Share

Istri Yang Tersakiti
Istri Yang Tersakiti
Author: Nona Kirei

Lulus Sekolah

Author: Nona Kirei
last update Last Updated: 2021-04-26 11:05:48
"Makasih, ya, Dit?" ujar Naila pada Radit di depan gerbang rumahnya.

"Iya, sama-sama," jawabnya dengan seulas senyum. "Masuk, gih. Katanya sudah tidak sabar ingin memberitahu raport pada Ayahmu," titahnya sembari mengacak pelan rambut Naila. 

Naila tersenyum. 

"Baiklah." Naila membalikan badan. 

"Nai!" Radit memanggil. 

"Apa?" jawabnya tanpa menoleh. 

"Sini, lihat aku dulu," pinta Radit. 

Naila pun menoleh. 

"Aku sayang kamu, Nai. Bye!" 

Radit melesat dengan sepeda motornya. Hal itu yang membuat Naila tersenyum karena itu sudah menjadi kebiasaan radit mengutarakan perasaannya pada Naila dan hal itu juga yang membuat Naila tersenyum. Sepele memang, hanya dengan bersikap seperti itu tetapj menurut Naila hal itu sungguh manis dan bisa membuat hatinya senang. Naila pun melangkah menuju rumah.

     Siang itu sepertinya hari yang nahas untuk Naila, gadis belia berparas cantik yang terkenal pintar di sekolahnya. Momen yang seharusnya membahagiakan karena ia dinyatakan lulus sekolah dengan nilai terbaik, hanya sekejap saja berubah menjadi memilukan.

"Ay--" Kata Naila terhenti kala ia melihat kedua orang tuanya sedang membicarakan sesuatu. 

Naila masih menunggu di depan 

pintu dengan raport yang masih ada ditangannya.

"Mas, kamu jodohkan saja anakmu dengan Bram," Ucap Riyanti, ibu tiri dari Naila. 

"Bram? Bram yang mana?" tanya ayah Naila. 

"Itu loh, rekan bisnismu."

"Bram--Baramantyo? Yang duda itu?"

"Entah, aku hanya mengenalnya sekilas ketika kamu mengajakku makan malam bersama tempo hari. "

"Baiklah, akan kucoba. Semoga saja Bram mau meminang Naila," ujar ayah Naila. 

Apa? Batin Naila kala mengetahui bahwa dirinya akan di jodohkan. 

Bulir bening terjatuh di pipinya, hari bahagia itu kini menjadi memilukan untuknya. Bagaimana tidak, masa muda yang harusnya ia nikmati dengan teman-temannya dengan seketika harus ia relakan untuk mengutamakan kewajibannya, yaitu suami. 

Tidak-tidak, batin Naila. 

Buku raport itu terjatuh di depan pintu, ia berlari menuju pusara sang Ibu yang sudah tiga tahun pergi meninggalkannya. Ia menangis di depan pusara sang Ibu,  mencurahkan semua perasaan yang teramat menyakitkan. 

"Bu, Nai kurang apa coba sama Ayah?" ujar Naila di depan batu nisan ibunya. "Naila sudah mengizinkan Ayah untuk menikah lagi, menerima Tante Riyanti menjadi ibu pengganti untuk Nai, patuh ketika mereka menyuruh. Masa iya, Nai harus kembali mematuhi perintah Ayah? Nai gak bisa, bu. Nai sudah punya kekasih yang baik di mata Nai!" 

Naila mengadu di depan nisan ibunya. Ia tidak terima mendengar keputusan dari ayah dan juga ibu tirinya. Air mata itu terus tertumpah, rasa sakit yang bertubi-tubi telah menghampiri hidupnya sepeninggal sang ibu, tiga tahun lalu. 

Hingga tidak terasa, waktu telah menjelang senja. Naila bangkit dari hadapan pusara itu kemudian melangkah dan berharap ayahnya akan merubah rencana untuk menjodohkannya dengan rekan bisnisnya.

"Assalamulaikum...." Suara Naila pelan. 

