Share

Istri Yang Kucampakkan
Istri Yang Kucampakkan
Author: Goresan Pena93

Bab 1

last update Last Updated: 2023-07-15 06:12:27

"Apa? Papa mau nikah lagi?" Tubuh Fatih seketika meremang. Kepalanya berdenyut nyeri, ditambah rasa panas membakar dadanya. Kedua tangan Fatih pun mengepal seolah siap melayangkan tinju kepada lelaki yang baru saja menalak Mamanya pekan lalu.

"Iya, Fatih. Papa akan menikahi Bu Erika, Ibunya Rani. Mereka akan tinggal di sini, bersama kita." Bram mengulas senyuman. Tangannya terayun menyentuh pundak Fatih, berharap dia akan menganggap Rani seperti adiknya sendiri.

Rani dan Ibunya hanya bisa menunduk. Berdiri di tempat pertama kali kedua kakinya menjejak bumi kota Jakarta, di depan rumah Fatih. Rani baru saja mengetahui kalau Fatih, teman satu kampusnya adalah calon saudara tiri. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tinggal satu atap nanti.

Begitu pula Bu Erika, ia gugup sampai-sampai tubuhnya gemetaran. Ia menggigit bibirnya karena takut Fatih tidak akan bisa menerimanya. Wanita mantan pembantu paruh waktu itu paham betul bagaimana sifat Fatih. 

"Tidak. Papa jahat! Papa baru saja bercerai dengan Mama. Kenapa sekarang cepat sekali mau menikah? Apalagi dengan wanita itu." Fatih menatap tajam ke arah Erika. Dadanya naik turun tak dapat mengatur lagi udara yang keluar masuk paru-parunya, sakitnya seperti menusuk hingga ke ulu hati. 

"Fatih, dengarkan Papa! Papa adalah sahabat baik almarhum Pak Santoso. Beliau masih ada hutang dengan orang, apalagi Bu Erika sekarang menjanda masih harus membiayai Rani yang belum lulus kuliah, sama sepertimu." Bram mencoba membujuk putranya dengan pemahaman. Ia tidak ingin terpancing emosi lagi. Sama seperti tempo lalu saat ia dan Melania tengah berdebat. Fatih tiba-tiba ikut campur dan membuat Bram melayangkan tangannya pada pipi Fatih.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan menerima dia sebagai Ibuku! Dia itu pembantu, tempatnya itu di belakang. Bukan malah menjadi pengganti Mama." Fatih Nabhan, dua 27 tahun dengan perangai kasar pergi begitu saja setelah membanting bola basketnya tepat di depan mereka. 

Bram menghela napas panjang melihat kelakuan putranya. Ia tak enak hati pada dua wanita di sampingnya. Mendadak rasa bersalah mencuat ketika ingat pesan-pesan sahabatnya sebelum meninggal. Bram merasa berat dengan amanah tersebut, tetapi ia terlanjur mengiyakan.

"Maafkan Fatih, Erika, Rani. Dia memang masih labil. Kalian yang sabar, ya? Insyaallah, saya akan membujuknya lagi."

Rani dan Ibunya saling melempar pandangan. Bukan itu yang mereka pikirkan. Akan tetapi, bagaimana dengan rentenir yang nanti sore akan datang menagih sejumlah uang dan menyita rumah mereka.

"Tidak apa-apa, Pak Bram. Saya dan Rani akan mencari pekerjaan lain saja. Mengenai amanah suami saya, jangan khawatir. Anda tidak perlu melaksanakannya. Kami pamit undur diri dulu," ucap Erika dengan bibir bergetar. "Assalamualaikum."

Wanita paruh baya itu kian hari kian kurus. Tubuhnya seolah dimakan oleh pikiran berat tentang hutang sang suami. Begitu juga dengan kuliah Rani yang tinggal selangkah lagi. Sayang, jika tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

"Tunggu!" cegah Bram. Lelaki dengan setelan jas mewah itu mengangkat tangannya agar mereka berhenti.

Rani dan Ibunya mengurungkan langkah. Mereka ragu untuk menoleh ke belakang. Mereka tak ingin semakin banyak berhutang budi pada keluarga Bramantyo. Rani terus memegang tangan Ibunya hingga keringat dingin semakin mengucur dari pori-pori.

"Tunggu sebentar!" Bram mengulangi perkataannya. "Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya. Kalian tidak perlu takut atau sungkan. Saya sudah berjanji kepada Pak Santoso akan menjaga kalian. Kalau ini jangan menolak!" Bram meraih sesuatu dari dalam saku jas lalu menyerahkannya pada Rani sebuah amplop putih.

"Terima kasih, Pak Bram. Kami pulang dulu," balas Erika dengan nada berat. Ia ingin segera pergi dari sana. Tak kuasa melihat Fatih yang mengintip dari balik pintu. Ia juga tak ingin menjadi beban keluarga Fatih.

Bram menatap iba pada mereka. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah Rani dan Ibunya lenyap dari pandangan mata.

Fatih yang melihat Papanya hendak masuk, segera pergi ke kamarnya. Ia tersenyum sinis karena mereka tak jadi menikah. 

