita itu membalas pelukan Ana.Hendra, laki-laki paruh baya itu ikut menitikkan air mata terharu melihat kedua wanita itu.Sedangkan Alan, laki-laki itu terdiam tidak berkata sepatah kata pun. Dia tidak bisa menggambarkan perasaannya. Sedalam itukah mamanya menyayangi Ana?***Laki-laki itu meletakkan bunga dan berkata, "Ayah, ibu, maafkan Alan yang tidak bisa menepati janji." ucapnya bersimpuh di depan dua gundukan tanah itu. Ya, Alan sedang berada di pusara kedua orang tua Ana. Setelah berpikir cukup panjang, Alan memutuskan bersinggah di tempat ini."Alan sudah mengecewakan ayah dan ibu. Padahal Alan sudah berjanji akan membahagiakan putri ayah dan ibu. Alan salah, Alan sudah menyakiti Ana. Maafkan laki-laki brengsek ini yang memilih melepaskan putri ayah dan ibu. Alan tidak ingin menyakiti Ana lebih dalam lagi. Maaf! Maaf!" ucapnya dengan suara parau.Alan tahu Ana sangat sempurna sebagai seorang istri. Wanita itu sangat cekatan menyiapkan segala kebutuhannya. Kesalahan ada pada dirinya, dia yang membagi hati kepada wanita lain. Maka dari itu Alan merasa menjadi pria paling brengsek jika terus-terusan mengikat Ana dengan hubungan yang tidak jelas. Alan merasa sangat-sangat berdosa. Dan akhirnya Alan melepas Ana. Biarlah mereka menemukan kebahagiaan masing-masing. Menjalani hidup masing-masing tanpa saling menyakiti lagi. Dan Alan harap Ana menemukan laki-laki yang mencintainya dengan sepenuh hati, tidak seperti yang dilakukannya selama ini. Ya, ini yang terbaik.Sebulan telah berakhir setelah perceraian resmi Alan dan Ana. Keduanya kembali menjalani kehidupan masing-masing. Alan dengan kisah cinta yang baru dan Ana dengan kehamilan tanpa suami. Tidak terasa kandungannya kini sudah menginjak usia 12 minggu. Ana sangat tidak sabar menunggu momen tendangan pertama bayinya. Dokter bilang janinnya baru akan menendang setelah usia 18-21 minggu, itu pun kalau anak pertama. Beda lagi kalau anak kedua atau ketiga si ibu baru akan merasakan tendangan setelah usia kandungan 15-16 minggu. Dan Perut buncitnya menjadi bukti bahwa bayi dalam kandungannya mengalami pertumbuhan.Sama seperti wanita hamil lainnya, Ana juga mengalami fase yang namanya mengidam dan dia selalu menikmati momen itu. Seperti saat ini, wanita itu sedang menyantap rujak mangga muda ala mama Rita. "Pokoknya apapun yang kamu inginkan jangan sungkan-sungkan memintanya." ucap Rita sambil memotong buahnya lagi. "Kamu tidak usah takut dan tidak perlu sungkan jika kamu mau sesuatu. Di rum
Alan terpekur ketika sepasang matanya menemukan cincin di laci meja kerjanya. Alan mengambilnya dan mengamati cincin perak itu. Alan memandangnya lekat dan menemukan ukiran nama Ana di lingkaran cincin itu. "Aku dan kamu bagaikan langit dan bumi. Apa kamu tidak malu memiliki istri seperti ku? Gadis kampungan dan juga yatim piatu." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa kamu adalah orangnya. Wanita yang ditakdirkan Tuhan untukku." Yakinnya tidak menyerah."Sebaiknya kamu pikirkan dulu. Aku takut kalau itu hanya perasaan sesaat kamu. Euforia kamu karena menemukan wanita yang memiliki paras hampir sama dengan wanita yang kamu cintai." Alan menggeleng. "Aku yakin bahwa hati ini seratus persen telah menjadi milikmu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani mengajakmu ke jenjang yang lebih serius? Ayana Nashwa Zia, will you marry me?" Wanita itu merogoh tas selempangnya. Mengambil handphonenya dan mengirimkan sebuah pesan untuk Alan."Pemakaman? Untuk apa?" tanya Alan bingung."Kamu akan se
