Share

Merasa Sendiri

Rudi pulang dengan amarah meluap-luap. Ia masih sakit hati atas perlakuan Bram padanya tanpa bisa membalas. Sakit. 
Tangannya masih mengepal, bahkan sesekali ia pukulkan pada jok mobil. 

"Ah, sialan!" pekiknya dengan raut wajah memerah penuh emosi. 

Sopirnya hanya diam, ia lebih fokus pada kendali setir walau sesekali melihat majikannya dari kaca spion dalam. Tak dimungkiri ada perasaan ingin tahu kenapa saat ini sang majikan bisa semarah itu. 

"Kita ke rumah atau ke kantor, Tuan?" tanyanya walau sedikit ragu karena masih ada waktu setengah jam di kantor tersebut. 

"Langsung pulang saja!" ketusnya. 

"Baik."

Tidak ada lagi percakapan dalam mobil hanya terlihat kekakuan atara sopir dengan majikannya. Roda mobil terus berputar, hingga akhirnya telah sampai di halaman yang luas dan rumah yang berdiri megah. 

Rudi melangkah masih dengan kemarahannya, berjalan cepat kemudian membanting pintu yang membuat Riyanti kaget ketika ia sedang berselancar dengan ponselnya. 

"Mas kenapa?" Riyanti bertanya kemudian langsung bangkit dari sofa, ia menghampiri suaminya yang terlihat lusuh dengan bibir yang ditekuk kaku. 

"Bram b*ngsat! Bisa-bisanya dia mengancamku!" Suara itu menggelegar terdengar dalam rumah besarnya.

"Sabar, duduk dulu, yuk." Riyanti membujuknya dengan cara yang halus. 

Riyanti memang begitu pandai merayu hati Rudi. Bagaimana tidak, Rudi hingga jatuh ke pelukannya karena perhatian yang luar biasa dari Riyanti. 

"Tunggu sebentar, ya?" pesannya. 

Riyanti melenggang ke dapur, ia membuatkan teh manis hangat untuk suaminya. 

"Ini, Mas. Minum dulu, biar lebih relaks." Satu cangkir teh manis hangat ia berikan pada Rudi. 

Rudi meraihnya tanpa ada kata, ia meminum teh itu dengan relaks seperti yang istrinya suruh. Riyanti mulai memperhatikan raut wajah suaminya yang mulai mengendur emosinya. 

"Sudah dapat bercerita?" 

Rudi mengempaskan napasnya perlahan. Ia mulai memejamkan mata, kemudian membukanya perlahan. 

"Aku kecewa pada Bram."

"Kenapa?"

"Aku memergoki dia bersama wanita lain."

"Ya Tuhan, Mas. Kan itu sudah biasa dia lakukan sejak bercerai dengan istrinya dulu. Mungkin dia memerlukan kehangatan."

"Aku tau, tapi masalahnya dia akan menjadi suami anakku tetapi sikapnya masih seperti itu!"

"Hei, Mas lupa? Bram itu memandang Mas seperti menjual anak sendiri."

Hati Rudi bertambah sakit karena istrinya pun, seolah membenarkan ucapan Bram. 

"Ah, kalian sama saja!" Rudi bangkit dari sofa kemudian berjalan cepat menuju kamar. 

"Mas, tunggu, Mas Rudi!" Riyanti mengikuti suaminya. 

Sesampainya dalam kamar, Rudi terlihat membaringkan tubuhnya untuk menurunkan emosi yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Hanya hawa panas yang ia rasakan saat itu. 

"Mas," sapa Riyanti yang mengusap punggung suaminya. "Bukan maksud aku membenarkan Bram, posisi kita memang sedang sulit, kan? Lalu, keputusan Mas Rudi bagaimana?"

Rudi duduk kemudian bersandar pada dipan ranjang. Rudi terlihat menarik napas perlahan kemudian mengempaskannya perlahan. 

"Aku emosi karena Rudi mengetahui perbuatan kita yang mengambil uangnya sebanyak tiga kali lipat. Ia meminta dikembalikan sepuluh kali lipat kalau aku ingin membatalkan perjodohan Naila."

