Share

Bab 3 Menahan Lapar Karena Tidak Punya Uang

"Asalamualaikum," ucapku pada Bu Helmi. 

"Waalaikumsalam," jawab Bu Helmi dari dalam rumah.

Aku berdiri di depan pintu rumah Bu Helmi sambil menenteng kerajang yang berisi pakaian bersih yang sudah disetrika. 

"Bu, ini pakaiannya sudah selesai."

"Iya, Ay," sahutnya.

Bu Helmi keluar dari dalam kamar masih memakai pakaian daster batik berwarna coklat tua.

"Ini, upah buatmu Ay," ucapnya mengulas senyum.

"Terimakasih, Bu."

Kuterima uang lembaran dua puluh  ribu dari Bu Helmi. Hanya Bu Helmi pelanggan tetap yang masih bertahan mengantar cucian tiap hari. Ia terkenal dermawan pada setiap orang,  terlebih lagi kepada keluargaku.

"Besok ada acara di rumah, Ibu. Kamu datang ya, buat bantu-bantu di dapur!" kata Bu Helmi. Seraya memberiku bungkusan kantong plastik hitam yang tadi dibawanya dari arah dapur.

"Apa ini, Bu?" tanyaku penasaran. 

"Tadi, Rida pulang dari kantor membawa martabak telur tiga porsi. Kebetulan Bapak lagi ada tugas di luar tidak pulang. Jadi, Ibu memberikan satu untukmu," lanjutnya.

"Maaf, Bu. Aku jadi merepotkan Ibu."

"Kamu tidak perlu sungkan atau canggung Ay. Ibu, memberikan ini karena tidak mau makanan mubazir. Lebih baik Ibu berikan padamu agar anak-anakmu bisa ikut menikmati," jelas Bu Helmi.

"Terimakasih, Bu."

"Sama-sama. Besok jangan lupa datang ya ke rumah buat bantu Ibu masak."

"Ibu, ada acara apa?" tanyaku penasaran.

"Rida, dilamar pacarnya. Dan akan mengadakan acara tukar cincin pada malamnya," jawab Bu Helmi tersenyum.

Aku hanya mengangguk. "Oh ...."

Setelah berpamitan pada Bu Helmi aku melanjutkan mengantar pakaian ke rumah Bu Zainab. Satu tanganku menenteng keranjang pakaian yang sudah bersih di setrika. Sementara tangan yang satunya lagi menggendong Nara.

Pegal sudah pasti, apalagi lelah jangan di tanya lagi bagaimana rasanya berjalan dari rumah mengantar pakaian menyusuri desa membuat tubuh dan tulang-tulangku rasanya mau remuk. Sampai di rumah Ibu Zainab aku berdiri di ambang pintu rumahnya.

"Asalamualaikum, Bu Zainab," sapaku.

Kebetulan Bu Zainab sedang duduk di teras bersama suaminya. 

"Waalaikumsalam," jawabnya.

"Ini, pakaiannya sudah selesai Bu."

Bu Zainab segera menghampiriku dan menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah.

"Besok gak usah ambil cucian ke rumah Ay. Karena Ibu sudah punya mesin cuci baru. Suami Ibu yang membelikannya tadi," ucap Bu Zainab sembari merangkul suaminya.

Aku menganguk pelan. "Iya, Bu."

Berkurang satu lagi pelanggan yang biasa mengantar cucian ke rumah. Dengan sabar kuusap dada agar di lapangkan rezeki berikutnya. 

"Aku dengar suamimu menceraikanmu Ay," sela Pak Iwan. Matanya terlihat mengerling sebelah ke arahku.

"Iya, Pak," jawabku kaku.

"Oh, ya, Ay, ini upah kamu. Aku hampir lupa memberikannya," ucapnya.

Ibu Zainab menyerahkan uang pecahan lima belas ribu kepadaku.

"Kok, lima belas ribu, Bu," perotesku.

"Iya. Ibu potong lima ribu karena kemarin kamu telat mengantarnya sampai ke rumah," jelasnya sembari memajukan bibirnya lima centi ke depan.

Soal dandan Bu Zainab memang nomer satu. Bibir merah merekah dengan lipstik merah darah tidak pernah absen setiap hari.

"Astagfirullah, Bu. Kemarin' kan sudah aku jelasi kalau telat karena harus menjemput Habib, dari sekolah," ujarku menjelaskan.

"Iya, kalau telat ya tetap telat,  Ay. Lagian, gara-gara kamu aku jadi terlambat arisan dan ketinggalan berita," sungutnya kesal. Bibir tebalnya mengkrucut ke atas.

