Seketika kedua insan manusia itu terlihat kelabakan, mereka melepaskan diri dengan cara saling menjauh.
"Lia," ujar Mas Tedy dan Mbak Sutri bersamaan. "Apa yang kalian lakukan, kenapa kalian berpelukan dan berciuman kalian main api di belakangku!" tuduhku dengan emosi. "Bu-bukan begitu, Bu. Biar aku jelasin semuanya dulu, kami tidak melakukan seperti apa yang kamu tuduhkan," balas Mas Tedy dengan mengelak. Ia terlihat sangat gugup sedangkan Mbak Sutri terus menunduk. "Mau jelasin apa lagi, Mas, aku jelas-jelas melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian sedang beric**man. Kalian tega berselingkuh, aku akan adukan sama Mas Tarji!" Aku berlari keluar Manahan rasa sakit dan kecewa di dalam hati. Rasa kecewa atas sikap Mas Tedy kini semakin membuncah setelah melihat kenyataan ini. "Bu, tunggu." Aku menoleh kebelakang dan melihat Mas Tedy berlari mengejarku. Saat sampai di rumah, Mas Tedy berhasil menggenggam tanganku dan ia berucap, "Bu, aku tidak berselingkuh dengan Mbak Sutri. Kamu hanya salah paham, mata dia kelilipan dan aku mencoba meniup bukan menciumnya." "Aku udah nggak percaya sama kamu, Mas. Aku sudah terlanjur kecewa dan sakit hati dengan kamu. Kamu mau ngapain dan berbuat apa aku sudah nggak mau peduli lagi," balasku. Aku mencoba melepas genggaman tangan Mas Tedy tetapi tak bisa kerena genggamannya terlalu kuat. "Buat apa aku selingkuh, apalagi dengan Kakak iparku sendiri. Jelas-jelas itu tidak mungkin terjadi, kamu mau percaya atau tidak itu terserah kamu yang penting aku sudah ngasih tahu kamu yang sebenarnya," ucap Mas Tedy. Ia melepaskan genggaman tangan pada tanganku. Aku menatap Mas Tedy yang masuk ke dalam kamar, aku bisa melihat dirinya yang sedang berganti baju karena pintu terbuka lebar. Mas Tedy memakai baju kebun sudah aku pastikan ia akan pergi ke kebun. Seperti biasa setelah panen Mas Tedy akan sibuk di kebun membuat lahan baru untuk di tanami jangung lagi. "Bagaimana aku bisa percaya dengan kamu, Mas, kalau kamu ada di rumahnya Mbak Sutri selama satu jam lebih. Memangnya ada masang gas selama itu?" Aku kembali mencecar Mas Tedy saat ia melewatiku yang masih berdiri di ruang tamu. Mas Tedy keluar dan mengambil sepatu kebunnya yang ada di rak teras, ia duduk di kursi lalu memakai sepatunya. "Setelah masang gas dan masang galon pada dispenser Mbak Sutri menawariku makan, karena makannya pakai rendang ya nggak mungkin lah aku nolak. Saat makan Mbak Sutri membersihkan sarang laba-laba tiba-tiba matanya kelilipan. Aku yang kebetulan sudah makan ya langsung mencoba membantu meniup matanya, eeh kamu malah datang," balas Mas Tedy tanpa menatapku. Sungguh aku tidak percaya dengan penuturan yang Mas Tedy ucapkan karena aku tak melihat sapu lidi atau alat apapun yang di dekat mereka berdiri tadi. Kalau Mbak Sutri benar-benar membersihkan sarang laba-laba pasti di sekitar mereka akan terlihat sapu tapi nyatanya tidak ada apapun. "Baiklah aku dengarkan semua alasanmu, Mas. Kamu memang bisa membohongiku tetapi Allah tidak tidur, kamu tahu kan maksudku?" ucapku menatap tajam ke arah lelaki yang sudah memberiku dua keturunan. Mas Tedy terlihat sangat acuh, ia sama sekali tak merespon ucapanku lagi. Ia mengambil sabit dan memakai caping lalu naik ke atas sepeda motor untuk berangkat ke kebun. Aku menghela nafas dalam, entah sampai kapan aku menjadi istri tetapi seperti menjadi tulang punggung. Ternyata menjadi istri mandiri itu sangat tidak enak bagiku, ada suami maupun tidak ada rasanya sama saja. Semakin hari aku semakin tidak kuat dengan sikap Mas Tedy yang tidak