Share

Pertemuan & Kampus

Pagi itu, Naila bangun lebih awal kemudian sarapan bersama Rudi dan Riyanti. Keduanya sudah terlihat rapi, entah hendak ke mana. Padahal, Rudi libur bekerja.

Menikmati sarapan bersama walau dalam hati Naila sesak jika mengingat akan perjodohannya dengan lelaki yang berusia cukup jauh di atasnya dan lagi tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Ayah mau ke mana?" tanya Naila ketika Rudi dan Riyanti bangkit dari kursi. Padahal, Naila baru saja duduk di sana. 

"Kami ada perlu, Sayang," jawab Riyanti dengan penuh perhatian yang membuat Rudi sedikit heran. 

Lagi-lagi, aku hanya ditinggal sendiri, batin Naila mengeluh kesal.

"Baik-baik di rumah, ya, Sayang." Riyanti mencium pucuk kepala Naila. 

"Tapi, Tante. Nai mau keluar rumah, sudah ada janji dengan teman." Naila beralasan. 

"Oh, ya sudah gak papa. Hati-hati. Kami pamit, ya? Bye, Honey," ujar Riyanti yang membuat heran Naila. 

Aneh, batin Naila, karena Riyanti biasanya tidak selembut itu padanya.

** 

Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, Naila bersiap untuk  pergi menemui kekasihnya. 

"Emm ... pakai baju yang mana, ya?" 

Lemari besar itu ia buka, matanya mencari mini dres yang hendak dikenakan. Hati Naila senang karena ia akan bertemu dengan Radit. Dres dengan warna merah jambu akhirnya ia pilih karena Radit menyukai warna-warna lembut. Naila menyisir rambut panjangnya yang ia biarkan terurai, wedges yang tidak terlalu tinggi menyempurnakan penampilannya pagi itu. Hingga tidak terasa, waktu telah menunjukkan jam setengah sepuluh pagi. Naila pun bergegas menuruni anak tangga setelah menyampirkan tas kecil di pundaknya. 

"Mang, antar Nai ke taman!" teriak Naila memanggil Asep, sopir pribadinya. 

"Baik, Non. Sebentar." Asep pun kini mengeluarkan mobil berwarna merah itu dari garasi. "Mari, Non," ajaknya ketika mobil sudah di luar garasi. 

Naila melangkah untuk memasuki mobil itu dengan anggun, ia duduk di belakang kemudi. "Jalan, Mang," pintanya Ketika ia sudah duduk. 

Mobil melesat ke taman dimana Naila dan Radit telah berjanjian. Hingga tidak terasa, Naila lebih dulu datang ke taman. Di bangku putih itu biasanya Radit menunggu lebih awal, tetapi tidak untuk hari ini. 

Radit ke mana? Batin Naila kala melihat bangku putih itu masih kosong. 

"Non, Mamang tunggu di sini, ya?" ujar Asep dalam mobil. 

"Engga usah, Mang. Nanti Nai bisa pulang sendiri naik taksi."

"Baiklah, kalau ada apa-apa hubungi Mamang saja, ya, Non?"

Naila mengangguk, ia berlalu pergi menuju bangku putih dimana ia dan Radit mengurai canda tawa selepas sekolah. 
Naila masih duduk termenung, padahal waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang.

Kok Radit belum sampai juga? Batin Naila yang mulai resah mengkhawatirkan kekasihnya. 

"Radit?"

Naila melihat Radit turun dari sepeda motornya. Ia mendekat ke bangku dimana ada Naila yang telah menunggunya sedari tadi.

Wajah Radit tampak lesu, apa dia sakit? Batin Naila.

"Hai, Nai. Maaf lama," ujar Radit di depan Naila. 

"Oh, iya gak papa. Aku melihatmu sekarang di sini juga sudah sangat senang, kok."

Naila sangat senang ketika Radit sudah ada di depan matanya walau tak dimungkiri ada rasa khawatir kala melihat wajahnya yang pucat pasi. 

"Nai, aku mau berpamitan sama kamu," ujar Radit yang masih berdiri di depan Naila. 

"Pamit? Maksudmu?" 

"Aku akan meneruskan kuliah di London, kita tidak bisa barsama lagi. Maaf, hari ini juga kita putus." Radit berlalu pergi tanpa mau mendengar kata atau pertanyaan dari Naila. 

