Purple Tulip Grand Hotel, Manhattan City
18 Oktober 2020
01.23 AM
“Gladys? Maaf aku telah menganggumu. Ternyata kau yang memesan kamar ini?” ujar Sylvia tidak enak hati. Ia tak menyangka, bunyi pesan dari ponselnya yang menyuruh ia mendatangi kamar hotel ini telah mempertemukannya dengan saudara sepupunya.
Wanita yang membuka kamar itu kaget. Ia memandang gugup pada wanita pengetuk kamar hotel yang telah ia sewa itu bersama kekasihnya.
Sylvia memutuskan segera pergi, ia membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak berkata lagi. Bagaimanapun ia harus menjaga privasi Gladys, putri tantenya.
“Siapa yang datang, Dys?”
Sylvia tercekat, apakah ia tidak salah dengar?
Untuk sesaat, Sylvia hampir tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Tapi ia merasa yakin, itu suara suaminya.
Mata Sylvia berpaling membalikkan tubuhnya kembali.
Sylvia hampir tidak percaya pada pandangan menyakitkan di depan matanya.
"Reynold! K—kalian?!”
Lelaki yang terbaring di kamar menghadap televisi itu tak kalah kaget, tubuh tanpa busana itu hanya ditutupi selimut. Ia blingsatan, dengan cepat menyambar celana dalam kemudian tangannya meraih dengan terburu-buru celana pendek yang hanya tergeletak di lantai. Wajah lelaki itu memerah, malu tak tertahankan. Dirinya dikuasai rasa bersalah. Ia segera menghampiri ibu dari anak gadis kecilnya.
Gladys memandang mereka berdua bergantian, sepertinya ia terlihat menikmati kecanggungan lelaki yang beberapa minggu ini telah banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Pemandangan yang membuat dada Sylvia seakan dipukul godam yang telah meremukkan semua tulang dan persendiannya.
Kepercayaan yang Sylvia bangun selama ini kepada suaminya terjun pada titik terendah. Dan yang membuat ia berang kenapa bukan wanita lain? Kenapa harus dengan sepupunya?
Tubuh Sylvia bergetar menahan marah. “Kalian, kurang ajar!”
Kata-kata itu keluar dari bibirnya sebagai refleksi kemurkaan tak terhingga menerima penghianatan ini.
Tanpa memberikan penjelasan, Gladys menatap Sylvia tanpa ekspresi. Tapi dari mata itu sungguh tersirat kelicikan. Apa yang ia rencanakan telah berhasil. Ikan besar telah memakan umpannya. Permainan baru saja dimulai.
Ia memanfaatkan waktu secermat mungkin. Saat Reynold mandi tadi, Gladys telah mengirim pesan singkat pada istri kekasihnya menggunakan nomer asing, agar wanita yang dinikahi lelaki yang sering bercinta dengannya itu datang ke kamar hotel ini.
Ujung bibir Gladys membentuk sebuah senyum tipis yang ia sembunyikan saat memalingkan sedikit wajahnya ke arah samping.
“Jangan terbawa emosi, Sylvia. Aku bisa memberikan penjelasan,” ujar Reynold dengan wajah bersungguh-sungguh.
Sylvia tidak tahan lagi, “Aku tidak mau dengar penjelasan apapun!”
Wanita itu membalikkan tubuh bergegas melangkah pergi. Jiwanya terguncang hebat. Tapi Sylvia tumbuh dalam keluarga teredukasi, ia tidak terpancing membuat keributan di hotel bintang lima itu.
Kaki ia jejakkan lebar-lebar diatas koridor beralaskan karpet tebal yang dapat meredam suara langkah yang ia hentakkan kuat-kuat.
“Sylvia, tunggu.” Dengan menghalau rasa malu akibat affair yang kemungkinan bisa menjadi pergunjingan tamu lain, Reynold yang telah turun dari ranjang itu segera berlari mengejar istrinya.
Koridor hotel yang sepi mengalunkan musik lembut dengan volume pelan. Tapi tidak menutup kemungkinan penghuni kamar lain akan dapat mendengar perseteruan itu.
