"Kamu kenapa nggak mampir ke kebun di tungguin lontong sayurnya malah nggak ada mampir. Cepat ambilin lontongnya," balas Mas Tedy.
Oalah berarti cuma masalah lontong sayur aku kira ada masalah serius yang terjadi saat dia berada di kebun. "Nggak ada, Mas, aku nggak beli karena uangnya udah habis buat belanja, kalau pesen sesuatu harusnya kamu peka. Ngasih duit aja enggak kok," ujarku dengan santai. Aku berlalu masuk untuk mengajak Kayla berganti baju. Bruak!!! Aku mendengar suara benda yang di banting, Mas Tedy entah membanting apa aku tak tahu. "Bu, kamu jadi istri kok pelit banget. Sama suami sendiri perhitungannya sampai segitu, dasar istri medit!!" ucap Mas Tedy dengan pedas. Ia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. "Lah, dia yang medit malah nuduh aku yang medit. Dasar suami dzholim tapi merasa terdzolimi," batinku dalam hati. **** Hari ini hari Minggu, aku ikut membantu mas Tedy untuk menggiling jagung. Dari jam setengah empat pagi aku sudah sibuk memasak, mencuci baju dan beberes rumah. Tepat jam enam pagi aku meninggalkan rumah bersama mas Tedy, anak-anak memilih di rumah meski begitu warung aku tutup. Jagung sudah di giling, lalu di timbang, dan menerima bayaran. Tetapi aku hanya menonton mas Tedy menerima banyak lembaran uang berwarna merah tanpa bisa menyentuhnya. "Alhamdulillah kita dapat uang banyak ya, Mas. Bulan depan kita bisa ngadain khitanan buat Shaka, kasihan dia udah minta terus dari kelas lima," ujarku saat mas Tedy sudah menyelesaikan semua transaksi jual beli. "Heemm," balas mas Tedy tanpa expresi. Saatnya kita pulang ke rumah dan karung bekas jagung milik kami yang sudah ku lipat dibawa mas Tedy ke motor. Sesampai di rumah sudah jam sembilan, dan di rumah Mak Sarmi sudah sangat ramai. Tanpa mampir ke rumah kami Mas Tedy langsung menuju rumah Mamaknya dan memarkirkan sepeda motornya di depan halaman rumah sang Mamak. "Nah itu Tedy udah pulang. Dapat berapa, Ted??" Tanya Mak Sarmi saat Mas Tedy baru mematikan mesin motornya. Aku juga ikut turun dan menyalami Mbak Tasih serta Mas Nobi yang ternyata mereka sudah datang. Pasti mereka dikabari Mak Sarmi kalau hari ini kami akan mencairkan uang panen. Mas Tedy duduk, dan mengambil uang lebaran merah dari sakunya. Mak Sarmi, Mas Tarji, Mbak Tasih dan Mas Nobi mengerubungi meja menghadap Mas Tedy. "Ini tadi punya Mamak dapat uang lima juta dua ratus lima belas ribu, dan ini notanya." Mas Tedy meletakkan tumpukan uang itu di atas meja lalu menggeser uangnya ke arah Mamaknya. "Wahh dapat banyak, ini memang jagung harganya tinggi lumayan dapat segini," ujar Mak Sarmi dengan antusias dan wajahnya terlihat sangat berbinar. Pak Karto suaminya Mak Sarmi memang menggarap satu petak kebun dan di tanami jagung juga. Beliau sengaja menanam bareng Mas Tedy agar saat panen juga bisa bareng seperti ini. "Waah, wah, kayaknya asik banget. Pada ngeroyok apa sih." Tiba-tiba Mbak Sutri bersama Arslen yang mengendarai sepeda barunya datang menghampiri kami, dia sudah dandan dengan rambut yang basah. Berbeda denganku yang masih bau keringat dan kucel ala-ala petani pada umumnya. "Sini, Sut, ini Tedy habis cair." Mak Sarmi meminta mbak Sutri untuk bergabung. "Wahh dapat banyak, Ted?" tanya Mbak Sutri. "Alhamdulillah, Mbak," balas mas Tedy. "Ini duitku semua total lima belas juta kurang sepuluh ribu. Mbak Tasih aku garap kebunmu dua petak kan semua dapat sepuluh juta, jadi aku kasih lima juta ya. Dan dua juta ini untuk jajan anak-anak, Mbak. Mas Tarji aku kasih kamu dua juta juga, Bapak juga aku kasih dua juta." Mas Tedy dengan entengnya membagikan