Share

Bab 2

Jingga di ujung senja membuat hati Rani semakin nelangsa. Semua barang miliknya telah terlempar keluar dari rumah beserta Ibunya yang tengah tersedu tepat di depan pagar bertuliskan 'Disita'. 

Rani baru saja sampai dan mendapati Ibunya dengan memar di pipi serta tangis pilu. Wajah keriput Erika membuat Rani langsung menghambur dalam pelukan wanita itu. Sekarang, sedetik pun Rani berjanji tak akan meninggalkan Ibunya lagi.

"Maafkan Rani, Bu." Gadis itu mengusap wajahnya setelah melepas pelukan. "Tidak usah takut lagi, Bu! Rani sudah di sini. Rani akan jagain Ibu." Gadis itu terus menguatkan Erika. Wanita tua yang baru saja mendapat perlakuan tak enak oleh dua lelaki berbadan kekar. Sayang, sampai di sana Rani hanya melihat Ibunya saja.

Gadis mungil yang kini tumbuh dewasa itu bersumpah dalam hati. Jika ia bertemu dengan para rentenir yang tak punya hati itu, ia akan memberinya pelajaran karena telah menyakiti Erika.

"Ibu enggak apa-apa?" tanya Arfan. Yang sejak tadi masih tercengang melihat keadaan Erika. Ia prihatin dengan orangtua Rani karena kabarnya Erika mengalami sesak napas paska meninggalkannya sang suami. Apalagi setelah mendapat perlakuan kejam dari para rentenir.

"Tidak apa-apa, Nak." Erika memaksa bibirnya tersenyum. Meski perih menyiksa batinnya. 

"Bu, sabar, ya! Kita cari kontrakan saja. Lepas ini, Rani akan cari pekerjaan. Biar bisa buat bayar tempat tinggal dan kuliah." Rani kembali terisak. Dua wanita itu masih saling berpelukan. 

"Ran, aku akan bilang sama orangtuaku agar kalian bisa tinggal di sana sementara waktu. Kalian tidak usah khawatir," ucap Arfan. Hanya itu yang mampu ia lakukan. Sayang, dia juga belum kerja.

"Tidak, Mas. Aku akan cari kontrakan saja. Ibu adalah tanggung jawabku. Kami tidak ingin lagi merepotkan siapa pun," balas Rani. Sebagai anak  perempuan pertama, pundaknya sudah sekuat baja, tekatnya sudah bulat apalagi prinsip hidup yang tak pernah karang.

"Hanya sementara waktu, Ran. Sampai kamu gajian pertama paling tidak." Arfan masih mencoba membujuk. Ia tak ingin terjadi apa-apa lagi dengan Rani, gadis yang diam-diam mendiami ceruk di hatinya.

"Terima kasih, Mas. Mas Arfan sudah banyak membantu saya. Kali ini saja saya akan berusaha sendiri. Tolong, Mas Arfan mengerti." Rani begitu yakin dirinya akan mampu menjalani semua ujian.

Arfan hanya bisa menghela napas pasrah. Gadis tangguh seperti Rani tidak mungkin akan terus dalam posisi lemah. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya menyedihkan, tetapi dalam benak Arfan, Rani adalah sosok yang kuat dan tahan banting meski dia terlihat polos. 

"Baiklah, Ran. Aku akan menghargai keputusan yang telah kau ambil. Tapi, jika kau dalam keadaan benar-benar mendesak, jangan sungkan untuk bilang dan meminta bantuan padaku." Arfan tersenyum. Ia bangga dengan Rani. Gadis itu semakin membuatnya kagum.

Di samping itu, Fatih masih terus mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Dari dalam mobilnya, dia hanya bisa bergeming. Tak ada yang bisa ia lakukan. 

Hari berganti hari, Rani mendapat pekerjaan di sebuah kafe. Kerja paruh waktunya dimulai setelah pulang kuliah. Gadis itu tampak bersemangat. Gerakan tangannya lincah, celemeknya selalu bersih. Ia tampak ahli dalam bidang tersebut. Hingga sang manajer kagum dengannya.

"Rani? Kamu Rani?" Sebuah panggilan tertuju padanya saat tengah membersihkan meja bekas pakai pelanggan. 

Gadis dengan topi hitam dan seragam khas kafe tersebut menoleh. Ia kaget karena tepat di belakangnya Bram berdiri dengan seorang lelaki yang ia tebak adalah rekan kerja lelaki itu.

"Eh, Om. Iya, ini Rani." Gadis itu menunduk sopan. Mempersilakan dua lelaki itu duduk di sana. Ia segera memberikan buku menu dan menunggu pesanan dari mereka.

"Ran, kamu sekarang kerja, Nak? Kenapa kamu tidak mengabari saya? Kamu masih tinggal di tempat yang sama?" Bram mewanti-wanti keadaan Rani dan Ibunya. Pasalnya, ia tahu betul bagaimana kehidupan dua wanita itu. 

Tubuh Rani bergetar seketika. Lidahnya mendadak kelu, pikirannya melayang. Teringat Erika yang menunggu di rumah. Akan tetapi, ia juga takut dan sungkan mengatakan keadaan sebenarnya pada Bram.