Tangan Reynold yang menggapai lengan kanannya ia kibaskan dengan kuat. Sylvia tidak ingin disentuh laki-laki yang telah nyata-nyata meniduri saudara sepupunya.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” bisik Sylvia menahan emosinya, matanya melotot dengan wajah geram.
Reynold diam. Keduanya menyadari tidak mau mengambil resiko dengan menjatuhkan nama baik mereka di hotel yang mengenal reputasi baik keluarga besar mereka. Sylvia berhasil mengendalikan diri. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata lagi kecuali hasratnya yang menggebu untuk segera pergi dari tempat itu, menghindari suaminya, menghindari pemandangan menyakitkan tadi.
Reynold menyerah, memutuskan tidak memperkeruh keadaan. Dia membiarkan saja Sylvia pergi. Lelaki itu berpikir untuk sekarang ini mungkin Sylvia masih dikuasai amarah. Seiring berjalannya waktu, Sylvia dapat berpikir jernih, kemarahannya akan hilang dengan sendirinya. Selama ini Sylvia adalah wanita yang pemaaf. Reynold sibuk mencari pembenaran.
Sylvia telah sampai di dalam mobilnya yang terparkir di basement hotel. Pedal gas ia injak kuat membelah malam pukul dua dini hari itu. Pikiran kalut ia rasakan menghantam kepalanya yang berdenyut pusing. Sejak awal, pernikahan terjadi dengan lelaki itu adalah buah dari ketidak sengajaan. Permainan satu malam, yang membuat hidupnya berubah, tiba-tiba dia menyandang nama sebagai Nyonya Reynold. Tapi tidak berjalan seperti ini juga kisah hidup yang ia harapkan. Kesetiaan yang ia dambakan dari suaminya itu telah ternoda. Kenapa juga mesti berselingkuh dengan adik sepupunya? Kenapa? Apa tidak ada wanita lain di dunia ini?
Sylvia memacu mobil yang dibelikan papanya saat ia selesai melangsungkan pernikahan kilatnya dengan lelaki itu. Spedometer mendekati angka seratus tigapuluh. Ia sudah tidak mempedulikan apapun dihadapannya. Dini hari pinggiran kota itu keadaan memang sepi. Sebuah mobil dari arah berlawanan tiba-tiba muncul dari sebuah belokan di depannya.
Dhuar!
Adu banteng tidak terelakkan. Kuda besi Sylvia terguling berkali-kali ke aspal. Sebuah mobil sport berwarna biru tua yang menabraknya memiliki bodi rangka yang lebih kuat sehingga pengendaranya tidak mengalami luka, seat belt juga turut melindunginya. Seorang lelaki keluar dari mobil itu, dia berlari menuju mobil ringsek parah Sylvia.
“Oh, Tuhan. Selamatkan pengendara itu,” doanya sambil mencari keberadaan pengemudi mobil nahas itu. Pandangannya menyapu sekeliling, tidak ia temukan pengendara lain yang lewat.
Sebuah motor yang melintas, ternyata mereka sepasang suami istri yang hendak membuka toko kelontong di ujung jalan itu.
Pengendara mobil yang selamat itu melambaikan tangannya meminta bantuan mereka. Puji Tuhan pengendara itu mau berhenti.
“Tolong bantu saya, seseorang di dalam mobil yang telah bertabrakan dengan mobil saya di dalam sana. Bantu saya mengeluarkannya.”
Lelaki berusia pertengahan empat puluhan yang mengendarai motor itu bersedia membantu.
Sebuah percik api mulai terlihat, mereka berpacu dengan waktu. Ibu yang berada di boncengan bapak tadi tidak berhenti komat kamit berdoa.
Dengan susah payah mereka berempat akhirnya berhasil mengeluarkan tubuh Sylvia yang tak sadarkan diri dan bersimbah darah dengan penuh kehati-hatian. Kemudian tubuh tidak sadatkan diri itu digotong ke tempat yang aman.
Bummm…
Api membakar mobil mewah pemberian ayah Sylvia tidak lama setelah itu.
