Melisa terpaku dengan tatapan Jimmy yang sangat memabukkan. Ia pernah melihat itu, tapi … entah dimana, ia lupa.
“Tu-tuan, lepaskan saya. Saya janji untuk tidak—”“Jangan bersikap seperti para asisten rumah tangga di sini. Kamu milikku, kamu calon nyonya di rumah ini dan tak kuperkenankan kau melakukan aktivitas apa pun!” Begitu tegas ucapan Jimmy, sampai Melisa pun tak berani membantah.Gadis itu terdiam dan meneguk ludahnya. Rok tutu sepanjang mata kaki tersingkap sedikit ke atas kala terhempas di atas ranjang. Ia memaki lelaki semena-mena ini yang selalu saja bisa membuatnya luluh.“Cepat mandi dan berdandanlah di lantai atas! Kamarmu ada di sebelah kamarku, aku menunggumu setengah jam lagi,” perintah Jimmy yang sedikit uring-uringan dengan keadaan pada area intimnya. Tegak dan menantang, sementara makanan di hadapan belum dimasak dan tentunya kurang lezat disantap mentah.“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Melisa sambil beringsut menjauh. Hampir saja dia diterkam Kembali.“Cerewet!” seru Jimmy. Karena tak tahan, ia langsung keluar dari kamar tamu dan mengumpat Kembali.“Shit! Kenapa harus begini lagi? Kau bangun tak tahu tempat! Kau tak lihat sarangmu belum selesai dibentuk itu? Ck! Kau tak boleh menunjukkan eksistensimu dulu. Kalau dia tahu bentukmu, pasti Melisa akan pingsan!” gerutunya.Sampai kapan ia harus menahan Hasrat biologis yang sejatinya meminta untuk disalurkan sejak semalam?Baru saja membuka pintu, Jimmy dikejutkan beberapa asisten rumah tangga yang berjejer di sana.“Mau apa?” hardiknya tak suka.“I-itu, Tuan. Nona Melisa tak apa-apa, kan?” Mereka yakin jika sang Tuan pasti akan bertindak buas. Pernah suatu saat Wanita yang dibawa ke rumah tak bisa berjalan sebab digempur semalaman dan Jimmy memilih tak peduli. Mereka sedikit khawatir jika Melisa mengalami hal yang serupa.“Kalau dia kenapa-napa, memangnya kenapa?” Ketus Jimmy menjawab. Tak ada yang bertanya Kembali, sebab mereka tahu jika Tuannya masih berpakaian lengkap dan tak berkeringat.Itu artinya … aman!*****Jimmy melirik waktu yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Melisa Kembali telat satu menit dari waktu yang telah ditentukan.“Anak itu selalu saja telat dan lelet!” sungutnya. Kala Jimmy hendak beranjak, Melisa kemudian datang dari atas tangga. Mengenakan dress berwarna putih, dengan corak bunga lily yang indah.Jimmy tersenyum sekilas. Tak lama, sebab Melisa buru-buru menatapnya dengan lekat. Sejurus kemudian, ia melirik Melisa yang hanya mengenakan sandal slop biasa.“Kau yakin hanya menggunakan sandal begitu?” tanya Jimmy sambil menyongsong ke ujung tangga bawah.“Ganti!” protesnya.“Sa-saya harus pakai apa, Tuan?” Meneliti kembali penampilannya, Melisa berputar. Roknya mengembang dan sepertinya tak ada kesalahan dengan penampilan.Jadi, ia harus berganti apa?Jimmy tak banyak bicara, ia berlari menuju ke sebuah rak sepatu. Semalam didatangkan setelah ia menghubungi toko sepatu mahal di pusat kota. Ukuran kaki Melisa 38, itu saja baru diketahui olehnya sesaat setelah ia membawa Melisa ke atas ranjang.“Gunakan ini!” Jimmy menyodorkan sebuah high heels hitam ke bawah kaki Melisa.“Tapi, ….” Ingin menyanggah, namun nyatanya selalu kalah.“Kau harus beradaptasi dengan semuanya di sini. Sekali lagi kutegaskan, kamu calon Nyonya Saga Jimmy Anderson yang—”“Sa- Saga ... Jim-Jimmy Anderson?” gagu Melisa menatap dengan mengerjapkan matanya berulang kali.Jimmy memasang raut wajah datar. Kedua tangan masuk ke saku celana bahan Panjang, pandangannya dibuang ke sembarang arah. Ia salah menyebut nama tadi. Harusnya ini menjadi surprise. Eh, malah keceplosan.