"Ya, sudah Bu.Tak apa, mungkin memang rezekiku hari ini cuma segini," ucapku menunduk.

Setelah menerima upah dari Bu Zainab, aku pun melanjutkan perjalanan mengantar pakaian yang sudah disetrika. Tinggal satu lagi pekerjaanku akan selesai.

Berjalan di  bawah teriknya sinar matahari membuat tubuhku terasa panas. Nara, yang sedari tadi ada dalam gendonganku masih tertidur pulas. Setiap hari Nara tidak pernah aku tinggalkan di rumah sendiri saat mengantar pakaian ke rumah pelanggan. Nara, aku gendong menggunakan kain jarik yang sudah usang terdapat tambalan dan jahitan sana-sini. 

Berjalan keliling desa membuatku terasa sangat lelah. Semua kulakukan demi kedua buah hatiku yang sudah menjadi tanggung jawab. Di sebuah rumah berukuran sederhana, perumahan tipe tiga enam langkah kaki berhenti. Rumah milik Intan adalah rumah terakhir yang aku singgahi untuk mengantar pakaian.

"Asalamualaikum," ucapku dari luar.

Sejenak aku duduk di teras Intan beristirahat sebentar mengaatur napas.

Tak lama kemudian Intan muncul dengan menggunakan linggrie berwarna merah menyala. 

"Eh, kamu, Ay," sapanya.

"Iya, Tan. Aku datang ke sini untuk mengantarkan pakaianmu."

"Ya, sudah letakkan saja di situ! Sebentar aku ambil uangnya ke dalam," Intan melangkah dengan gemulai memakai linggrie merah menyala pada siang hari. 

Semenit kemudian aku mendengar suara seorang pria muncul dari kamarnya dengan memakai handuk saja sebatas pinggang. Semula aku mengira itu suami Intan yang baru pulang kerja. Tapi, ternyata bukan.

"Siapa sih, siang-siang datang kemari? Ganggu orang lagi enak-enakkan saja," dengkus pria itu kesal.

"Tukang cuci, Sayang," sahut Intan cepat.

"Cepat kasih uangnya, Sayang! Dan suruh lekas pergi aku mau lanjutkan main kuda-kuda'an," ucapnya. Seraya berlalu begitu saja sembari menutup pintu kamar dengan keras.

Intan pun kemudian mendekatiku dengan pelan dan memberikan upah sesuai dengan kesepakatan awal.

"Ambil uangnya, Ay! Dan segera pergilah dari rumahku!" ketus Intan.

"Maaf, Tan. Aku tidak punya kembaliannya," ucapku.

"Sudah ambil saja kembaliannya! Tapi, jangan bocorkan rahasiaku, ya," titahnya. Intan memberikanku uang pecahan lima puluh ribu sebagai ganti aku tutup mulut.

"Aku takut dosa. Maaf, bukan sombong menolak rezeki. Tapi, aku gak mau nanti jadi beban di akhirat," ujarku.

"Halah ... sudah miskin saja belagu. Sok gak mau uang. Dikasih lebih malah nolak," cibirnya.

Aku hanya mengelus dada mendengar cerocos intan. Uang yang disodorkannya sebagai ganti tutup mulut karena menutupi aib perselingkuhannya. Tapi, dengan tegas aku menolaknya berdalih dosa dan tidak berkah. Intan kemudian marah dan membanting pintu rumah sekeras-kerasnya.

"Ya, sudah kalau tidak mau. Pergi sana! Sudah dikasih rezeki malah nolak. Dasar, tak tahu di untung," cerocosnya.

Intan Membanting pintu tanpa menoleh ke arahku. Aku hanya mengelus dada melihatnya.

Pintu ia banting sekuatnya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Nara tersentak bangun dalam gendonganku mendengar keributan.

"Bunda," panggilnya lirih.

"Ya, Sayang."

"Adik, haus," ucapnya.

"Sebentar, Nak. Kita minum di rumah saja, ya. Bunda, sudah selesai kok ngantar pakaiannya," ujarku.

Nara mengangguk pelan. "Iya, Bunda."

Di bawah terik matahari tepat atas kepala kami berdua berjalan kembali menuju rumah. Tidak banyak hasil yang kudapat hari ini, hanya tiga puluh ribu rupiah saja. Seharusnya ada tambahan dari baju yang di antar tadi ke rumah Intan. Tapi, ia urung memberikan karena aku menolak uang suap.

Berjalan keliling kampung di bawah terik matahari yang panas membuat putri kecilku menjadi kehausan. Sesampai di rumah ia meminta minum.

"Bunda, haus," ucapnya lagi.

"Ini, Nak. Minumlah yang banyak!" segelas air putih ia minum dan menandaskan isinya.

"Makasih, Bunda," Nara berkata sembari memberikan gelas kosong kepadaku.

Baru saja aku duduk melepaskan lelah, Habib pulang dengan wajah yang kusut dan sedih.

"Asalamualaikum," ucapnya. Habib masuk dengan wajah yang masam dan terlihat sedih.

"Ada apa, Nak?" tanyaku heran.

Lima menit kemudian Habib terlihat menarik napas dan terdengar mendesah.

"Besok, Habib akan dikeluarkan dari sekolah Bunda," jawabnya lesu.

"Loh, kenapa?" tanyaku lagi.

"Sudah enam bulan, Bunda menunggak uang sekolah." Habib berkata dengan lirih.

"Astagfirullah," ucapku mengelus dada. "Maafin Bunda,  Nak. Bunda, belum bisa membayar uang sekolahmu."

"Jika, besok tidak di bayar Habib bisa di keluarkan dari sekolah Bun," desisnya.

Aku terdiam mendengar ucapan Habib. Memang sudah enam bulan uang pembayaran sekolah tidak aku bayarkan. Bukan karena sengaja, tetapi memang tidak punya uang sama sekali untuk membayarkannya. Penghasilan sehari-hari pun tidak mencukupi, bagaimana bisa membayar uang sekolah. 

Segera aku beringsut dari tempat duduk dan beralih menuju kamar. Lemari pakaian yang sudah lapuk,  kubuka dan mengambil uang simpanan yang selama ini aku sisihkan untuk membayar listrik dan di tambah uang tadi pun hanya cukup untuk membayar tunggakkan tiga bulan saja.

Uang sekolah Habib sebulan lima puluh ribu, dan tertungak enam bulan. Sisanya masih banyak lagi yang belum terbayar. Terpaksa hari ini dan besok kami harus berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk beli bahan makanan. Hanya martabak dari pemberian bu Helmi tadi bisa mengajal perut Habib dan Nara.

Biarlah aku yang mengalah untuk kedua buah hatiku. Malam ini dan besok aku harus berpuasa menahan lapar asal anakku bisa makan dan tidak kelaparan.

"Besok biar Bunda saja yang datang ke sokolah, Nak. Bunda akan bayar tiga bulan dulu dan meminta tangguhan pada kepala sekolah biar tidak mengeluarkanmu dari sekolah," ucapku.

"Iya, Bun. Andai saja, Ayah ada pasti kita tidak akan menderita seperti ini, ya, Bun," keluh Habib. Matanya terlihat sayu menatapku.

"Suatu hari nanti pasti, Ayah akan menyadari kesalahannya, Nak. Bahwa keluarga adalah sangat berharga di banding harta," jelasku.

Habib mengangguk pelan. "Iya, Bun."

"Sekarang ganti bajumu lalu makan! Bunda, punya martabak kesukaanmu buat makan hari ini," ucapku kemudian. 

"Asyik, Habib bisa makan enak hari ini," teriaknya girang.

Aku tersenyum kecut melihat kecerian di wajah Habib. Makan dengan memakai telur atau martabak telur menjadi barang mewah bagi kami yang setiap hari hanya makan seadanya tanpa lauk. 

Bahkan, lebih keseringan berpuasa menahan lapar karena tidak punya uang untuk membeli bahan makanan. Hanya air putih yang bisa kami minum untuk menahan rasa lapar. 

Keadaan ini sudah kami jalani selama lima tahun sejak kepergian Mas Anan berpamitan untuk merantau mengadu nasib. Hidup kami sejak dulu serba kekurangan.

Pekerjaan Mas Anan yang hanya serabutan tidak mencukupi untuk kebutuhan kami sehari-hari. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Jakarta berharap bisa mengubah kehidupan kami menjadi lebih baik. Nyatanya setelah berhasil ia berubah dan meninggalkan keluarganya yang selama lima tahun menunggunya kembali.

***

Bersambung.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Suami Zdolim.. menyia- nyiakan anak Istri..
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
bujug...esdeh SPPnya mapuluhrebu? coba thor, ceritanya yg masuk akal dikit napah, ini mah ceritanya potret kemiskinan, tp ngapah biaya sekola mehong bener?
goodnovel comment avatar
Bu Iim
sekola skarang gratis kan ada bantuan dr pemerintah,bilangin Bib sama kepala sekola gak boleh narik bayaran ke siswa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status