Di belahan bumi sebelah sana, Rani menatap langit gulita bertabur bintang dengan kedua mata berkaca-kaca. Bayangan samar Santoso terlihat diantara cahaya-cahaya kecil di atas sana. Lelaki tua yang tak pernah sekalipun membentaknya semasa hidup. Senyum dari wajah keriput Bapaknya seperti tampak begitu nyata.

Kedua kaki Rani tertelungkup sementara tangannya mengusap wajah kemudian. "Pak, kenapa secepat ini? Kenapa, Bapak, tidak menunggu Rani wisuda dulu?" Seolah tak terima takdir yang telah tertulis, Rani menumpahkan seisi dalam hatinya pada malam sunyi.

"Ran." Erika menyentuh pundak putrinya. Wajah sendu tampak pula pada wajah wanita itu. "Ikhlaskan kepergian Bapak. Kasihan Bapak kalau kamu terus meratapinya." Hati Erika perih menyampaikan kalimat itu. Namun, pada kenyataannya ia harus tetap berdiri menjadi peran orangtua tunggal. Belum lagi kalau Anggi pulang dari Surabaya, dari tempat Budenya nanti. Erika semakin dilema.

"Iya, Bu. Kita sama-sama doakan Bapak." Rani lantas menutup kembali jendela dan merebahkan kepalanya di atas bantal usang peninggalan Santoso.

Pagi itu, suasana kampus terlihat sangat padat, pendaftaran mahasiswa baru telah dibuka. Rani berjalan dengan setengah melamun. Ia memikirkan cara agar bisa kerja sambil kuliah. Sejauh lamaran yang ia ajukan sama sekali belum ada panggilan.

Seseorang dengan sengaja menyenggol bahunya secara kasar. Rani tersungkur hingga terjatuh. Ia meringis karena lututnya membentur keras pada lantai. Ketika gadis itu mendongak, seorang lelaki muda dengan ransel hitam tersenyum licik dan segera pergi. Seolah mengejek Rani, lelaki itu membuang ludah ke samping.

"Dasar si Fatih," lirih Rani. Gadis itu hendak berdiri, tetapi tiba-tiba sebuah tangan terulur. Rani mendongak dan mendapati Arfan, pria paling tampan satu kampus mengulum senyuman padanya.

"Ayo!" Arfan mempertegas maksudnya. 

Rani mendadak gagu. Bukan kali pertamanya Arfan bersikap baik dan perhatian seperti ini. Padahal, di sebelah kanan kiri gadis itu, banyak mahasiswa yang berdiri dan hanya menatap biasa.

"Terima kasih, Mas," ucap Rani. Ia tampak malu-malu ketika Arfan masih terus memindainya lekat.

"Sama-sama. Aku antar pulang, ya." Mahasiswa senior itu masih berjongkok, menunggu sang gadis hingga berdiri tegak.

"Aku bisa pulang naik angkot, Mas." Rani menata kembali buku-bukunya yang tadi berserakan. Arfan pun ikut membantunya.

"Kalau begitu, ke kantin sebentar, yuk! Siang ini panas sekali. Kita minum es dulu di sana," ujar Arfan lagi. 

Kali ini Rani tak menolak. Mereka berjalan ke arah samping kampus yang terlihat pedagang dengan jejeran makanan dan minuman instan. Mereka tak tahu, jika di balik dinding sejak tadi seseorang tengah menguping sambil memukul tembok bercat putih tempatnya menyandarkan tubuh. Melihat Rani bahagia, rasanya tak rela. Apalagi dengan Arfan.

"Iya, Bu. Ada apa?" Rani terperanjat ketika mendapat panggilan telepon dari Ibunya. Gadis dengan jilbab abu tua itu gemetaran. Hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. Tak lama setelah itu, buliran bening luruh membasahi pipinya yang semu kemerahan.

"Ada apa, Ran? Kenapa dengan Ibumu?" tanya Arfan. Ia panik melihat Rani terpaku menatap jauh. Arfan segera berdiri dari duduknya di kantin. Lelaki itu melihat wajah Rani mendadak pucat.

"Aku harus pulang, Mas. Ibu dalam keadaan bahaya." Sembari terus mengusap wajahnya, Rani kembali meraih buku-bukunya di meja. Ia ingin buru-buru sampai di rumah. 

"Aku antar, ya? Jangan menolak! Menunggu angkot bakalan lama." Arfan berlari mengejar Rani yang lebih dulu di depan. 

Rani gelisah. Ia terus bergumam, mengeluh karena angkutan umum tak kunjung datang. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di pinggir jalan, tempat Rani mencegat kendaraan yang setiap hari ia naiki.

"Ayo, naik! Kamu ingin segera sampai di rumah, kan?" teriak Arfan dari dalam mobil setelah membuka kacanya.

Tak punya pilihan, akhirnya Rani menerima ajakan Arfan. Mobil melaju dengan segera, sementara seorang lelaki yang sama mengintai dari mobil miliknya sendiri. Ia memukul bagian setir melihat kedekatan Rani dan Arfan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
wkwkwkwwkkkkkk si Fatih emang dasar nih... kalau suka sama Rani bilang dong bukan malah usil.. mana ngeselin banget usilnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Yang Kucampakkan   End

    "Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 54

    "Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 53

    Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 52

    Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 51

    "Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 50

    "Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status