Share

Istri Yang Tersakiti
Istri Yang Tersakiti
Penulis: Nona Kirei

Lulus Sekolah

"Makasih, ya, Dit?" ujar Naila pada Radit di depan gerbang rumahnya.

"Iya, sama-sama," jawabnya dengan seulas senyum. "Masuk, gih. Katanya sudah tidak sabar ingin memberitahu raport pada Ayahmu," titahnya sembari mengacak pelan rambut Naila. 

Naila tersenyum. 

"Baiklah." Naila membalikan badan. 

"Nai!" Radit memanggil. 

"Apa?" jawabnya tanpa menoleh. 

"Sini, lihat aku dulu," pinta Radit. 

Naila pun menoleh. 

"Aku sayang kamu, Nai. Bye!" 

Radit melesat dengan sepeda motornya. Hal itu yang membuat Naila tersenyum karena itu sudah menjadi kebiasaan radit mengutarakan perasaannya pada Naila dan hal itu juga yang membuat Naila tersenyum. Sepele memang, hanya dengan bersikap seperti itu tetapj menurut Naila hal itu sungguh manis dan bisa membuat hatinya senang. Naila pun melangkah menuju rumah.

     Siang itu sepertinya hari yang nahas untuk Naila, gadis belia berparas cantik yang terkenal pintar di sekolahnya. Momen yang seharusnya membahagiakan karena ia dinyatakan lulus sekolah dengan nilai terbaik, hanya sekejap saja berubah menjadi memilukan.

"Ay--" Kata Naila terhenti kala ia melihat kedua orang tuanya sedang membicarakan sesuatu. 

Naila masih menunggu di depan 

pintu dengan raport yang masih ada ditangannya.

"Mas, kamu jodohkan saja anakmu dengan Bram," Ucap Riyanti, ibu tiri dari Naila. 

"Bram? Bram yang mana?" tanya ayah Naila. 

"Itu loh, rekan bisnismu."

"Bram--Baramantyo? Yang duda itu?"

"Entah, aku hanya mengenalnya sekilas ketika kamu mengajakku makan malam bersama tempo hari. "

"Baiklah, akan kucoba. Semoga saja Bram mau meminang Naila," ujar ayah Naila. 

Apa? Batin Naila kala mengetahui bahwa dirinya akan di jodohkan. 

Bulir bening terjatuh di pipinya, hari bahagia itu kini menjadi memilukan untuknya. Bagaimana tidak, masa muda yang harusnya ia nikmati dengan teman-temannya dengan seketika harus ia relakan untuk mengutamakan kewajibannya, yaitu suami. 

Tidak-tidak, batin Naila. 

Buku raport itu terjatuh di depan pintu, ia berlari menuju pusara sang Ibu yang sudah tiga tahun pergi meninggalkannya. Ia menangis di depan pusara sang Ibu,  mencurahkan semua perasaan yang teramat menyakitkan. 

"Bu, Nai kurang apa coba sama Ayah?" ujar Naila di depan batu nisan ibunya. "Naila sudah mengizinkan Ayah untuk menikah lagi, menerima Tante Riyanti menjadi ibu pengganti untuk Nai, patuh ketika mereka menyuruh. Masa iya, Nai harus kembali mematuhi perintah Ayah? Nai gak bisa, bu. Nai sudah punya kekasih yang baik di mata Nai!" 

Naila mengadu di depan nisan ibunya. Ia tidak terima mendengar keputusan dari ayah dan juga ibu tirinya. Air mata itu terus tertumpah, rasa sakit yang bertubi-tubi telah menghampiri hidupnya sepeninggal sang ibu, tiga tahun lalu. 

Hingga tidak terasa, waktu telah menjelang senja. Naila bangkit dari hadapan pusara itu kemudian melangkah dan berharap ayahnya akan merubah rencana untuk menjodohkannya dengan rekan bisnisnya.

"Assalamulaikum...." Suara Naila pelan. 

"Waalaikumsalam, Nai. Sini, masuk, " ujar Rudi, ayah dari Naila dengan suara lembut. 

Nailah melangkah, ia duduk di samping sang ayah. Sedangkan ibu tirinya entah berada di mana. 

"Nilaimu bagus, Nai. Kamu mau meneruskan kuliah di mana?" tanya sang ayah pada putrinya. 

Naila merasa bingung sekaligus senang karena ayahnya membahas tentang kuliah, bukan tentang perjodohannya. 

Ah, sepertinya aku salah menilai ayah. Mana mungkin, ayah tega menjodohkanku dengan rekan bisnisnya? Buktinya sekarang ayah malah membahas masalah kuliah dan tante Riyanti pun, tidak ada di sini. Sepertinya mereka bertengkar karena ayah lebih memilih untuk membiarkanku kuliah, bukan malah menjodohkanku. Batin Naila. 

"Sayang, kok malah melamun?" 