pernah peka akan kewajibannya, ia seolah-olah mengabaikan aku sebagai istrinya. Aku merasa di jadikan budak olehnya membuat rasa cinta di hati ini kepada Mas Tedy terasa luntur. ** Keesokan paginya, meski aku masih kesal dan kecewa kepada Mas Tedy namun aku tak pernah melupakan kewajiban ku sebagai seorang istri. Aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa Mas Tedy ke kebun. Seharian kemarin Mas Tedy benar-benar tak makan di rumah, aku pun tidak bertanya karena hatiku benar-benar kesal. Pagi ini Mas Tedy hanya sarapan sedikit dan tak mu membawa bekal. "Kenapa enggak bawa bekal? Nanti kalau lapar gimana?" tanyaku pada Mas Tedy. "Gampang lah entar bisa bakar singkong atau nyari pepaya aja," balas Mas Tedy dengan datar. Aku tak mau menanggapinya lagi, setelah Mas Tedy berangkat aku membangunkan kedua anakku untuk berangkat sekolah. "Buk, aku sarapannya nambah ya. Habisnya enak banget sarapan pakai ikan asin kayak gini," ujar Shaka. Shaka kembali mengambil nasi dari dalam magicom, ia terlihat sangat lahap dengan sarapan apa adanya. Ikan asin itu aku masak dengan irisan bawang merah, bawang putih dan cabai ijo. Di saat Ayahnya tidak berselera dengan makanan seperti itu justru kedua anaknya sangat lahap. "Ibu, Adek juga mau sarapan kayak Kakak," ujar Kayla yang sudah cantik dengan seragamnya. "Iya, Adek duduk dulu ya." Aku meminta Kayla untuk duduk di depan Tv sambil nonton kartun Upin Ipin. Aku menyuapi putriku dengan lauk ikan asin juga, bagiku ikan asin ini sangat murah karena dengan uang dua ribu sudah bisa mendapat dua ekor ikan asin. Setelah selesai sarapan seperti biasa aku akan mengantarkan kedua anakku lalu meninggalkannya pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya dan akan menjemputnya nanti setelah jam pulang. Di rumah aku menjemur baju yang sudah dicuci dini hari tadi, disela-sela mengerjakan pekerjaan rumah aku juga melayani pembeli yang datang. Tepat jam sembilan pagi aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku juga sudah selesai masak untuk makan siang dengan menu telur sambalado, setelah selesai mandi aku mulai berangkat menjemput Kayla dan menutup warung lagi. "Bulek Li, sebentar jangan pergi dulu aku mau beli," ucap Devi dengan berlari. "Haduh, Dev, kenapa nggak dari tadi sih. Kayla pasti udah keluar kelas, ya udah buruan ya. Kamu mau beli apa?" tanyaku. Aku membuka lagi pintu utama warung dan mempersilakan Devi mengambil apa yang dia inginkan. "Iya Maaf, tunggu sebentar ya," balasnya. Aku menunggu Devi memilih jajan dan lainnya, seperti biasa ia akan mengambil jajan lebih banyak dari pada kebutuhan rumah tangganya. "Ini hitung dulu, Bulek," ujar Devi. Aku menghitung belanjaan Devi seperti sabun mandi dan sabun cuci, minyak goreng, bawang merah, serta pembalut. Devi membayar dengan pecahan uang lima puluh ribu. "Ini jajannya hitung sendiri ya," imbuh Devi. Seperti biasanya ia akan memisahkan uang belanja dan uang jajan karena memang begitulah kebiasaan dia. "Jajannya dua puluh tiga ribu ya," ujarku. Devi memberi uang pas dan setelah itu ia pamit pulang. Waktuku berkurang sepuluh menit sudah ku pastikan Kayla menunggu di luar kelas. Aku mengendarai motor dengan sedikit ngebut, kasihan Kayla kalau terlalu menunggu lama. Sampai di sekolah Kayla keadaan sudah terlihat sepi aku terkejut saat melihat Kayla menangis dengan memegang lengan tangannya di temani guru wali kelas. "Lho, Bu, Kayla kenapa nangis sampai segitunya?" Aku turun dari motor dan menghampiri putriku yang menangis tersedu-sedu.Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden