Share

Kenyataan Pahit (6)

Author: Sri_Eahyuni
last update Last Updated: 2024-06-08 07:12:34

Setelah pulang dari rumah Mak Sarmi aku langsung mandi, hatiku terasa sangat sakit saat suami yang ku percaya bisa melindungiku justru menyakiti dan memporak porandakan hatiku.

Mereka pikir aku ini budak apa yang bisa di perlakukan semena-mena dan di minta bekerja tanpa diberi upah.

Aku mencoba menenangkan diri di kamar mandi, membiarkan air mengalir membasahi tubuhku, seolah-olah bisa menghapus rasa sakit dan kekecewaan yang mengganjal di hatiku. Tapi air mata tak bisa terbendung. Aku terisak, teringat akan semua kepercayaan yang kuberikan pada Mas Tedy dan bagaimana rasanya sebagai istri yang tak pernah di hargai.

Setelah selesai mandi, aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin. Bayangan diriku yang kusut dan lelah terasa begitu menyedihkan. Bagaimana bisa suamiku sendiri, selalu membela keluarganya meski mereka bersalah di banding aku istrinya.

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, aku memutuskan ke dapur setelah selesai berganti baju. Aku memasak ala kadarnya untuk makan siang, saat Mas Tedy kembali ia langsung membuka tudung saji tetapi dengan cepat menutupnya kembali dan berlalu keluar. Sudah ku pastikan kalau dirinya tidak akan doyan masakan seperti itu.

Ntut..!! Ntut...!! Ntut....!!

"Ayah, mau beli pentol. Adek minta uang," ujar Kayla berlari menghampiri sang Ayah yang sudah berdiri di depan teras.

"Ayah nggak punya uang, Kay, minta Ibumu pasti punya," balas Mas Tedy nampak acuh.

Ku lihat Kayla berlari ke arahku dengan wajah yang cemberut dia terlihat sangat terburu-buru.

"Ibu, Adek mau jajan pentol, minta duitnya. Cepatan ya, Bu, nanti keburu pergi looh," rengek Kayla.

"Iya sebentar ya," balasku. Aku mengambil uang warung yang ada di dalam toples, uang pecahan dua ribu satu lembar itu ku berikan pada Kayla.

"Hore," teriak Kayla kegirangan. Dirinya segera berlari keluar menemui pedagang pentol yang berhenti di pinggir jalan.

Aku mengawasi Kayla dari dalam warung, tiba-tiba pandangan mataku tertuju kepada Arslen yang tiba-tiba datang dengan mengendarai sepedanya. Ternyata bocah itu sudah lincah naik sepeda.

"Len, kamu mau beli pentol enggak," panggil Mas Teddy.

Arslen berhenti dan menjawab, "Mau, Om, tapi aku nggak bawa uang."

"Sini tak kasih uang buat beli pentol," ujar Mas Tedy.

Aku langsung menyoroti Mas Tedy yang terlihat merogoh saku celana kolornya, ia mengambil uang satu lembar berwarna coklat.

Arslen mendekat dan mengambil uang itu dengan senang, "Asyik."

Hatiku yang merasa kesal kini semakin dongkol dengan sikap Mas Tedy, bisa-bisanya ia bersikap seperti itu kepada putri kandungnya sendiri. Kayla meminta uang bilangnya tidak ada giliran Arslen enggak minta malah dikasih.

Arslen sudah berlalu mengendarai sepedanya menuju penjual pentol, dari arah utara terlihat Mbak Sutri membawa tabung gas dan aku bisa menebak dia akan membeli gas isi ulang.

Tak membutuhkan waktu lama Mbak Sutri sudah sampai di depan rumahku dan menyapa Mas Tedy. "Nyantai aja kamu, Ted?"

"Iya, Mbak, mau beli gas ya," balas Mas Tedy.

"Iya nih," ujar Mbak Sutri.

Mbak Sutri melangkah mendekat ke arahku lalu mengucapkan apa yang akan di belinya, "Gas, Li, sama minyak goreng satu."

"Iya, Mbak, tambah apa lagi?" tanyaku. Aku mengambilkan pesanan Mbak Sutri dan melayaninya dengan baik sama dengan pelanggan lainnya, apalagi dia jarang hutang. Meski hutang sesekali tetapi dia pasti akan mengembalikan bila ku ingatkan.

