"Ini jam berapa, Noldi. Kau buat kaget saja,” omel seorang wanita di seberang sana.
“Maaf ya sudah mengganggu jam tiga dini hari ini. Tapi aku mau minta bantuan.”
“Ada apa?!” tanya ibunya sarkas.
“Saya telpon August tidak diangkat, mungkin hapenya dimatikan.”
“Ada apa jam segini bangunin dia, pastilah dia masih mimpi,” sergah ibunya.
“Mom, tolong bangunin August. Suruh dia ke rumahku sekarang.”
“Ada apa?”
“Suruh Agus pastikan Sylvia sudah di rumah sekarang, Mom.”
“Ada apa lagi dengan wanita itu? Jam segini masih keluyuran! Sudah biarkan saja. Dasar menantu kurang ajar.”
Telpon itu ditutup Mrs. Mathilda.
Mathilda adalah seorang mertua yang tidak menyukai menantunya.
Dering telpon dari putranya berkali-kali lagi setelah itu tidak ia pedulikan, bahkan kemudian ponsel itu ia matikan.
Mathilda melanjutkan tidurnya dengan pulas. “Badaipun tidak akan bisa mengganggu tidurku. Persetan dengan Sylvia itu,” dengusnya melanjutkan mimpi.
Sylvia telah dikepung tenaga medis untuk mendapatkan pertolongan pertama. Dia mengalami benturan keras pada bagian dada saat dashboard mobil menghimpit tubuh bagian depannya. Kepalanya penuh dengan darah akibat dari pecahan kaca depan mobilnya.
“Tolong selamatkan nyawanya, Dok,” pinta pengendara yang telah menabraknya itu.
“Apakah Anda keluarganya? Apa Anda yang hendak bertanggung jawab atas pasien ini?”
“Iya, saya bukan keluarganya, sayalah yang menabraknya. Dan saya pastikan saya akan menanggung semua biaya pengobatannya.”
“Silakan mendaftarkan diri dan menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu di bagian depan itu,” kata seorang petugas medis sambil tangannya menunjuk pada bagian pendaftaran.
“Iya, tentu.” Lelaki itu berlari cepat menyelesaikan prosedur yang seharusnya.
Sylvia masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Sky Ferragamo, lelaki itu menulis namanya sebagai penanggung jawab pada selembar kertas persetujuan tindakan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan si wanita berbaju biru dengan celana jeans yang bersimbah darah itu. Sebuah kartu kependudukan telah ia serahkan sebagai dokumen yang dibutuhkan. Tenaga administrasi melakukan tugasnya dengan terampil.
Beberapa saat berlangsung. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih beberapa menit. Seorang dokter keluar dari ruang Instalasi Gawat Darurat dimana Sylvia telah berada.
Sky yang menunggu dengan harap-harap cemas segera beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Berjalan menghampiri dokter muda itu, “Dokter? Bagaimana dengan wanita yang saya bawa tadi?"
"Iya, yang berbaju biru tadi? Siapa ya namanya?” tanya lelaki di hadapannya.
“Maaf, saya bahkan tidak tahu. Kami tadi meninggalkan mobilnya yang terbakar, Dok. Di saku bajunya tadi waktu perjalanan kemari saya tidak menemukan kartu identitas. Telephon selularnya mungkin berada di mobilnya yang terbakar. Tapi saya bertanggung jawab penuh atas wanita itu. Sambil menunggu berita dari keluarganya, mengenai kehilangannya.”
“Iya, baiklah. Begini, wanita ini harus segera mendapatkan tindakan operasi, beberapa tulang iganya patah.”
“Lakukan yang terbaik, Dok. Apapun itu yang dapat segera menyelamatkan nyawanya.”
“Baik, silakan mengisi dan menandatangani lembar persetujuan di depan sana, Tuan.”
“Baik. Tentu, Dok.”
Sky Ferragamo kembali duduk di depan ruang operasi itu. Perutnya sudah sejak lama berbunyi, lapar, haus tentu saja. Sejak semalam ia belum memasukkan apapun untuk sekedar mengisi perutnya.
Masih pagi, arloji mewah di tangan kirinya menunjukkan waktu pukul enam kurang. Akhirnya dia memutuskan mencari kafetaria di rumah sakit itu untuk mengisi perutnya.
Sambil menunggu pesanan datang, Sky mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Andre, nanti kau reschedule pertemuanku dengan Mr. Conrad. Hari ini ada yang harus aku selesaikan.”
“Baik, Pak,” jawab seseorang di seberang sana.
....
Reynold merasa gundah, ia hampir melempar ponselnya ketika mendapati nada tidak dapat dihubungi dari nomor istrinya. Dini hari itu, dia meninggalkan teman tidurnya begitu saja. Reynold memakai sepatu, merapikan baju dan menyugar saja rambut di kepalanya, kemudian beringsut meninggalkan kamar itu. Entah mengapa perasaanya tidak enak.
