Pegal sudah pasti, apalagi lelah jangan di tanya lagi bagaimana rasanya berjalan dari rumah mengantar pakaian menyusuri desa membuat tubuh dan tulang-tulangku rasanya mau remuk. Sampai di rumah Ibu Zainab aku berdiri di ambang pintu rumahnya.
"Asalamualaikum, Bu Zainab," sapaku.Kebetulan Bu Zainab sedang duduk di teras bersama suaminya.
"Waalaikumsalam," jawabnya."Ini, pakaiannya sudah selesai Bu."Bu Zainab segera menghampiriku dan menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah."Besok gak usah ambil cucian ke rumah Ay. Karena Ibu sudah punya mesin cuci baru. Suami Ibu yang membelikannya tadi," ucap Bu Zainab sembari merangkul suaminya.Aku menganguk pelan. "Iya, Bu."Berkurang satu lagi pelanggan yang biasa mengantar cucian ke rumah. Dengan sabar kuusap dada agar di lapangkan rezeki berikutnya. "Aku dengar suamimu menceraikanmu Ay," sela Pak Iwan. Matanya terlihat mengerling sebelah ke arahku."Iya, Pak," jawabku kaku."Oh, ya, Ay, ini upah kamu. Aku hampir lupa memberikannya," ucapnya.Ibu Zainab menyerahkan uang pecahan lima belas ribu kepadaku.
"Kok, lima belas ribu, Bu," perotesku."Iya. Ibu potong lima ribu karena kemarin kamu telat mengantarnya sampai ke rumah," jelasnya sembari memajukan bibirnya lima centi ke depan.Soal dandan Bu Zainab memang nomer satu. Bibir merah merekah dengan lipstik merah darah tidak pernah absen setiap hari.
"Astagfirullah, Bu. Kemarin' kan sudah aku jelasi kalau telat karena harus menjemput Habib, dari sekolah," ujarku menjelaskan."Iya, kalau telat ya tetap telat, Ay. Lagian, gara-gara kamu aku jadi terlambat arisan dan ketinggalan berita," sungutnya kesal. Bibir tebalnya mengkrucut ke atas."Ya, sudah Bu.Tak apa, mungkin memang rezekiku hari ini cuma segini," ucapku menunduk.Setelah menerima upah dari Bu Zainab, aku pun melanjutkan perjalanan mengantar pakaian yang sudah disetrika. Tinggal satu lagi pekerjaanku akan selesai.Berjalan di bawah teriknya sinar matahari membuat tubuhku terasa panas. Nara, yang sedari tadi ada dalam gendonganku masih tertidur pulas. Setiap hari Nara tidak pernah aku tinggalkan di rumah sendiri saat mengantar pakaian ke rumah pelanggan. Nara, aku gendong menggunakan kain jarik yang sudah usang terdapat tambalan dan jahitan sana-sini.
Berjalan keliling desa membuatku terasa sangat lelah. Semua kulakukan demi kedua buah hatiku yang sudah menjadi tanggung jawab. Di sebuah rumah berukuran sederhana, perumahan tipe tiga enam langkah kaki berhenti. Rumah milik Intan adalah rumah terakhir yang aku singgahi untuk mengantar pakaian."Asalamualaikum," ucapku dari luar.Sejenak aku duduk di teras Intan beristirahat sebentar mengaatur napas.
Tak lama kemudian Intan muncul dengan menggunakan linggrie berwarna merah menyala. "Eh, kamu, Ay," sapanya."Iya, Tan. Aku datang ke sini untuk mengantarkan pakaianmu.""Ya, sudah letakkan saja di situ! Sebentar aku ambil uangnya ke dalam," Intan melangkah dengan gemulai memakai linggrie merah menyala pada siang hari. Semenit kemudian aku mendengar suara seorang pria muncul dari kamarnya dengan memakai handuk saja sebatas pinggang. Semula aku mengira itu suami Intan yang baru pulang kerja. Tapi, ternyata bukan."Siapa sih, siang-siang datang kemari? Ganggu orang lagi enak-enakkan saja," dengkus pria itu kesal.
"Tukang cuci, Sayang," sahut Intan cepat."Cepat kasih uangnya, Sayang! Dan suruh lekas pergi aku mau lanjutkan main kuda-kuda'an," ucapnya. Seraya berlalu begitu saja sembari menutup pintu kamar dengan keras.Intan pun kemudian mendekatiku dengan pelan dan memberikan upah sesuai dengan kesepakatan awal."Ambil uangnya, Ay! Dan segera pergilah dari rumahku!" ketus Intan."Maaf, Tan. Aku tidak punya kembaliannya," ucapku."Sudah ambil saja kembaliannya! Tapi, jangan bocorkan rahasiaku, ya," titahnya. Intan memberikanku uang pecahan lima puluh ribu sebagai ganti aku tutup mulut."Aku takut dosa. Maaf, bukan sombong menolak rezeki. Tapi, aku gak mau nanti jadi beban di akhirat," ujarku."Halah ... sudah miskin saja belagu. Sok gak mau uang. Dikasih lebih malah nolak," cibirnya.Aku hanya mengelus dada mendengar cerocos intan. Uang yang disodorkannya sebagai ganti tutup mulut karena menutupi aib perselingkuhannya. Tapi, dengan tegas aku menolaknya berdalih dosa dan tidak berkah. Intan kemudian marah dan membanting pintu rumah sekeras-kerasnya."Ya, sudah kalau tidak mau. Pergi sana! Sudah dikasih rezeki malah nolak. Dasar, tak tahu di untung," cerocosnya.Intan Membanting pintu tanpa menoleh ke arahku. Aku hanya mengelus dada melihatnya.Pintu ia banting sekuatnya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Nara tersentak bangun dalam gendonganku mendengar keributan."Bunda," panggilnya lirih."Ya, Sayang.""Adik, haus," ucapnya."Sebentar, Nak. Kita minum di rumah saja, ya. Bunda, sudah selesai kok ngantar pakaiannya," ujarku.Nara mengangguk pelan. "Iya, Bunda."Di bawah terik matahari tepat atas kepala kami berdua berjalan kembali menuju rumah. Tidak banyak hasil yang kudapat hari ini, hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Seharusnya ada tambahan dari baju yang di antar tadi ke rumah Intan. Tapi, ia urung memberikan karena aku menolak uang suap.