“Jimmy, ….” Menggeleng dan tak percaya, Melisa mendekat sambil memegangi kedua lengan pria itu sambil menatap wajah yang nyatanya sangat tidak asing.“Om Jimmy! Anaknya Om Erick Anderson, bukan?”Tanpa sadar, Melisa memeluk pria itu sebentar. “Om Jimmy, Om pernah tinggal di dekat panti asuhan Kasih Bunda, ‘kan?” terkanya girang.“Bukan!” bantah Jimmy singkat.“Bohong!” Melisa langsung memegangi lengan kiri pria itu dan membuka kancing kemeja, menggulung lengan kemeja sampai je siku.“Ini apa? Om mau mengelak jika Om adalah Om ku?”Sebuah tato di lengan tak dapat membuat Jimmy mengelak. “Kalau sudah tahu, cepat kenakan sepatumu dan kita harus segera pergi!”Melisa sedikit heran. “Pergi? Pergi ke mana sih? Dari tadi Om—”“Pelaminan!"“Hah?”“Berisik! Cepat pakai sepatumu!”“Iya!” Melisa sudah tak merasa sungkan. Ia tersenyum dan segera berjongkok. Sementara Jimmy masih menormalkan deru napas yang tak beraturan.“Santai, Jim Junior. Kita sergap saat waktunya tiba!” Sudah ditidurkan, namun karena sentuhan Melisa, benda serupa tabung di pangkal paha itu Kembali tegak dan membuat sang pemuda dirundung nestapa. Sebab, lahan suburnya belum bisa dibajak dan ditanami benih unggulnya.Melisa menurut. Selepas mengenakan sepatu hak tinggi yang membuatnya tak nyaman, ia kemudian diajak keluar, masuk ke dalam mobil mewah dan diajak ke suatu tempat.Melisa terkejut sesampainya ke sana. “Om, kok kita ke sini?”Hem, kemana agaknya mereka pergi?Embun pagi masih menempel lembut di daun-daun ketika Melisa terbangun. Seulas senyum mengembang di bibirnya, sebuah senyum yang tak pernah lepas sejak beberapa minggu terakhir. Ia merasakan sebuah keajaiban dalam dirinya, sebuah keajaiban yang membungkam bisikan bisikan miring dari sang ibu mertua sejak dua tahun yang lalu. Beberapa bulan lalu, saat masih menikmati bulan madu pernikahannya dengan Kinan, bayangan mandul menghantui Melisa. Mantan Ibu mertuanya, dengan nada halus namun menusuk, seringkali menyinggung kesuburannya. Perkataan-perkataan itu, walau terselubung, menusuk hati Melisa. Ia merasa tertekan, beban yang tak seharusnya ia pikul. Namun, takdir berkata lain. Kegembiraan melanda Melisa ketika ia melihat dua garis merah samar di alat tes kehamilannya. Air mata bahagia membasahi pipinya. Jimmy memeluknya erat, mata mereka berkaca-kaca, berbagi kebahagiaan yang tak terkira. Jinny yang selalu menjadi sandaran Melisa, langsung memeluknya erat. "Sayang, ini ada
Sang dokter, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, menatap Jimmy dengan penuh perhatian. Suasana di ruang tunggu bandara yang sibuk sedikit terasa teredam oleh kehadiran dokter yang tenang dan percaya diri. Melisa duduk di kursi dengan wajah pucat, tangan memegang perutnya yang terasa mual, sementara Jimmy berdiri cemas di sampingnya.“Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya sang dokter dengan suara lembut, menatap Jimmy dan Melisa dengan penuh perhatian. Matanya yang tajam, namun penuh pengertian, menenangkan Jimmy sejenak.“Dokter, tolong periksa istri saya. Dia mual dan muntah terus. Saya khawatir dengan keadaannya dan sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Kami harus ke Amerika, tapi jika kondisinya tidak memungkinkan, saya terpaksa kembali ke Indonesia,” jawab Jimmy, suaranya terdengar penuh kecemasan.Dokter itu mengangguk perlahan, memahami ketegangan yang dirasakan oleh pasangan itu. “Baik, Tuan Jimmy. Tunggu sebentar, saya akan memeriksanya,” katanya tenang, lalu