Malam kian larut tetapi mata Ana enggan terpejam. Sepi kian menemani wanita itu. Ana rindu Alan yang selalu mendekap hangat tubuhnya. Ia rindu wangi tubuh lelaki itu, wangi yang selama ini menemani tidurnya. Mungkinkah ini yang dinamakan hormon ibu hamil? Bisa jadi."Baby, salahkah jika mama merindukan papa kalian? Mama tahu ini tidak benar tapi mama benar-benar merindukannya. Apakah kalian juga merasakannya? Atau jangan-jangan kalian yang ingin bertemu papa?..." "...Maaf. Mama tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk kalian. Mama juga merasa sedih, tapi mama tidak bisa berbuat apa-apa selain melepas papa kalian. Mama tidak ingin kalian merasakan apa yang mama rasakan. Mama tidak ingin kalian menjadi kesekian untuk papa kalian. Mama tidak ingin kalian diabaikan papa kalian. Tidak apa-apa kan kalau mama sekaligus ayah buat kalian?" Dug! "Baby?" Ana terkejut dan meletakkan tangannya di bagian pergerakan yang ia rasakan. "Iya, mama tidak akan sedih lagi. Kalian tidak mau mama se
Ana tersenyum senang ketika janin dalam kandungannya lagi-lagi memberikan tendangan. "Hayo, tendangan siapa ini?" ucapnya sambil mengusap-usap perut buncitnya. Dug! "Aduh! Pelan-pelan sayang!" Ana mengaduh membuat Bima yang kebetulan melewati kamar Ana berlari menghampiri. Laki-laki itu baru saja pulang dari tempat kerjanya. "Ana, kenapa?" Tanya Bima khawatir membuat Ana tertawa melihat ekspresi laki-laki itu. "Ana jangan bercanda!" Ana menghentikan tawanya, kasihan juga melihat wajah panik Bima. Padahal dia dan bayinya baik-baik saja. "Sini deh tangan kamu." pinta Ana dan meletakkan tangan Bima di atas perutnya. "Baby, ayo sapa om Bima." Tidak berapa lama Bima merasakan tendangan itu. Dug! Bima menatap tangannya takjub. "Ana, mereka menendang?" tanyanya dan meletakkan tangannya di atas perut Ana lagi. "Babby, ayo sapa om Bima lagi." ucapnya sangat antusias. Dug! Untuk kedua kalinya Bima dapat merasakan pergerakan bayi dalam kandungan Ana. Rasanya sangat luar biasa. Dalam hat
Alan tahu tidak akan mudah mengembalikan kepercayaan sang mama. Tapi bagaimana pun caranya ia ingin mengembalikan hubungan manis antara ia dan sang mama. Sudah cukup Ami-mamanya mendiamkannya. "Ma..." panggilnya sembari mendekati mamanya. Ami menoleh tanpa membalas dan kembali menekuni kegiatan menyiram tanamannya. "Ma, mulai hari ini Alan akan tinggal lagi bersama mama dan papa." lanjutnya berharap sang mama memberi respon. Ami meletakkan selang yang dipegangnya dan menyuruh pak Parjo melanjutkan kegiatannya. Setelah itu ia pergi meninggalkan Alan tanpa berkata sepatah kata pun. Alan menghela napas. Ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Laki-laki itu berjalan memasuki rumah dan melihat bahwa dinding ruang tamu rumahnya sudah bersih dari foto-foto pernikahannya. "Bi, foto-foto yang dari sini disimpan dimana?" tanya Alan ke bi Narti yang ketepatan sedang membersihkan ruang tamu itu. "Saya kurang tahu den karena bukan saya yang membantu ibu melepasnya." Alan mengangguk kemudian