Lelaki penyelamat tadi menekan denyut nadi dipergelangan tangan Sylvia---masih ada, walaupun sangat lemah.
Sebuah mobil bak terbuka melintas, syukurlah.
Pengendara yang melihat lambaian tangan lelaki penyelamat itu mau berhenti dan turut serta ikut membantu. Lelaki itu menepikan dulu mobil miliknya kemudian meminta tolong mobil pick up yang baru berhenti itu membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
...
Sementara itu, setelah kepergian Sylvia, Reynold didera rasa gelisah. Ia merasa sangat bersalah. Walau ia menyukai Gladys, tapi Sylvia adalah ibu dari anaknya. Wanita di sampingnya juga tidak berani menanyainya macam-macam. Sepertinya Gladys takut kena semprot. Reynold mengambil ponselnya, sebuah nomer ia tekan. “Mom,” sapanya.
Craig terkapar lunglai di lantai kamar mandi, berlumuran darah, muntahan dan cairan berwarna kuning dari dalam tubuh yang jelas seharusnya tidak pernah keluar.Tiba-tiba ia merasa sebahagia keledai di tengah kubangan.Tidak penting kalau ia masih kesakitan. Ia masih hidup. Ia bisa melewati ini.Dan mampu menelepon.”Layanan darurat sembilan-satu-satu."Satelit telah menyambungkannya. Bantuan akan tiba beberapa menit lagi. Ia hanya perlu memberitahu mereka di mana dirinya berada.Lega luar biasa.Craig berbicara kepada wanita operator itu. ‘Namaku Agen Daren Grissham dari FBI dan aku— sedang ditembak!’Ia dengar letusan pistol lagi dan melihat serpihan kayu berhamburan dari pintu kamar mandi. Sebutir peluru mendesing dekat telinganya dan memecahkan ubin dinding di belakang Craig. Kejadiannya hanya sekejap, tapi rasanya seperti dalam gerak-lambat.Hingga tembakan kedua menyusul. Satu-satunya yang dirasakan seseorang pasti adalah kesakitan. Ia beruntung saat tembakan pertama. Tapi tidak
Craig memondong setangkup kayu bakar dan menyalakan tungkunya. Lalu menanyakan kepada Gladys apa lagi yang perlu ia lakukan."Sudah cukup," katanya sambil mencium pipi Craig. "Akan kutangani semua mulai sekarang."Craig meninggalkan Gladys sendirian di dapur kecilnya dan bersantai di sofa ruang duduk dengan satu-satunya bahan bacaan di sana, serial Motinggo Busye, terdapat majalah tua juga, edisi empat tahun yang lalu. Di tengah-tengah artikel mengenai pertandingan baseball club favoritnya, Gladys berseru, "Makan malam sudah siap."Craig kembali ke dapur dan duduk menghadap hidangan jamur Champignon, nasi, dan salad romaine serta kerang. Untuk minumannya, tersedia sebotol pinot grigio. Terlihat menggugah selera.Gladys mengangkat gelas dan bersulang, "Ini untuk malam yang indah.""Untuk malam yang berkesan," ulang Craig.Mereka mengadu gelas dan mulai makan. Gladys bertanya kepada Craig apa yang tadi ia baca dan Craig menceritakan mengenai artikel klub baseball itu."Kau suka baseball
Evander Craig tidak benar-benar ingin berjalan-jalan di bawah sinar bulan, tapi tetap saja pergi. Hanya ia dan Gladys Brown.Atap mobil diturunkan dan udara malam menerpa, sejuk dan kering. Jalannya, papan-papan tandanya, segalanya tampak buram. Gladys membelokkan mobil memasuki jalan pedalaman Green Grass Boulevard ke jalan bebas hambatan, dan Craig ikut saja.Apa yang sedang ia lakukan ini?Itu pertanyaan paling mendesak. Sayang sekali tidak memiliki jawaban.Yang ada di benak Craig sesaat setelah mengakhiri percakapannya dengan Billy yang lalu adalah ia perlu melakukan satu hal : menjauhi Gladys.Tapi di sinilah ia berada, duduk di samping Craig, lebih cantik, lebih menawan, lebih memabukkan dari kapan pun. Apa ini kesan terakhir?Atau ini sebuah pengingkaran?Atau kegilaan sementara?Apa ada bagian dari dirinya yang berharap para pakar komputer itu tidak menemukan kaitan, tidak menemukan apa pun? Bahwa Gladys mungkin saja tak bersalah? Atau, apakah ia ingin dia lolos sesudah melak