Berjalan keliling kampung di bawah terik matahari yang panas membuat putri kecilku menjadi kehausan. Sesampai di rumah ia meminta minum.
"Bunda, haus," ucapnya lagi."Ini, Nak. Minumlah yang banyak!" segelas air putih ia minum dan menandaskan isinya."Makasih, Bunda," Nara berkata sembari memberikan gelas kosong kepadaku.Baru saja aku duduk melepaskan lelah, Habib pulang dengan wajah yang kusut dan sedih."Asalamualaikum," ucapnya. Habib masuk dengan wajah yang masam dan terlihat sedih."Ada apa, Nak?" tanyaku heran.Lima menit kemudian Habib terlihat menarik napas dan terdengar mendesah."Besok, Habib akan dikeluarkan dari sekolah Bunda," jawabnya lesu."Loh, kenapa?" tanyaku lagi."Sudah enam bulan, Bunda menunggak uang sekolah." Habib berkata dengan lirih."Astagfirullah," ucapku mengelus dada. "Maafin Bunda, Nak. Bunda, belum bisa membayar uang sekolahmu.""Jika, besok tidak di bayar Habib bisa di keluarkan dari sekolah Bun," desisnya.Aku terdiam mendengar ucapan Habib. Memang sudah enam bulan uang pembayaran sekolah tidak aku bayarkan. Bukan karena sengaja, tetapi memang tidak punya uang sama sekali untuk membayarkannya. Penghasilan sehari-hari pun tidak mencukupi, bagaimana bisa membayar uang sekolah.Segera aku beringsut dari tempat duduk dan beralih menuju kamar. Lemari pakaian yang sudah lapuk, kubuka dan mengambil uang simpanan yang selama ini aku sisihkan untuk membayar listrik dan di tambah uang tadi pun hanya cukup untuk membayar tunggakkan tiga bulan saja.
Uang sekolah Habib sebulan lima puluh ribu, dan tertungak enam bulan. Sisanya masih banyak lagi yang belum terbayar. Terpaksa hari ini dan besok kami harus berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk beli bahan makanan. Hanya martabak dari pemberian bu Helmi tadi bisa mengajal perut Habib dan Nara.
Biarlah aku yang mengalah untuk kedua buah hatiku. Malam ini dan besok aku harus berpuasa menahan lapar asal anakku bisa makan dan tidak kelaparan."Besok biar Bunda saja yang datang ke sokolah, Nak. Bunda akan bayar tiga bulan dulu dan meminta tangguhan pada kepala sekolah biar tidak mengeluarkanmu dari sekolah," ucapku."Iya, Bun. Andai saja, Ayah ada pasti kita tidak akan menderita seperti ini, ya, Bun," keluh Habib. Matanya terlihat sayu menatapku."Suatu hari nanti pasti, Ayah akan menyadari kesalahannya, Nak. Bahwa keluarga adalah sangat berharga di banding harta," jelasku.Habib mengangguk pelan. "Iya, Bun.""Sekarang ganti bajumu lalu makan! Bunda, punya martabak kesukaanmu buat makan hari ini," ucapku kemudian. "Asyik, Habib bisa makan enak hari ini," teriaknya girang.Aku tersenyum kecut melihat kecerian di wajah Habib. Makan dengan memakai telur atau martabak telur menjadi barang mewah bagi kami yang setiap hari hanya makan seadanya tanpa lauk.
Bahkan, lebih keseringan berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk membeli bahan makanan. Hanya air putih yang bisa kami minum untuk menahan rasa lapar.Keadaan ini sudah kami jalani selama lima tahun sejak kepergian Mas Anan berpamitan untuk merantau mengadu nasib. Hidup kami sejak dulu serba kekurangan.
Pekerjaan Mas Anan yang hanya serabutan tidak mencukupi untuk kebutuhan kami sehari-hari. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Jakarta berharap bisa mengubah kehidupan kami menjadi lebih baik. Nyatanya setelah berhasil ia berubah dan meninggalkan keluarganya yang selama lima tahun menunggunya kembali.
***Bersambung.Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka
Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi
Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak
Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa
Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m
Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.