Bunyi klik pintu kamar hotel bergema di ruangan luas yang remang-remang diterangi lampu tidur. Melisa masih berdiri di dekat pintu, tas tangannya digenggam erat. Ia menatap punggung Jimmy yang sedang memeriksa kamar. Presiden Suite Room, sungguh megah. Kamar yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, dengan pemandangan kota malam yang mempesona dari jendela besar di ujung ruangan. Tapi kemegahan itu tak mampu menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti hatinya.Baru beberapa jam yang lalu, ia dan Jimmy masih berdiri di pelaminan, diiringi tepuk tangan dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Pernikahan mereka di ballroom hotel yang sama, meriah dan penuh suk acita. Namun, kini, di ruangan pribadi ini, hanya ada mereka berdua, dikelilingi keheningan yang terasa berat.Melisa melangkah perlahan ke arah ranjang besar yang empuk, berhenti di ujungnya. Ia duduk di tepi, menatap Jimmy yang masih sibuk memeriksa fasilitas kamar. Kemewahan kamar presiden s
Lampu-lampu dansa berputar-putar, menciptakan efek cahaya yang magis di lantai dansa. Melisa dan Jimmy berdansa dengan anggun, irama musik mengalun lembut di antara mereka. Gaun biru muda elegan yang dikenakan Melisa membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan dan keanggunannya. Jimmy, dengan jasnya yang rapi, memeluk Melisa dengan erat, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Di tengah alunan musik yang syahdu, Jimmy mendekatkan wajahnya ke telinga Melisa, berbisik lembut, "Kau suka?" Melisa tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia bersandar pada dada Jimmy, merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Suka," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Ini adalah pernikahan impianku. Sangat, sangat bagus. Kau… kau membuatku terharu." Jimmy tersenyum, mengusap lembut pipi Melisa. Ia melihat jejak air mata yang mulai membasahi pipinya. "Hei, jangan menangis," ucap Jimmy, suaranya penuh kelembutan. Ia mendekatkan Melisa lebih erat ke dadanya, mencoba menenan
Lampu-lampu kristal berkilauan, menerangi aula pernikahan yang megah. Suasana syahdu dan khidmat menyelimuti setiap sudut ruangan. Di pelaminan, berdirilah pasangan pengantin yang serasi: Melisa, dengan gaun pengantin putih yang elegan, dan Jimmy, bule bermata biru yang kini telah menjadi seorang mualaf. Senyum bahagia terpancar dari wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan.Para tamu undangan memenuhi ruangan, semuanya tampak terpukau oleh keindahan dekorasi dan keanggunan pasangan pengantin. Jimmy, duda satu anak, tampak gagah dalam balutan jas berwarna gelap. Perubahannya begitu signifikan. Mata birunya yang khas kini berbinar dengan cahaya iman yang baru. Ia bukan sekadar mengikuti Melisa, tapi hijrahnya ke agama Islam adalah sebuah proses panjang yang dilalui dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Selama empat bulan, ia tekun mempelajari ajaran Islam, hingga akhirnya mantap untuk memeluk agama tersebut.Prosesi akad nikah berjalan denga