"Astaga, maafin aku, Mas."

"Sudah terlanjur, aku tidak bisa berbuat apa-apa, lagian setengah dari uang itu pun sudah raip. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu? Sementara di kantor saja masih naik turun pemasukannya."

Tiba-tiba saja ponsel yang ada dalam saku celana Rudi bergetar, ia merogoh posel itu kemudian menggeser layar itu. 

"Aku ingin pernikahannya dipercepat, kukasih waktu 3 hari, kalau sampai tiga hari anda tidak bisa mengabulkannya, mohon maaf aku akan melaporkan tindakan anda bersama sang istri pada pihak yang berwajib!" terang Bram melalui ponsel. 

"B*jingan!! Kau benar-benar bajingan, Bram!" maki Rudi.

"Sampai jumpa di hari pernikahan kami, Papa mertua." Bram tertawa dalam ponsel kemudian menutupnya setelah ia puas menertawakan Rudi yang ia yakini tidak akan bisa berbuat apa-apa selain menikahkan putri mereka padanya.

Rudi membanting ponselnya di atas ranjang. Kedua tangan itu kini memegang kepala yang terasa sakit karena tekanan dari Bram. 

"Maafkan Ayah, Nai. Maafkan Ayah," lirih Rudi sambil menutup wajahnya sendiri. 

Riyanti hanya bisa mengusap pundaknya pelan sebagai pengganti kata sabar. Rudi hanya bisa menyesali perbuatannya. 

"Tante, Ayah kenapa?" tanya Naila yang sudah ada di depan pintu kamar mereka. 

"Ayah nggak papa, Sayang," lirih Rudi berusaha menyembunyikan keadaan. 

"Tapi kenapa pipi Ayah basah? Ayah menangis, ya? Kenapa, Yah?" desak Naila pada Rudi. 

Rudi hanya menggeleng. 

"Sini kamu!" Riyanti menarik tangan Naila. 

Naila berjalan sedikit terseret karena Riyanti menarik dengan paksa dengan langkah yang cepat. 

"Riyanti, jangan!" pekik Rudi tetapi Riyanti tidak menghiraukannya. 

Sesampainya di ruang keluarga, Riyanti menceritakan semuanya tentang pernikahannya yang akan dimulai tiga hari lagi.

"Apa?" Mata Naila membulat, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibu tirinya. "Enggak, enggak mungkin! Masa tiba-tiba saja menikah? Jangankan pertunangan, perkenalan pun belum pernah terjadi. Apalagi pernikahan? Nai gak mau Tante!"

"Tapi kamu harus mau, Nai. Kalau tidak, perusahaan Ayahmu terpaksa harus ditutup untuk melunasi hutangnya pada Bram!"

"Astaga, kok Naila merasa dijual oleh kalian? Kalian semua tega sama Naila!!!" pekik Naila.

Naila berlari meninggalkan Riyanti. 

"Nai! Nailaa, tunggu!!!" pekik Riyanti yang tidak dihiraukan oleh Naila. 

Naila menaiki mobil merahnya ia terpaksa memacu mobilnya sendiri.

"Non! Non Naila!!" Asep memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu mobil. "Non mau ke mana? Biar Mamang antar, jangan nyetir sendiri,  Non. Bahaya!" Asep terus berucap dengan tangan yang terus menggedor kaca mobil Naila. 

Namun, Naila tidak mendengarkan ucapan Asep. Ia terus membunyikan klakson mobil, setelah pintu gerbang terbuka, mobil itu pun melesat dengan kecepatan tinggi. 

"Non Naila!!!" 

Kini mobil yang dikendarai Naila telah menghilang dari pandangan Asep. 

"Non Naila kenapa, Mang?" tanya security rumah. 

"Entah, Mamang juga tidak tau. Mamang hanya khawatir karena Non Naila jarang sekali mengemudikan mobil," terang Asep. 

"Naila ke mana, Sep?" tanya Rudi.