"Waalaikumsalam, Nai. Sini, masuk, " ujar Rudi, ayah dari Naila dengan suara lembut. 

Nailah melangkah, ia duduk di samping sang ayah. Sedangkan ibu tirinya entah berada di mana. 

"Nilaimu bagus, Nai. Kamu mau meneruskan kuliah di mana?" tanya sang ayah pada putrinya. 

Naila merasa bingung sekaligus senang karena ayahnya membahas tentang kuliah, bukan tentang perjodohannya. 

Ah, sepertinya aku salah menilai ayah. Mana mungkin, ayah tega menjodohkanku dengan rekan bisnisnya? Buktinya sekarang ayah malah membahas masalah kuliah dan tante Riyanti pun, tidak ada di sini. Sepertinya mereka bertengkar karena ayah lebih memilih untuk membiarkanku kuliah, bukan malah menjodohkanku. Batin Naila. 

"Sayang, kok malah melamun?" 

"Eh, iya Ayah. Maaf, Nai senang Ayah membicarakan tentang kuliah. Nai ingin kuliah di kampus favorit di kota ini, Yah," ucap Naila menggebu, mengutarakan keinginannya untuk meneruskan kuliah. 

"Baiklah, apa yang tidak untuk putri Ayah?" ujar Rudi sambil mengusap pucuk kepala sang putri. 

Aaahhh... tuh, kan. Ayah tidak sejahat yang aku pikir, batin Naila. 

Ia merasa senang, bahkan teramat senang saat itu. 

"Tapi--" ucap Rudi terhenti. 

"Tapi apa, Yah?" Jawab Naila dengan mata yang masih berbinar. 

"Tapi kamu harus mau dijodohkan dengan rekan bisnis Ayah," pintanya. 

Seketika, keceriaan Naila kini berubah. Binar mata itu kini berubah menjadi embun yang pada detik itu juga bisa menetes kala ia berkedip. 

"Apa?" Terlontar dari bibir Naila. 

"Dengan terpaksa, Ayah harus menjodohkanmu dengan Bram, rekan bisnis Ayah. Karena dialah yang bisa membantu ayah saat ini."

"Maksud Ayah? Maksud Ayah bagaimana?" Naila masih meminta kejelasan dan berharap semua prasangkanya itu salah. 

"Bisnis Ayah kini di ujung tanduk. Ayah tidak dapat berbuat apa-apa selain menjodohkanmu dengan Bram, karena hanya dia yang dapat membantu Ayah saat ini. Ayah mohon, Nak. Tolong Ayah," ujar Rudi sambil memegang kedua pipi Naila dengan tatapan mata sedih.

Hal itu membuat Naila merasa kasihan pada Rudi, walau bagaimanapun, ia merupakan seorang ayah baginya. 

"Tapi, Yah. Naila masih boleh kuliah, kan?"

Rudi mengangguk. 

"Baiklah, Nai nurut sama Ayah," lirih Naila kemudian merunduk. Hatinya kini semakin hancur. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bulir air mata menetes, dengan cepat Naila menyeka air itu.

Sungguh, Naila itu gadis yang baik. Sehingga ia merelakan dirinya dijodohkan dengan lelaki yang belum pernah ia kenal, bahkan namanya pun baru mendengar saat itu. 

"Kalau begitu, Naila ke kamar, ya, Yah?" pamit Naila yang kemudian bangkit dari sofa. 

Ia berjalan menapaki anak tangga, rasa yang tidak karuan kini berselimut di hati dan pikirannya. Bagaimana tidak, ia telah memiliki kekasih tetapi harus menerima perjodohan untuk menyelamatkan perusahaan Ayahnya. 

Bodoh? Mungkin untuk sebagian orang berpikir kalau Naila itu bodoh. Kenapa tidak lari saja dan menikah dengan kekasihnya? Hal itu tidak ia lakukan karena baktinya pada sang ayah yang akhirnya ia memutuskan untuk menerima semua keadaan. 

Naila membaringkan tubuhnya di ranjang, matanya kini menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. 