Dengan wajah tanpa ekspresi, Jimmy memberikan perintah singkat, suaranya dingin dan tanpa emosi, "Bersihkan ini. Bawa dia pergi, jauh dari sini. Kubur dia." Anak buahnya, yang telah terbiasa dengan perintah-perintah kejam majikan mereka, mengerjakan tugas tanpa ragu. Mereka mendekati tubuh Rina yang tergeletak tak berdaya, mengangkatnya dengan kasar, seperti mengangkat karung berisi sampah. Tidak ada belas kasihan, tidak ada sedikitpun rasa simpati di wajah mereka. Hanya ada kepatuhan dan ketaatan buta.Mereka membawa tubuh Rina, menuju tempat yang jauh dan terpencil, tempat di mana rahasia gelap dapat terkubur dalam-dalam. Tanpa upacara, tanpa doa, mereka menggali lubang, lalu melemparkan tubuh Rina ke dalamnya. Tanah menutupi tubuhnya, menghilangkan jejak keberadaan Rina dari dunia ini. Hanya kesunyian dan tanah yang menjadi saksi bisu atas penguburan rahasia ini. Sebuah akhir yang sunyi dan tanpa ampun, menandai berakhirnya hidup seorang wanita muda ya
Rina menatap Jimmy dengan pandangan penuh amarah dan keputusasaan. Kecamuk yang luar biasa memenuhi hatinya. Ia melirik ke bawah, memandang jurang yang menganga di bawah kakinya. Tinggi gedung itu membuatnya menyadari betapa rapuhnya nyawanya."Jika aku mati," gumamnya dalam hati, suaranya hampir tak terdengar, "maka mereka akan berbahagia. Sialan!" Rasa takut yang luar biasa menguasainya. Ia menyadari betapa bodohnya ancamannya tadi. Ia tidak ingin mati, tapi ia juga merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.Dengan hati-hati, ia mencoba menjaga keseimbangannya. Tangannya gemetar, kaki-kaki kecilnya terasa lemah. Ia berusaha keras agar tidak jatuh, agar tidak mengakhiri hidupnya di tempat itu. Ketakutan yang luar biasa menguasainya.Jimmy, yang berdiri hanya dua meter darinya, semakin memperkeruh suasana. "Ayo terjun! Buktikan ucapanmu tadi! Kau merasa dirimu tak berguna karena tertular HIV, kan? Maka kenapa kau tunda? Silakan pergi! Jangan ditunda! Atau, ma
Mata Melisa menyipit, tajam seperti pisau. Udara di antara mereka berdua menegang, beratnya terasa mencekik. Rina, yang selama ini hanya berbisik-bisik provokatif, terdiam. Bibirnya masih bergerak-gerak, seakan-akan masih ingin melontarkan kata-kata beracun, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Kini, Melisa tak bodoh lagi. Dia bisa melihatnya, niat jahat yang terpancar dari sorot mata Rina yang penuh dendam.Jari telunjuk Melisa menusuk dada Rina, gerakannya tegas dan penuh amarah yang terpendam. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang terkontrol, dingin dan mematikan. "Dulu," suara Melisa terdengar pelan, tapi setiap kata menusuk hati, "sudah kubiarkan kau mendekati suamiku. Kubiarkan kau bermanis-manis dengan Jimmy. Setelah aku bahagia, setelah aku dan Jimmy membangun kehidupan kami, kau berani mengusiknya lagi?"Saat Rina terdiam dengan ketakutannya, Melisa menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Ia menatap Rina dengan pand
Detik-detik menuju hari pernikahan Jimmy dan Melisa terasa begitu dekat. Sembilan puluh lima persen persiapan telah rampung, meninggalkan aroma harum antisipasi di udara. Ballroom megah di jantung ibu kota, tempat janji suci akan diucapkan, kini dipenuhi kesibukan. Jimmy, gagah dalam balutan jasnya, dan Melisa, menawan dalam gaun pengantinnya yang berkilauan, memimpin gladi resik bersama tim WO yang cekatan. Langkah kaki mereka beriringan, menelusuri alur acara, dari prosesi masuk hingga sesi pelepasan balon—setiap detail diperiksa, setiap gerakan dirapikan. Senyum tegang namun bahagia terukir di wajah mereka, mencerminkan debaran jantung yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, para WO berkoordinasi, memastikan tata cahaya, tata suara, dan dekorasi sempurna. Udara bergema dengan bisikan instruksi dan tawa ringan, menciptakan simfoni persiapan yang dramatis namun penuh kegembiraan. Gladi resik ini bukan sekadar latihan, melainkan sebuah ritual penyempurnaan, sebu