'Bagaimana caramu menggeledah tas tangannya tanpa sepengetahuannya?’ tanya Billy bersemangat.Well, kau mengerti, Bos, sesudah Gladys dan aku bersenang gila-gilaan di ranjang bujanganku, aku menunggu sampai dia tertidur. Lalu aku menyelinap keluar ke dapur dan menggeledah tasnya.Kalau dipikir-pikir lagi…‘Aku punya cara,’ ujar Craig. ‘Bukankah itu alasanmu memilihku untuk tugas ini?’‘Katakan saja kau memiliki catatan prestasi, Grissham, dan kau tersedia.’Keesokan harinya Craig duduk di kantor di belakang mejanya, memberitahukan perkembangan terakhir kepada Billy di telephon mengenai apa yang terakhir kali mereka diskusikan : “kencan makan malamnya” dengan Gladys. Keprihatinan utama Billy adalah, Craig mungkin mendesak—-hingga bisa saja membuat Gladys ketakutan dan pergi.Ha?Begitu ia meyakinkan Billy bahwa bukan itu yang terjadi, perhatiannya beralih pada apa yang ia temukan dalam tas tangan Gladys.‘Siapa nama penipu itu tadi?’ tanya Billy.‘Steven Dougherty.’‘Dia pengacara paj
"Tapi ini bukan pernikahan yang sebenarnya, Papa. Suaminya cacat. Claire bertahan dengannya hanya karena loyalitas dan tugas. "Itu pilihannya, Toni," kata Wilman."Hanya karena ia merasa tak punya pilihan lain." “Apa maksudmu?" tanya Caren tajam.Mata Anthoni bergerak-gerak gugup. "Kalian merancang kecelakaan untuk istri pertama suami Magdalena agar pria itu bebas menikahinya."Wilman mengabaikan kesiap Caren. Bukan karena Caren tak tahu mengenai situasi itu. Namun, tak satu pun dari mereka menyadari ada orang lain dalam keluarga tahu apa yang telah mereka lakukan untuk keponakan mereka."Itu situasi yang berbeda, Toni," kata Wilman.Anthoni Larue melipat tangan di dada; mulutnya berkedut menentang. "Kenapa itu berbeda?""Kakakmu sangat putus asa dan mengancam hendak bunuh diri, sehingga kami tak punya pilihan lain untuk menolongnya.”Air mata memenuhi mata indah putranya. "Aku pun putus asa. Hatiku hancur memikirkannya. Claire masih muda dan sangat berani, tapi semangatnya akan seger
Mendesah panjang dengan puas, Wilman Larue menjatuhkan tubuh gempalnya ke sofa kulit berwarna hitam yang mahal. Musik terdengar lembut mengalir memenuhi ruangan lewat pengeras suara tersembunyi. Api kecil menenangkan menyingkirkan rasa dingin di udara. Meski rumahnya besar, dengan dua puluh dua kamar tidur dan dua puluh lima kamar mandi, ruangan nyaman di luar kamar tidur utama ini merupakan favoritnya. la meneguk brendi sembari menunggu Caren, istrinya selama empat puluh tahun, untuk bergabung dengannya.Mereka menjalani hidup yang sibuk. Mengobrol selama satu jam sebelum istirahat malam menjadi tradisi berharga. Mendekap satu sama lain, menjalin komunikasi intens. Mereka akan berbagi hal-hal yang terjadi hari itu dan membahas setiap masalah keluarga yang timbul selama dua puluh empat jam terakhir. Mereka telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk menciptakan kerajaan mereka yang luas dan tak menyimpan rahasia dari satu sama lain.Salah satu masalah yang Wilman rencanakan untuk d