Naila masih duduk memantung. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Tiada badai yang berarti pada hubungan mereka tetapi tiba-tiba saja Radit memutuskannya. Sakit. Rasa sakit dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang kekasih hingga bulir bening itu terjatuh dari pelupuk mata indah Naila. 

"Tega kamu, Dit. Apa salahku? Padahal, saat itu kamu sendiri yang mengatakan akan memperjuangkan cinta kita. Lalu, apa hanya segitu rasa cintamu buat aku?" Naila hanya bisa meratapi kenyataan yang menimpa dirinya.

*** 

Di sisi lain, ada Riyanti dan Rudi yang sedang membicarakan tentang rencana perjodohan putrinya dengan Bram. 

"Gimana, Bram?" tanya Rudi.

Usia Rudi dan Bram tidak terpaut jauh, sehingga selain rekan bisnis mereka juga seperti seorang sahabat, mereka hanya terpaut empat tahun saja. 

Bram memandang foto Naila. 

"Gimana? Cantik 'kan, putri kami?" ujar Riyanti.

Bram mengangguk dengan mata yang masih terfokus memandang wajah cantik Naila. 

"Baiklah, saya harus membayar berapa untuk melunasi seluruh hutangmu, Rud?" 

Rudi pun menyebutkan nominal uang yang sangat besar pada Bram. Seketika itu juga, Bram menyetujui dan memberikan selembar cek yang telah ditandatangani.

"Isi saja sesuka hatimu," ujar Bram yang membuat hati Rudi sedikit tergores karena seperti telah merendahkannya.

"Baiklah, terima kasih," ujar Riyanti yang buru-buru mengambil cek dari meja. 

"Baikla, saya permisi dan saya serahkan semuanya pada kalian. Pernikahannya jangan dibesar-besarkan, karena ini menurutku bukanlah pernikahan impian. Aku hanya membeli anak kalian saja." Bram berlalu pergi dengan tangan yang masuk dalam kantong celana. 

"Apa? Tega sekali dia bilang seperti itu?" ujar Rudi ketika Bram sudah berlalu pergi, ia merasa kesal karena Bram dengan seenaknya menyebut dirinya menjual Naila. 

"Sudah, memang keadaannya seperti ini. Yang penting kan perusahaanmu bisa terselamatkan, Mas, dan anakmu juga akan mendapatkan kebahagiaan dengan uang yang tercukupi dari Bram. Bahkan mungkin bergelimang, bukan hanya cukup saja." Riyanti menenangkan suaminya. 

Rudi hanya mendengus kasar. Ia merasa tersinggung dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Bram, tetapi harus bagaimana lagi? Mungkin apa yang diucapkan Riyanti ada benarnya. 

"Nih, liat. Aku akan mengobati kekesalanmu terhadap Bram." Riyanti memperlihatkan cek dengan nominal yang sudah ia tulis. 

"Tiga kali lipat?" ujar Rudi dengan mata yang membulat. 

"He'em, tadinya aku akan mengisi lebih dari ini, tetapi takut Bram menyadari kalau kita mengambil lebih dari ini." Riyanti menyeringai. 

"Oh ... oh ... oh, istriku memang paling cerdik dengan hal-hal seperti ini. Makasih, Sayang." Rudi mencium kening Riyanti. 

Pertemuan itu akhirnya membuahkan hasil yang manis untuk Rudi dan Riyanti. Bagaimana tidak, perusahaan mereka selamat, mendapatkan uang secara cuma-cuma pula. 

"Mas, sudah lama aku tidak membeli mutiara, koleksi di rumah hanya itu-itu saja, bosan tau," rengeknya manja. 

"Iya, Mas paham. Ya sudah, kita cairkan saja cek ini dan belilah apa yang hendak kamu beli, Sayang."

"Aahh ... maksih, Sayang." Riyanti menghambur dalam pelukan hangat Rudi. 

***

Dalam kamar bernuansa putih, Naila masih menangis ia belum percaya dengan keputusan yang diambil oleh kekasihnya. 

"Dit, padahal dulu kamu begitu memperjuangkanku. Kamu selalu ada, bahkan saat kuterpuruk kehilangan Ibu. Kenapa, Dit? Apa salahku?"