"Udah itu aja," balasnya.

"Total tiga puluh sembilan ribu, Mbak." Aku menyebutkan jumlah nominal belanjaan Mbak Sutri, ia membayar dengan uang lima puluh ribu dan menerima kembalian dariku.

"Ted, kamu bisa pasangin gasnya nggak? Mas Tarji lagi keluar, aku enggak bisa pasang sendiri?" tanya Mbak Sutri saat hendak pulang.

"Bisa, ya sudah ayo aku pasangkan sekarang," balas Mas Tedy dengan cepat.

"Eh sekalian sama bawain galonnya ya, soalnya tinggal dikit air minum di rumahku," ujar Mbak Sutri kepada suamiku. Mas Tedy mengangguk sama sekali tak keberatan bila barang bawaannya ditambahi.

"Li, ini aku bayar air. Nanti galon kosongnya biar dibawa Tedy sekalian," ujar Mbak Sutri menyerahkan uang sepuluh ribu.

Aku menerima uang sepuluh ribu yang di serahkan oleh Mbak Sutri lalu memberinya kembalian empat ribu. Aku menatap tajam ke arah Mas Tedy yang melirikku namun ia terlihat sangat cuek dan membuang muka.

Siapa yang tak sakit hati saat istri minta bantuan suami tetapi, suami enggan membantu dengan alasan karena aku sudah terbiasa bisa mengerjakan sendiri. Tetapi saat orang lain meminta bantuan langsung di sanggupi.

Tanpa sadar aku sudah mengepalkan kedua tanganku menatap benci ke arah Mas Tedy yang berjalan mengikuti langkah Mbak Sutri. Mas Tedy memikul air galon dan tangan satunya membawa tabung gas, sedangkan Mbak Sutri berjalan santai membawa sebotol minyak goreng.

Tidak hanya sekali dua kali aku meminta bantuan Mas Tedy untuk mengangkat galon ke atas meja tetapi dia selalu menolak sehingga aku terbiasa melakukannya sendiri. Pasang gas pun aku juga melakukan sendiri tanpa pernah meminta bantuan darinya.

Sudah hampir satu jam Mas Tedy belum juga kembali membuat aku penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan.

"Mas Tedy ngapain sih di rumahnya Mbak Sutri kok lama banget," gumamku bertanya-tanya. Meski sangat kesal dengannya tak bisa di pungkiri saat dia tak ada kabar aku masih mengkhawatirkannya.

"Bukannya Mas Tarji lagi keluar, apa Mas Tarji sudah pulang ya dan Mas Tedy makan di sana," batinku.

Aku yang sangat penasaran, entah kenapa hatiku tiba-tiba terdorong untuk menyusul Mas Tedy. Karena tak ada pembeli aku memutuskan untuk melihat apa yang sedang di lakukan Mas Tedy di rumah Kakaknya.

Saat sampai di depan rumah Mas Tarji keadaan terlihat sangat sepi, pintu rumah pun tertutup tidak rapat membuat aku masuk begitu saja.

"Mas, Mas Tedy." Aku mendorong pintu untuk masuk ke dalam dan memanggil suamiku.

Sepi, tak ada suara apapun. Aku yakin Mas Tarji pasti belum pulang, apalagi di luar hanya ada sandal Mas Tedy dan Mbak Sutri saja.

Aku berjalan dengan pelan, entah kenapa jantungku terasa sangat berdebar saat tak menemui suamiku. Aku menuju dapurnya Mbak Sutri karena Mas Tedy ke sini tujuannya memasang gas pasti letaknya di dapur.

Saat sampai di ambang pintu dapur aku sangat syok melihat Mbak Sutri dan Mas Tedy sama-sama berdiri. Aku melihat Mbak Sutri bersandar pada dinding dan Mas Tedy membelakangiku

"Mas Tedy, Mbak Sutri kalian pada ngapain!!" ujarku berteriak. Aku melihat mereka sedang bercumbu, hatiku terasa nyeri menyaksikan kenyataan di depan mata. Suamiku yang pelit dan dzolim bisa mengkhianati juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat    Kebahagiaan yang Sempurna

    Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat    Hidayah yang Luar Biasa

    Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat    Kembali Berduka

    Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat     Kembali ke Rumah

    Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat    Pertanda di Jalan Raya

    Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud

  • Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat    Menyiapkan Rencana Selanjutnya

    Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status