"Apa aku salah mengambil keputusan ini?"

"Padahal, bisa saja aku kabur dari rumah. Tetapi, bagiku hal itu bukan menjadi keputusan yang bijak. Manamungkin aku menikah tanpa restu dari Ayah?"

Naila masih bergumam di tempat tidur. Pikiran dan hatinya kini saling bersahutan. Dimana hati menolak tetapi pikirannya memaksa untuk menerima semua keadaan. 

Ponsel yang ada di sampingnya bergetar, lampu layarnya pun kini terlihat terang dan tertulis nama Radit yang muncul di layar ponselnya. 

Radit calling..

"Radit?" ujar Naila ketika ia membaca sebuah nama dalam ponselnya.

Naila pun menggeser kunci yang tertera pada layar ponsel, ia mengangkat telepon dari kekasihnya.

"Halo, Dit?" 

"Hai, Nai. Bisakah esok kita bertemu?" 

"Boleh, di mana?"

"Di taman biasa kita menikmati indahnya kebersamaan."

"Baiklah."

"Aku tunggu jam sepuluh pagi, ya?" ujar Radit yang mengakhiri percakapannya dalam telepon. 

Hati Naila kini bimbang ketika menerima telepon dari Radit. Batinnya berontak saat itu. 

"Aku tidak mau kehilangan Radit tetapi bagaimana dengan perusahaan Ayah nanti?" gumamnya ketika ia duduk di tempat tidur. 

Ia melangkah menuruni ranjangnya kemudian mendekati jendela. Sepasang mata indah itu melihat ke depan pintu gerbang. Dimana selalu ada Radit yang selalu menjemputnya di samping gebang dengan motornya. Yaa, walau dengan sembunyi-sembunyi. Karena hubungan mereka tidak direstui oleh Rudi, terlebih Riyanti yang menentang kedekatan mereka. 

"Akankah saat-saat itu masih bisa terulang, Dit?" Naila bergumam dengan air mata menetes di pipinya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Tersakiti   Ranjang Membara

    "Halo Pak, saya ingin membuat laporan. Tolong tangkap orang ini yang sudah melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan terhadap istri saya. Posisi kami ada di Jalan Kenanga nomor 30," ujar Bram dalam sambungan ponselnya. Ponsel itu kemudian ditutup dan Bram meletakkan ponselnya di meja, tepatnya ada di samping Naila. Bram mengusap lembut pucuk kepala sang istri, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyesal. Menyesal karena dia tidak mempercayai ucapan dari istrinya, dia terlalu percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Naila masih terdiam, Bram menggendong tubuh gadis itu kemudian memasukannya dalam mobil. Cukup lama Bram menunggu pihak polisi datang. Hingga akhirnya satu mobil bersirine lengkap dengan beberapa lelaki berpakaian gagah keluar dari mobil. "Siang, Pak. Apa Bapak yang tadi mengisi laporan dalam sambungan telepon?" ujar salah seorang dari mobil bers

  • Istri Yang Tersakiti   Trauma

    Bel rumah berbunyi.Asisten rumah tangganya pun segera berlari ke pintu depan. Di rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangga Bram. Sedangkan Naila dan sopir pribadinya sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk menemui Bram.Pintu terbuka.Mata asisten rumah tangga itu membulat, seperti terhipnotis dirinya hanya mematung dan untuk mengucap satu kata pun bibirnya terasa kelu."Bibi kenapa?" ujar Bram sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah asisten rumah tangganya."Tu-tuan Bram?" katanya dengan nada terbata."Iya, ini saya, Bram. Bibi kenapa, sih? Seperti melihat setan saja," ujar Bram yang merasa heran ketika melihat asistennya."Bu-bukannya Tu-Tuan Bram Kecela-kaan?" kata yang semakin terbata terucap dari bibir pembantunya."Wh