uangnya kepada orang tua dan Kakak-kakaknya tanpa memikirkan aku. "Ini sisa tiga juta kurang sepuluh ribu ya." Kini Mas Tedy menatap ke arahku dan berkata, "Buk, ini uang lima ratus ribu kurang sepuluh ribu buat kamu. Tolong di cukupin ya, ini sisanya mau aku jadikan modal lagi buat nanam lagi." Aku melotot menatap Mas Tedy bisa-bisanya dia memberi uang segitu kepadaku. Padahal panen lalu aku di kasih lima ratus ribu, ini malah di potong sepuluh ribu. Kalau pun dia dapat kerjaan serabutan dirinya hanya memberi jatah satu juta tak peduli entah dia mau dapat satu atau dua juta yang penting aku di kasih satu juta. Mungkin Allah maha baik, jadi untuk tiga bulan kemaren mas Tedy sama sekali tak dapat pekerjaan dan rezki kami diberikan lewat aku melalui warung yang ku kelola. "Aku istrimu, Mas, bukan budakmu yang bisa kamu perlakukan sesukamu. Lebih baik aku kerja jadi babu satu bulan bisa dapat gaji dua sampai tiga juta," ucapku dengan berapi-api. Mas Tedy menatapku seperti tak percaya, mungkin dirinya berharap aku akan menurut dan tidak protes seperti biasanya. Tetapi, kesabaran seseorang itu ada batasnya dan kali ini aku benar-benar sudah kehabisan stok sabar. "Kenapa kamu enggak terima, Bu. Jadi orang jangan serakah lah, uang dari penjualan warung mau kamu kemanain. Ingat, kalau kita rajin bersedekah rezki kita akan bertambah berkali-kali lipat. Aku kasih segini kamu pasti bakal bisa nyukupin kenapa mesti marah," balas Mas Tedy. "Betul apa yang di katakan Tedy kalau kita rajin bersedekah rezki kita akan datang berkali-kali lipat, kamu nggak mau dapat Rezki nomplok, Li? Andai aku jadi kamu, aku pasti tidak akan menyia-nyiakan bersedekah. Secara kamu kan bisa dapat uang hasil kerjamu sendiri," sahut Mak Sarmi. Aku mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Mas Tedy dan Mak Sarmi dengan perasaan dongkol. Buat apa rajin bersedekah kalau anak dan istrinya di terlantarkan. Bukankah bersedekah yang paling utama itu anak dan istri terlebih dulu. Aku mengamati keempat kakak ipar yang tengah menatapku dengan tatapan sinis seolah-olah mereka tengah menertawakan diriku yang di sudutkan. "Kamu bisa cari uang sendiri kan, harusnya kamu enggak perlu minta uang lagi sama Tedy. Oohh, aku tahu pasti uang yang di kasih Tedy kamu berikan sama Bapak dan Mamakmu kan?" tuduh Mak Sarmi dengan lancang. "Jangan asal nuduh ya, Mak. Orang tuaku meski pun miskin mereka tidak pernah mengemis atau pun merebut yang bukan haknya," balasku tak terima. Selama ini aku belum pernah memberi apapun kepada orang tuaku. Sawah pemberian Bapakku yang hanya sepetak di garap Mas Tedy tetapi dia tak pernah memberi jatah walau hanya sekarung untuk Mamakku, justru Kakak-kakaknya Mas Tedy yang selalu minta. "Dan kamu, Mas, apa pernah kamu melihat aku memberikan sesuatu untuk orang tuaku. Kamu panen padi dari sawah Bapakku aja kamu bagi-bagikan kepada keluargamu tanpa memikirkan orang tuaku yang menahan lapar," imbuhku dengan kesal. "Kenapa kamu jadi ngungkit-ngungkit sawah, kalau kamu bisa garap sendiri ya udah garap aja, aku udah enggak mau garap lagi," balas Mas Tedy dengan ketus. Ooh rupanya suamiku itu mengajak perang, baiklah aku akan meladeninya dia kira aku nggak bisa bertani apa? "Oke, aku akan garap sawah Bapakku!!" balasku dengan ketus juga. Aku berlalu meninggalkan mereka menuju rumahku. "Nantang dia, paling-paling gagal panen. Mana nggak punya modal lagi," ucap Mbak Sutri. Aku mendengar mereka menertawakan ku, okelah akan ku buktikan kepada mereka kalau aku bisa menggarap sawah Bapakku.Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden