Ayi berencana akan pergi ke sekolah Habib untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama enam bulan. Itu pun hanya akan dibayar separuh untuk menangguhkan agar Habib tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus Ayi membangunkan Habib untuk sekolah.
"Habib, bangun, Nak!" ucapnya sembari menguncangkan tubuh Habib yang meringkuk di balik selimut.Habib mengerjab perlahan membuka matanya. Di lihatnya jam dinding yang sudah usang menunjukkan pukul enam pagi."Bunda," panggilnya. "Iya, Nak.""Habib, mau mandi dan melaksanakan salat subuh."Ayi mengangguk pelan. "Iya."Habib berinsut dari tempat tidur busa yang tipis lalu menuju kamar mandi belakang untuk mandi dan melaksanakan salat subuh. Hari ini ia kesiangan karena bundanya tidak membangunkannya untuk salat subuh di mesjid. Biasa pukul lima pagi Habib sudah bangun mendengar azan subuh yang berkumandang. Rumahnya tidak jauh dari Mesjid hanya berjarak sekitar 200 meter.Setelah semuanya selesai ia kerjakan Habib pun keluar dengan memakai seragam sekolah. Baju putih panjang yang sudah terlihat lusuh karena sudah terlalu lama dipakai.Sejak dari kelas satu sampai sekarang kelas lima SD, Habib hanya punya satu pasang baju untuk dipakai. Kalau basah Ayi akan menjemurnya dan pagi sebelum Habib sekolah Ayi terlebih dulu mensetrika agar tidak terlihat kusut. Bahkan celana pun hanya satu tidak ada yang lain untuk dipakai sebagai ganti. Kini Habib sudah terlihat mulai tinggi. Celana yang dulu kepanjangan sekarang sudah terlihat mulai menggantung di atas mata kaki.
Habib memakai seragam SD Sanawiyah karena memang ia sekolah di Ibtidaiyah sekolah Islam terpadu. "Bunda, Habib takut pergi sekolah karena belum bisa melunasi biaya sekolah yang tertunda," keluhnya. Ayi menghela napas berat. "Bunda, akan bayar separuh dulu, Nak. Agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah.""Tapi, Bunda dapat uang dari mana untuk melunasi uang sekolah, Habib?" "Bunda, masih ada sedikit uang simpanan untuk membayar rekening listrik. Bunda, bisa pakai itu dulu untuk menutupi biaya sekolah kamu, Nak," jelas Ayi.Seraya meletakkan potongan singkong rebus ke dalam piring Habib. Singkong itu kemarin sore ia cabut dan direbus untuk menganjal perut anaknya.
"Tapi, listrik kita nanti gimana kalau diputus Bun?"
"Kamu, gak usah pikirkan itu, Nak. Yang penting sekolah saja biar pintar. Soal pembayaran listrik biar, Bunda yang urus," jawab Ayi.Habib kemudian memakan singkong rebus pemberian bundanya. Keadaan ini tidak membuat ia kaget atau pun manja karena memang bukan cuma sekali saja ia makan singkong untuk mengajal perut yang lapar. Tapi, sudah sering hal ini di alami oleh keluarganya sejak dulu.
Jika bundanya tidak punya uang maka hanya akan diberi singkong rebus saja yang di masak hanya memakai garam. Habib tidak pernah mengeluh atau pun perotes. Habib faham betul jika bundanya tidak masak dan hanya memberinya makan singkong rebus pasti tidak lagi ada uang.
"Bunda, tidak makan?" tanya Habib kemudian. Ayi hanya menggeleng saat Habib bertanya padanya."Tidak, Nak. Bunda, sedang berpuasa," jawabnya datar."Ooh."Setelah menyelesaikan sarapannya Habib lalu bergegas memakai tas sekolah yang sudah banyak jahitan. Ia tidak merasa malu memakai tas sekolah meskipun tas itu sudah banyak jahitan dan tambalan sana-sini."Ayo kita berangkat!" ucap Ayi sembari mengendong Nara."Ayo, Bun," sahut Habib mengulas senyum.Tidak lama kemudian mereka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mereka berangkat dari rumah pukul 6.30. Sesampai di sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Jarak yang di tempuh dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Melewati kebun sawit dan sungi kerena letak kampung mereka agak ke tengah jadi untuk tiba di sekolah harus melalui perkebunan sawit dan sungai.Setiba di sekolah Ayi segera menemui guru yang ada di kantor sekolah untuk menyelesaikan biaya sekolah Habib.Di depan kantor sekolah Ayi berdiri dan mengucap salam."Asalamualaikum," ucapnya."Waalaikumsalam," jawab Ustaz Rahman."Ayi, ada apa kamu datang ke sekolah?" tanyanya heran.
Tidak biasa Ayi datang kesekolah.
"Maaf, Ustaz. Dimana ruang guru bendahara, ya? Aku mau bayar tunggakkan uang sekolah Habib," kata Ayi.Ia menundukkan kepala tak berani menatap pandangan ke arah Ustaz Rahman.
"Oh, itu, masuk saja! Bendahara ada di dalam," tunjuk Ustaz Rahman ke ruang bendahara.Ayi mendongak lalu mengikuti arah yang di tunjuk Ustaz Rahman."Terimakasih, Ustaz," lanjutnya. "Permisi."Ustaz Rahman mengangguk. "Iya.""Asalamualaikum," ucap Ayi."Waalaikumsalam," jawab guru bendahara."Maaf, Bu. Saya ingin membayar tunggakkan uang sekolah, Habib," ungkap Ayi."Silahkan duduk, Bu!" "Tapi ... maaf, Bu. Saya hanya bisa membayar tunggakkannya tiga bulan saja," ucap Ayi kemudian."Iya, tak apa, Bu. Tapi, kami dari sekolah mohon maaf. Untuk sementara Habib kami sekor tidak boleh sekolah, jika uang tunggakkannya belum dilunasi," lanjut bendahara.Ayi menarik napas berat. "Apa tidak ada cara lain agar bisa terus sekolah, Bu?"Bendahara menggeleng. "Tidak.""Tolonglah, Bu. Saya mohon kebijakkan dari sekolah. Agar anak saya bisa tetap sekolah," tutur Ayi memelas."Sekali lagi mohon maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas tapi, tidak bisa membantu.""Ya, sudah kalau gitu," lirih Ayi.Ia kemudian mengambil uang dari saku gamisnya lalu menyerahkan pada bendahara sekolah.
"Tiga bulan, ya, Bu?"Ayi mengangguk. "Iya.""Sudah saya catat, Bu.""Iya, makasih. Permisi," ucap Ayi kemudian setelah membayar uang tunggakkan sekolah.Ia kemudian melangkah dengan gontai meninggalkan ruang kantor sekolah.
Setiba di luar ia segera ke ruang kelas Habib dan mencari keberadaan anaknya."Bib," panggil Ayi melambaikan tangannya.Habib datang menghampiri bundanya yang berdiri di ambang pintu ruang kelas."Ada apa, Bunda?" tanya Habib."Kita pulang yuk!""Kenapa pulang, Bunda? Habib, kan mau sekolah?""Bendahara, tadi bilang kamu belum boleh sekolah kalau Bunda belum bisa munasi uang sekolah kamu. Kamu belajar di rumah saja dulu sementara waktu sampai Bunda bisa melunasi uang sekolahnya," jelas Ayi."Tapi, Bun. Habib, mau sekolah sekarang."
Ayi merunduk dan mensejajarkan dengan ketinggian Habib."Sabar, Nak. Nanti ... kalau Bunda punya uang akan dilunasi dan kamu bisa sekolah kembali, ya," bujuk Ayi.Seraya mengelus pucuk kepala Habib dengan mata berembun.
Habib terlihat bersedih mendengar ucapan dari bundanya. Segera ia kembali ke dalam ruang kelas untuk mengambil tas sekolahnya lalu kembali pulang.