Naila masih terus menangis, air mata itu terus luruh membasahi mini dres yang ia kenakan, rambutnya pun sudah sedikit berantakan. Di kamar itu ia hanya duduk termenung melihat lagit-langit kamar dan sesekali ia melihat ponselnya berharap Radit menelepon untuk menjelaskan penyebab ia meminta putus secara tiba-tiba. 

Malam semakin larut, matanya masih enggan terpejam. Naila akhirnya memutuskan untuk menelepon Radit malam itu. 

'Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi....' Berulangkali ponselnya menyahut seperti itu.

"Radittt!!! Kamu tega sama aku!" Naila sedikit berteriak meluapkan emosi. 

*** 

Naila sudah mulai beraktivitas di kapus barunya. Suasana mahasiswa baru begitu kental terasa diacara ospek pagi itu. Seluruh calon mahasiswa memakai atasan kemeja putih dan bawahan celana/rok berwarna hitam. 

"Ups ... sorry ...." ujar seorang laki-laki berparas tampan. 

"Tidak apa-apa, Kak. Saya yang minta maaf," jawab Naila sambil sedikit merapikan tatanan rambut yang dikepang dua. 

"Aku Andri, namamu siapa?" Lelaki itu mengulurkan tangannya memperhatika wajahnya yang memang terlihat cantik walau dandanannya terlihat aneh. 

"Aku Nai--" ucapannya terhenti ketika mendengarkan pengumuman dari Kakak tingkatnya yang mengharuskan untuk masuk ke aula kampus dengan segera. "Maaf, Kak. Aku pamit, ya?" Naila berlalu pergi. 

"Nai? Cantik, aku suka dengan wajah dan sikapnya." Andri pun ikut masuk dalam koridor kampus. 

Serangkaian acara telah dimulai, hingga tidak terasa, waktu ospek akan segera berakhir. Lagi-lagi Naila bertemu dengan Kakak kelasnya. Saat itu, Naila tidak sengaja menabrak Andri yang sedang berjalan menuju tempat rapat pengurus BEM. 

"Kak Andri?" ujar Naila dengan mata membulat. "Maaf," sambungnya sambil merunduk. 

"Tidak masalah, aku yang salah kok. Maaf, ya? Kamu mau ke mana?"

"Aku mau pulang, Kak."

"Oh, ya sudah, hati-hati, Nai." 

"Iya, Kak. Mari." Naila berlalu pergi.

Andri menatap lekat wanita cantik yang kini berjalan menjauh darinya, ia hanya melihat Naila dari belakang. Mata itu terus tertuju pada Naila, hingga tubuh wanita itu sudah menghilang dari pandangannya.

"Woy!" Salah seorang sahabatnya mengagetkan Andri. 

Andri terperanjat. 

"Sialan, lu!" ketusnya.

"Ngelanunin apaan sih?" ujar Niken, sahabat dekatnya. 

Niken merupakan wanita tomboy, ia berteman dengan Andri sudah dari awal masuk kuliah. Tidak ada perempuan yang betah berteman dengannya karena Niken terlalu cuek bahkan sedikit petakilan seperti lelaki. 

"Idih, dasar cewek mah kepoan!" ledek Andri. 

"Eh, ralat! Gak terima gue!"

"Oh, iya, lu kan cowok, ya, Ken?"

"Astaga, walaupun penampilan gue kayak cowok, 100% gue cari yang batangan," candanya.

"Yee ... hape kali batangan. Udahlah, gue mau ambil tas."

"Gue ikut!!!" Berlari mengejar Andri. 

*** 

Kali ini Rudi menemui Bram di kantornya, dengan mobil berwarna hitam ia diantarkan oleh sopir pribadi. 

"Silakan, Pak," ujar sang sopir yang membukakan pintu. Rudi merapikan jas dan berlalu begitu saja.

Ia berjalan dalam koridor kampus, di mana begitu banyak pekerja yang beraktivitas saat itu. Bahkan, perusahaannya teramat besar. 

Tidak sia-sia aku memiliki sahabat seperti Bram, yaa ... walaupun ucapannya sering menyakitiku, batin Rudi. 

"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis kantor. 

"Saya mau bertemu dengan Bram."

"Apakah sudah ada janji sebelumnya?"

Ah, buat janji segala. Dia kan mau menjadi menantuku, batinnya dengan bibir tersungging. 