Setelah pelukan penuh haru biru itu berakhir, kini mereka berada di ruang keluarga. Masih ada sisa tangis walau tidak sepilu semula. Situasi canggung terasa memenuhi ruangan itu. Entah apa yang terpikir oleh masing-masing mereka. Sampai akhirnya Rita selaku tuan rumah memecah keheningan."Mi, saya minta maaf. Saya sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikannya. Sudah seharusnya saya mengatakan yang sebenarnya. Sekali lagi saya minta maaf, Mi," "Ya, saya kecewa. Sangat-sangat kecewa Rit. Saya pikir kita benar-benar sahabat. Tapi...," "Ma, Ana minta maaf, tapi ini semua murni permintaan Ana agar tante Rita dan juga lainnya merahasiakannya. Ana tidak siap memberitahu mama dan papa. Jadi cukup salahkan Ana, Ma, jangan keluarga ini." Ucap Ana memberi penjelasan. "Ya, kamu memang salah. Kamu menyembunyikan keberadaan cucu yang kami nantikan selama ini. Kamu tahu kan kalau mama dan papa sangat menanti kehadirannya," balas Ami."Ma, cukup. Jangan beri Ana tekanan yang berlebih. Ingat ke
Bima menuntun Ana hingga sampai ke kamar wanita itu. Namun, tak seorang pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bima menyodorkan segelas air putih untuk Ana dan dengan sekejab Ana sudah menandaskan isi gelas itu."Bim, mengapa takdir begitu jahat mempermainkan hidupku? Aku capek Bim. Aku merasa hidupku hanyalah kesia-siaan belaka. Aku benar-benar capek Bim," kata Ana dengan sedih dan terdengar frustasi."Hei, jangan seperti ini. Kamu memiliki mereka. Kalau kamu seperti ini, mereka akan sedih." Ana menggeleng."Aku merasa Tuhan sangat tidak adil dalam hidupku, Bim. Aku merasa kalau aku dilahirkan hanya untuk merasakan sakit selama-lamanya." "Na, jangan seperti ini. Ada kami yang menemani kamu. Sekarang kamu tidur, ya. Tidak usah pikirkan yang aneh-aneh." Ana membaringkan tubuhnya dan Bima menyelimuti wanita hamil itu. Bima menatap sendu wajah Ana merasa prihatin dengan wanita hamil itu. Seharusnya masa sekarang adalah masa paling membahagiakan bagi setiap wanita. Masa menanti-nantikan
Drttt... Drrrrt...Lagi dan lagi bunyi panggilan masuk menyapa pendengaran Alan. Namun, laki-laki itu tetap bergeming, enggan menerima panggilan itu. Kalau dihitung, itu adalah panggilan ke sepuluh dalam jangka satu jam. Orang yang menghubunginya adalah orang yang sama, yaitu Melani. Alan tahu perbuatannya ini akan menimbulkan masalah yang baru, tapi laki-laki itu tidak peduli. Saat ini yang ada di kepalanya hanyalah tentang Ana dan calon anak mereka. Alan bangkit dari perebahannya dan merasakan sakit luar biasa pada kepalanya. Memprihatinkan mungkin itu gambaran yang pantas untuk keadaan Alan saat ini didukung dengan lebam pada wajahnya yang kini sudah membiru. Tapi dia tidak peduli itu. Dia akan bertahan demi menyusun rencana untuk bisa menemui Ana. Bum! Dalam sekejab tubuh Alan terjatuh, tidak bisa bertahan dengan denyutan kepala yang menyerangnya. Laki-laki itu terkapar tak berdaya di lantai ruang tengah rumah yang dulu ia tempati dengan Ana. Tidak ada pilihan lain. Ia mengambil