Ayi hanya memandang anaknya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat anaknya harus pulang karena ketidakadaan biaya untuk melunasi tunggakkan uang sekolah. Perih terasa menyayat kalbunya bagai disayat sembilu."Maafkan, Bunda, Bib. Bunda, belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu," batin Ayi berkata.Sudut matanya kini mulai mengembun.
Dari dalam kelas Habib mengkemasi kembali buku pelajarannya yang sempat ia keluarkan tadi dan memasukkan kembali ke dalam tas. Ia berjalan gontai menuju ke arah bundanya."Bib," panggil Satria teman sebangkunya.Habib menoleh membalikkan badannya ke arah Satria."Iya," sahut Habib."Kamu mau kemana kok bawa tas. Kayak mau pulang aja?" tanya Satria."Aku memang mau pulang, Satria.""Loh, kenapa kamu pulang, Bib? Kan' pelajaran belum dimulai. Sebentar lagi Ustad Rahman datang mengajar. Kenapa kamu pulang, Bib?" tanya Satria lagi. "Iya, aku tahu, Satria. Tapi, pihak sekolah memintaku pulang karena Bundaku belum melunasi tunggakkan uang sekolah tiga bulan lagi," tutur Habib. Ia pun segera berlalu dari hadapan satria dan keluar dengan menjijing tas bututnya.Sesampai di depan pintu kelas Habib menghampiri bundanya yang berdiri menunggu sambil mengendong Nara adiknya."Ayo, Bun kita pulang!" ucapnya.Ayi mengangguk lalu mengiyakan ucapan Habib. "Ayo, Nak."Ayi berjalan menyusuri koridor sekolah beriringan dengan Habib di sampingnya.***Di dalam kelas Ustaz Rahman masuk dan memberikan mata pelajaran agama. Sebelum memulai mata pelajaran ia terlebih dahulu mengabsen murid-murid yang hadir. Seperti biasa para murid akan dipanggil satu-persatu namanya dengan nyaring untuk mengecek kehadirannya sebelum mata pelajaran berlangsung.Semua para murid hadir mengisi mata pelajarannya kecuali Habib yang tidak hadir saat disebut namanya."Habib," panggilnya. Hening tidak ada jawaban. Ustaz Rahman mengulangi kembali panggilannya."Habib."
Tetap hening tidak ada jawaban.Ia kemudian bertanya pada Satria teman sebangkunya apakah tadi melihat Habib atau tahu kenapa Habib tidak masuk kelas hari ini."Satria," panggil Ustaz Rahman."Iya, Ustaz," sahut Satria."Kemarilah!"Satria bergegas menghampiri Ustaz Rahman yang duduk di depan ruang kelas membelakangi papan tulis."Ada apa, Ustaz?""Kamu tahu kemana teman sebangkumu? Habib kenapa tidak datang?" tanya Ustaz Rahman.Satria mengangguk. "Tahu, Ustaz.""Kemana ia? Kenapa tidak datang? Apa dia sakit?" tanya Ustaz Rahman bertubi-tubi.Habib adalah murid paling pintar di kelas. Ia selalu menjadi juara satu tiap pembagian rapor.
Tidak hanya juara kelas saja Habib juga menjadi juara umum karena otaknya yang pintar selalu mendapatkan rengking satu. Satria menjelaskan dengan gamblang kenapa Habib tidak sekolah hari ini."Tadi, Habib sudah datang dan masuk kelas Pak Ustaz. Tapi, ia pulang lagi," jelas Satria."Loh, kenapa?" "Pihak sekolah menyuruhnya pulang karena ia belum melunasi tunggakkan uang sekolah," jawab Satria.Kening Ustaz Rahman berkerut. "Jadi, karena itu Habib pulang?"Satria kembali mengangguk. "Iya, Pak."Ustaz Rahman kembali meminta Satria untuk duduk. Ia pun segera menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya.***
Bersambung.Di gantung dulu ya guys. Masih ada kelanjutan cerita yang lebih seru lagi berikutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak komen dan like di bawah ini.
Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka
Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi
Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak
Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa
Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m
Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.