  • Istri Yang Tersakiti   Kecelakaan

    Timbul kecemasan pada Naila karena hingga jam sebelas siang, suaminya belum juga pulang. Dia mulai menghubungi Bram tapi sayang ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Tiba-tiba saja Naila mendengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah yang luas dengan rumput yang hijau. Wanita itu berlari ke arah jendela, dia melihat kalau suaminya sudah sampai di rumah. Dengan perasaan senang, gadis itu meraih cincin yang ada dalam sebuah kotak merah, kemudian berlari untuk menemui Bram. "Om Bram?" sapa Naila dengan senyum manis dan binar mata bahagia. "Kenapa kamu?" tanya Bram ketus. "Mari, kita makan, Om. Pasti Om Bram belum sarapan, kan?" Naila masih bersikap manis walau Bram masih ketus dan sombong. Lelaki itu pun berjalan berdampingan denga

  • Istri Yang Tersakiti   Club Malam

    Bram menghabiskan malam di club, kerlap-kerlip lampu dalam ruangan gelap memberikan kesan ceria walau tidak dengan hatinya. Dentum musik yang kuat mengalihkan perasaan Bram yang kini telah kalut. Dia masih mengira kalau Naila berselingkuh, sama seperti mantan kekasihnya.Satu gelas minuman beralkohol larut membasahi kerongkongannya yang haus karena luapan emosi yang mendalam. Gelas demi gelas alkohol kini telah menguasai tubuh dan pikirannya. Bram kini sudah tidak sadarkan diri, bahkan ketika club hendak tutup, Bram masih sulit untuk meninggalkan tempat itu, walaupun beberapa kali pelayan di sana telah menyuruhnya pulang."Rese banget sih, ni orang!" keluh salah satu pelayan club."Sabar, dia memang sering seperti ini. Kita coba tunggu saja dulu sambil menunggu waktu tutup club," ujar pelayan yang sudah mengetahui kebiasaan Bram.Mereka tidak berani kasar terhadap Bram, karena lelaki in

  • Istri Yang Tersakiti   Masa Lalu

    "Kenapa aku di sini?"Naila yang heran ketika dia terbangun sudah ada di tempat tidur. Matahari pun telah bersinar cerah, tetapi tidak dengan Naila. Gadis itu belum menjelaskan inti permasalahan itu pada suaminya.Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan terlihat sesosok pria bermata elang. Sorot mata tajam yang terkadang membuat Naila merasa takut. "Om Bram?" gumamnya kala lelaki itu mendekatinya."Apa yang kamu mau katakan padaku? Hingga kamu rela tidur terduduk di sofa seperti itu, hah?" tanya Bram yang kini duduk di tepi ranjang."Em, itu--masalah kemarin, Om salah paham," ujar Naila."Salah paham gimana?""Sebenarnya aku--" Kata itu terputus saat dering ponsel Bram berbunyi."Sebentar," ujar lelaki itu kemudian meraih ponsel yang ada di nakas.

  • Istri Yang Tersakiti   Salah Paham

    Baru juga beberapa detik Bram menyaksikan tangan Naila digenggam laki-laki lain, dia sudah terbakar cemburu. Dia langsung tancap gas, melesat meninggalkan Naila."Aargghh! Sialan! Ternyata kelakuan dia seperti itu di belakangku!" umpatnya sambil memukul stir mobil, "sial, sial, siaaall!!!"Dengan kecepatan tinggi, Bram melesatkan mobilnya menuju rumah. Hatinya sungguh geram ketika melihat Naila. Baru digenggam saja, Bram sudah marah seperti itu. Bagaimana kalau dirinya menjadi Naila? Bram tidak berpikir kalau dirinya pun bersikap seperti itu, bahkan sangat jauh dari itu. Bram sudah tidur dengan perempuan lain dan bukan hanya satu. Apa dia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai Naila?Sesampainya di apartemen, Bram langsung masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan kasar. Tubuh jangkungnya kini sudah terhempas di ranjang. "Aarrgghhhh!"Bram berusaha memejamkan mata, tetapi lelaki itu tidak dapat tidur. Bagaimana bisa, yang ada dalam pikira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status