"Eh, iya Ayah. Maaf, Nai senang Ayah membicarakan tentang kuliah. Nai ingin kuliah di kampus favorit di kota ini, Yah," ucap Naila menggebu, mengutarakan keinginannya untuk meneruskan kuliah. 

"Baiklah, apa yang tidak untuk putri Ayah?" ujar Rudi sambil mengusap pucuk kepala sang putri. 

Aaahhh... tuh, kan. Ayah tidak sejahat yang aku pikir, batin Naila. 

Ia merasa senang, bahkan teramat senang saat itu. 

"Tapi--" ucap Rudi terhenti. 

"Tapi apa, Yah?" Jawab Naila dengan mata yang masih berbinar. 

"Tapi kamu harus mau dijodohkan dengan rekan bisnis Ayah," pintanya. 

Seketika, keceriaan Naila kini berubah. Binar mata itu kini berubah menjadi embun yang pada detik itu juga bisa menetes kala ia berkedip. 

"Apa?" Terlontar dari bibir Naila. 

"Dengan terpaksa, Ayah harus menjodohkanmu dengan Bram, rekan bisnis Ayah. Karena dialah yang bisa membantu ayah saat ini."

"Maksud Ayah? Maksud Ayah bagaimana?" Naila masih meminta kejelasan dan berharap semua prasangkanya itu salah. 

"Bisnis Ayah kini di ujung tanduk. Ayah tidak dapat berbuat apa-apa selain menjodohkanmu dengan Bram, karena hanya dia yang dapat membantu Ayah saat ini. Ayah mohon, Nak. Tolong Ayah," ujar Rudi sambil memegang kedua pipi Naila dengan tatapan mata sedih.

Hal itu membuat Naila merasa kasihan pada Rudi, walau bagaimanapun, ia merupakan seorang ayah baginya. 

"Tapi, Yah. Naila masih boleh kuliah, kan?"

Rudi mengangguk. 

"Baiklah, Nai nurut sama Ayah," lirih Naila kemudian merunduk. Hatinya kini semakin hancur. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bulir air mata menetes, dengan cepat Naila menyeka air itu.

Sungguh, Naila itu gadis yang baik. Sehingga ia merelakan dirinya dijodohkan dengan lelaki yang belum pernah ia kenal, bahkan namanya pun baru mendengar saat itu. 

"Kalau begitu, Naila ke kamar, ya, Yah?" pamit Naila yang kemudian bangkit dari sofa. 

Ia berjalan menapaki anak tangga, rasa yang tidak karuan kini berselimut di hati dan pikirannya. Bagaimana tidak, ia telah memiliki kekasih tetapi harus menerima perjodohan untuk menyelamatkan perusahaan Ayahnya. 

Bodoh? Mungkin untuk sebagian orang berpikir kalau Naila itu bodoh. Kenapa tidak lari saja dan menikah dengan kekasihnya? Hal itu tidak ia lakukan karena baktinya pada sang ayah yang akhirnya ia memutuskan untuk menerima semua keadaan. 

Naila membaringkan tubuhnya di ranjang, matanya kini menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. 

"Apa aku salah mengambil keputusan ini?"

"Padahal, bisa saja aku kabur dari rumah. Tetapi, bagiku hal itu bukan menjadi keputusan yang bijak. Manamungkin aku menikah tanpa restu dari Ayah?"

Naila masih bergumam di tempat tidur. Pikiran dan hatinya kini saling bersahutan. Dimana hati menolak tetapi pikirannya memaksa untuk menerima semua keadaan. 

Ponsel yang ada di sampingnya bergetar, lampu layarnya pun kini terlihat terang dan tertulis nama Radit yang muncul di layar ponselnya. 

Radit calling..

"Radit?" ujar Naila ketika ia membaca sebuah nama dalam ponselnya.

Naila pun menggeser kunci yang tertera pada layar ponsel, ia mengangkat telepon dari kekasihnya.

"Halo, Dit?" 

"Hai, Nai. Bisakah esok kita bertemu?" 

"Boleh, di mana?"

"Di taman biasa kita menikmati indahnya kebersamaan."

"Baiklah."

"Aku tunggu jam sepuluh pagi, ya?" ujar Radit yang mengakhiri percakapannya dalam telepon. 

Hati Naila kini bimbang ketika menerima telepon dari Radit. Batinnya berontak saat itu. 

"Aku tidak mau kehilangan Radit tetapi bagaimana dengan perusahaan Ayah nanti?" gumamnya ketika ia duduk di tempat tidur. 

Ia melangkah menuruni ranjangnya kemudian mendekati jendela. Sepasang mata indah itu melihat ke depan pintu gerbang. Dimana selalu ada Radit yang selalu menjemputnya di samping gebang dengan motornya. Yaa, walau dengan sembunyi-sembunyi. Karena hubungan mereka tidak direstui oleh Rudi, terlebih Riyanti yang menentang kedekatan mereka. 

"Akankah saat-saat itu masih bisa terulang, Dit?" Naila bergumam dengan air mata menetes di pipinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status