"Sudah, boleh antar saya ke ruangannya?"

"Boleh, Pak. Tapi tunggu dulu, baru saja Pak Bram menerima tamu."

"Ya sudah, saya tunggu di depan ruangannya saja karena ada hal penting yang saya hendak bicarakan."

"Baiklah, kalau begitu. Security! Tolong antar Pak Rudi ke depan ruangan Pak Bram," ujar resepsionis memanggil security

Rudi di antar oleh security kantor. Mereka menaiki lift.
Lift itu terhenti ketika menunjukkan di angka delapan. 

"Mari, Pak," ajak securty itu. 

Bram mengangguk kemudian berjalan mengikuti security itu. 

"Ini ruangannya, Pak."

"Terima kasih."

"Apakah ada yang dapat saya bantu lagi?" tanya security sebelum ia pergi. 

"Tidak, terima kasih." 

Rudi duduk di samping ruang kerja Bram. Sudah satu jam menunggu yang membuatnya bosan. Rudi akhirnya mendorong pintu ruang kerja Bram setelah beberapa saat batinnya berperang antara membuka pintu atau menunggu. 

Pintu terbuka. 

Sepasang mata Rudi membulat. "Bram!" ujarnya ketika tangan itu masih memegang handle pintu. 

"Rudi?" Ekspresi yang tidak kalah kaget, terlihat di wajah pria dewasa yang hendak menjadi suami dari putrinya. 

Rudi melihat seorang perempuan yang sedang duduk di pangkuan Bram, bukan hanya itu, gadis itu melingkarkan tangannya pada tengkuk Bran dengan tatapan menggoda. Gadis itu sedikit heran ketika melihat Rudi yang datang secara tiba-tiba. 

"Apa yang kau lakukan, hah?!"

Gadis itu pun turun dari pangkuan Bram. Ia sedikit menjauh dari Bram. 

"Siapa yang menyuruh anda masuk?" tanya Bram mengalihkan pembicaraan. "Resepsionisku?"

"Bukan, aku sendiri yang menerobos masuk. Apa yang sedang kalian lakukan, han?"

Bruk! 
Rudi menggebruk meja Bram. 

"Kalian berbuat m*sum di kantor, hah?" Rudi menatap tajam. "Tidak tahu malu!!!" gertaknya. 

Bram menyunggingkan senyum sinisnya pada Rudi. "Lebih tidak tahu malu mana antara aku dan seorang ayah yang tega menjual putrinya padaku?"

Hati Rudi bak diiris sembilu kala mendengar ucapan Bram yang benar-benar menyakitinya. 

"Aku ingin menjodohkannya denganmu bukan menjualnya!"

Bram berdecih. "Cih! Menjodohkan dengan meminta uang tiga kali lipat yang anda ambil dalam rekeningku?" 

Wajah Rudi yang merah karena amarah, kini berubah memerah karena malu, ternyata aksinya dengan sang istri diketahui oleh Bram. 

"Da-dari mana kau tau?"

"Apa yang tidak kutahu? Anda mengalami kebangkrutan saja, aku sudah tau sebelum anda berniat menjual putrimu padaku," ledek Bram. 

Sementara perempuan yang tadi, sedikit deni sedikit menjauh dari perdebatan antara dua pengusaha yang sama-sama sukses. 

"Apa kau bilang, hah?" Rudi memegang kerah kemeja Bram. 

"Bukankah kenyataan kalau anda menjualnya padaku?" Bram menyeringai. 

"Laki-laki b*jingan! Beraninya kau bicara seperti itu, sedangkan kau sendiri lelaki bejat yang tidur dengan banyak perempuan! Kalau begitu saya batalkan saja perjodohannya!"

"Oh ... silakan, asal kembalikan uangku sepuluh kali lipat!" tegasnya dengan sorot mata tajam. 

"Pemeras! Aku tidak mengambil uangmu sebanyak itu penjahat!"

"Haha ... siapa yang penjahat? Bukannya anda lebih penjahat dari saya? Mengambil uang lebih dari orang lain, bukannya itu merupakan tidak kriminal?"

Rudi terdiam. 

"Bersiap-siaplah kalau tidak memberikan putri anda padaku. Anda akan kujebloskan ke penjara!" ucapnya dengan telunjuk mengarah ke wajah Rudi. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status