"Waduh, Asep tidak tau, Tuan. Asep sudah tanya bahkan menggedor kaca pintu mobilnya Non Naila tetapi tidak dijawab hingga mobil itu dipacu dengan kecepatan tinggi oleh Non Naila."

"Aarrgghhh! Naila!!!" pekik Rudi. "Antar saya mencari Naila, Sep!" pintanya pada Asep sambil memberikan kunci mobilnya. 

"Baik, Tuan. Asep keluarin dulu mobilnya."

Setelah Asep mengeluarkan mobil, Rudi buru-buru masuk ke mobil kemudian menyuruhnya untuk mencari Naila. 

*** 

Naila menangis dalam mobil, bukan karena perjodohannya tetapi ia merasa kalau Ayah begitu tega melakukan hal itu padanya.

"Kenapa Ayah seperti itu? Kenapa?" Naila beberapa kali memukul setir mobil dan bergantian menyeka air yang mengalir di pipinya. 

Hingga akhirnya mobil merah itu telah sampai di depan gerbang pemakaman. Ia berjalan melewati petakan kecil dari tanah yang ditumbuhi dengan rumput hijau yang memang sengaja di tanam pada setiap pusara. Langkah itu terhenti di depan pusara yang tertuliskan nama 'NINDI'. 

Naila terduduk ia bersimpuh di depan pusara ibu kandungnya. Ia mencengkeram kuat nisan yang ada di depannya dengan kuat, air mata itu mengalir membasahi pipi putihnya. Mata Naila pun membengkak karena terlalu banyak menumpahkan air mata. 

"Ayah tega sama, Nai, Bu...." lirihnya dengan suara menyayat hati. 

"Naila kehilangan Ibu, kehilangan Radit dan kini Naila dijual oleh Ayah pada lelaki yang belum pernah Naila lihat sebelumnya. Sakit hati Naila, Bu," lirih Naila dengan suara parau. 

"Andai Ibu masih di sini. Ibu pasti membela Naila, tapi orang-orang yang bela Nai malah pergi dari hidup Nai, Nai sedih, Bu." Naila memeluk nisan almarhum ibunya. 

Sudah lebih dari satu jam Naila duduk di depan pusara sang ibu. Rasanya enggan untuk melangkah pergi meninggalkan pusaranya. Tetapi langit sudah mendung yang sepertinya akan segera turun hujan, bahkan petir pun telah menyambar. 

"Naila pulang dulu, ya, Bu."

Naila bangkit dari pusara ibunya dan benar saja saat itu juga langit menumpahkan isi dari awan yang hitam. Air itu jatuh dengan derasnya. Naila berjalan terhuyung, ia tidak dapat berlari, kakinya terasa lemah untuk melangkah pun terasa sulit. 

Air itu kini membasahi rambut Naila dan baju yang ia kenakan walau belum semua. Naila sudah pasrah apabila tubuhnya dibasahi oleh air hujan yang cukup deras. 

"Kok berenti? Tapi kenapa di depan sana masih turun hujan?sedangkan di sini, aku tidak kebasahan."

Wajah Naila menengadah, ternyata ada payung berwarna hitam yang meneduhinya. Ia pun berbalik ke belakang. 

"Kak, Andri?" Dengan wajah kaget Naila melihat Andri yang ternyata memayunginya. 

Andri tersenyum. 

"Kenapa kamu tidak lari?" tanya Andri.

"Kakiku lemas, Kak."

"Apakah yang tadi itu pusara ibumu?"

Naila mengangguk, "Dari mana Kakak tau aku habis dari pusara?" Mata Naila menyipit. 

"Aku melihatmu berdiri di pusara sana." Andri menunjuk "Dan aku barusan melewati dan membaca tulisan di pusara itu," terangnya. 

Naila mengangguk, "Kakak sendiri dari mana?" 

"Dari pusara adikku. Ya sudah, kita cari tempat untuk berteduh karena hujan semakin deras," pinta Andri. 

Kini mereka mencari tempat berteduh. Andri dan Naila berjalan dengan satu payung yang sama. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status