"Ran, kamu baik-baik saja, kan? Bagaimana dengan keadaan Ibumu?" Bram gelisah melihat wajah Rani yang tiba-tiba berubah tegang.

"Ba ... baik, Om. Ibu sehat di rumah," balas Rani setelah Bram menyenggol lengannya. 

"Ya, sudah. Setelah kamu wisuda nanti, bersiaplah! Kau akan kerja di tempat saya. Jika kalian enggan menerima bantuan dari saya, bekerjalah. Tetapi, di kantor saya. Jangan biarkan kelak Om akan menanggung beban berat di akhirat karena tidak menjalankan amanah Bapakmu."

Bram sudah mantap dengan keputusannya. Ia tidak akan mencegah Rani untuk bekerja saat ini. Ia tahu, wanita jika sudah mempunyai tekat yang kuat, dia akan bersungguh-sungguh dengan apa yang ia inginkan. 

"Terima kasih, Om. Insyaallah, jika sudah waktunya nanti." Sedikit angin segar masuk ke dalam rongga paru-parunya. Bekerja di kantor Bram akan mendapat penghasilan yang lumayan dibanding dengan cafe kecil seperti tempatnya bekerja saat ini.

Rani semakin bersemangat dengan mimpi yang akan ia raih. Lulus dengan nilai terbaik dan mendapat banyak ucapan selamat. Ia lulus bersamaan dengan Fatih. Mereka saling bersitegang, tetapi Rani berusaha tak acuh. Buket mawar merah muda dipadu dengan bunga lili mendarat di tangan Rani. Seorang lelaki berwajah tampan dengan setelan jas hitam mengulum senyuman padanya.

"Selamat, Ran. Akhirnya kamu nyusul aku juga," ucap Arfan. Lelaki yang baru saja datang bersama Erika.

Arfan sengaja mengajak Erika berangkat bersamanya. Tak lupa mengajak wanita dua anak itu ke salon terlebih dahulu. Erika tampak lebih muda dan anggun. Sampai-sampai membuat putrinya pangling.

"Ibu, cantik sekali? Rani tak menyangka Mas Arfan menyulap Ibu jadi begini." Kedua mata Rani berkaca-kaca menelisik setiap jengkal penampilan Ibunya. Ia kembali memeluk Erika.

Hari ini adalah hari paling bahagia baginya selama hidup. Akan tetapi, di satu sisi Rani juga sedih teringat Santoso yang telah pergi beberapa bulan lalu. Gadis itu menyesal tak bisa mempersembahkan hasil studinya selama ini pada Santoso yang kini telah menyatu dengan lumbricina.

"Ran, tak usah bersedih. Bapak pasti bangga denganmu di sana. Kau harus tunjukkan bahwa dirimu akan menjadi kebanggaan tidak hanya di dunia tetapi di akhirat juga." Erika paham betul tatapan mata putrinya. Di saat bahagia gadis itu malah melamun, apalagi kalau bukan teringat sang Bapak.

"Iya, Bu." Rani kembali tersenyum. 

***

"Ran, kamu sudah siap?" tanya Bramantyo. Ia datang menjemput gadis itu di kontrakan dan mengajaknya perkenalan di kantornya. 

"Rani yang masih gugup hanya bisa mengangguk. Ia pergi mengenakan mobil mewah lelaki itu. Melambai pada wanita tua yang bermimpi anaknya akan menjadi orang hebat kelak. Wajah Rani terlihat berat ketika kendaraan besi itu semakin menjauh.

Selama hampir kurang lebih setengah jam, akhirnya ia dan Bram sampai di sebuah gadung pencakar langit milik lelaki itu. Bramantyo Airlangga Nabhan, lelaki lembut dengan sejuta kesabaran membawanya masuk.

Pertama kali gadis dengan lesung di pipi itu menjejakkan kakinya di depan lobi, ia langsung melihat siapa yang lebih dulu datang. Ada rasa canggung, selama menjadi mahasiswi ia dan Fatih selalu meributkan hal sepele dan kini mereka harus akur dalam satu misi.

Tatapan Fatih mengunci setiap gerakan Rani. Alisnya yang tebal dengan rahang mengeras serta wajah yang tak bersahabat membuat Rani enggan membalas tatapan Fatih. Untuk sekadar menyapanya saja, tak lagi berminat. 

Rani telah resmi menjadi karyawati di kantor Bram. Pertama ia dibantu oleh karyawati lain melihat ruangan khusus untuknya. Air mata Rani jatuh tiba-tiba. Ia tak bisa mengungkapkan rasa bahagianya hingga sebuah senggolan pada bahu membuatnya terkejut.

"Jangan senang dulu! Aku ada kejutan untukmu, dasar anak pelakor!" lirih Fatih di dekat telinga Rani yang terbungkus jilbab berwarna hitam.

Kedua bola mata berwarna madu milik Rani seakan keluar dari tempatnya. Kepalanya mendidih ketika Ibunya disebut pelakor. Ia segera mengejar langkah Fatih dan menarik jas lelaki itu dari belakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status