Di koridor ia berjalan perlahan, Reynold menghubungi lagi ponsel istrinya tapi tetap mendapatkan jawaban yang sama.
Sekarang ini, hal pertama yang ingin ia lakukan adalah pulang, untuk mengetahui istrinya itu tidak nekat membawa buah hati mereka pergi.
Setelah keluar dari lift, Reynold sudah sampai di parkiran mobilnya berada.
Kendaraan ia pacu secepat mungkin. Pagi masih berkabut menggeliat. Jalanan sudah mulai ramai. Ditekan tombol radio di dalam mobil itu, seorang penyiar radio memberitakan sebuah kecelakaan. Reynold mendengarkan tapi tidak begitu fokus karena pada saat yang sama ciiiit...
Dia harus mengerem mendadak, sewaktu seorang pesepeda menyeberang perempatan jalan begitu saja. Reynold terhenyak, dia kaget. Sumpah serapah keluar dari bibirnya mengungkapkan kemarahan.
Untung saja pesepeda itu selamat, karena Reynold berhasil menghentikan mendadak mobilnya tanpa selip. "Hai, Kau! Sudah bosan hidup, ya!” bentaknya sambil membuka kaca mobilnya cepat.
Pesepeda itu cuma nyengir, kemudian berlalu pergi tanpa sepatah katapun.
Suara ponselnya berbunyi, “Oh. Thanks, God,” serunya. Dia pikir istrinya menelephone balik. Waktu matanya menatap layar ponselnya, kekecewaan ia dapatkan.
“Tuan,”
“Iya, Rin. Ada apa?”
Carin, pengasuh putrinya menjawab lagi, “Syukurlah,Tuan bisa saya hubungi.”
“Carin! Katakan ada apa kau menelponku? aku sedang bawa kendaraan!” sergah Reynold marah.
“Sejak tadi malam saya tidak bisa menelephone Nyonya. Apa mungkin ponsel Nyonya mati?”
“Aku tahu.” Reynold menggertakkan rahangnya, ia mulai marah.
“Adek Suri demam sejak semalam, Tuan.”
“Apa?!”
Ciiit...
Ia harus mengerem mobil lagi mendadak, seekor kucing menyeberang jalan tiba-tiba.
“Sial!” dampratnya.
“Bagaimana, Tuan?” dari seberang sana Carina terdengar ketakutan mendengar makian Tuannya.
“Diam, Carin. Aku tidak bicara padamu!” sungut Reynold kesal. “Tutup telponmu, sebentar lagi aku sampai.”
Belum lama telpon selularnya berbunyi lagi, Gladys. Reynold membaca nama itu di layar gawainya. Lelaki itu agak ragu, dia belum ingin menjawab pertanyaan kekasih gelapnya itu mengenai kepergiannya yang tiba-tiba tanpa pamit.
Tapi lelaki cassanova itu berubah pikiran, ia tidak tega, akhirnya layar itu ia sentuh di icon terima. “Bagaimana, Sayang?”
“Kenapa kau tiba-tiba pergi?” protes wanita di seberang sana. “Kau bahkan tidak berpamitan padaku?”
“Maaf, Sayang. Aku harus segera pulang. Anakku demam. Ibunya belum pulang sejak semalam. Nanti kau kuhubungi lagi, okay?”
“Okay, baiklah,” sahut Gladys.
Kemudian ia melompat kegirangan naik ke atas tempat tidur hotel itu. Menari-nari. Ranjang ini adalah saksi bisu perbuatan tercelanya bersama suami saudari sepupunya itu. Tinggal selangkah lagi, rencananya akan berhasil. Sebentar lagi dia akan menyematkan nama lelaki yang telah ia incar sejak lama itu untuk menjadi miliknya. Ya, tidak lama lagi namanya akan berada di bawah nama lelaki yang menidurinya tadi malam di dalam satu kartu keluarga. Ia akan menjadi pewaris harta mereka yang berlimpah. Menjadi Nyonya Reynold Arnoldi. Gladys mematut dirinya di cermin, “Hai, Cantik! Tujuanmu telah berhasil.”
Craig terkapar lunglai di lantai kamar mandi, berlumuran darah, muntahan dan cairan berwarna kuning dari dalam tubuh yang jelas seharusnya tidak pernah keluar.Tiba-tiba ia merasa sebahagia keledai di tengah kubangan.Tidak penting kalau ia masih kesakitan. Ia masih hidup. Ia bisa melewati ini.Dan mampu menelepon.”Layanan darurat sembilan-satu-satu."Satelit telah menyambungkannya. Bantuan akan tiba beberapa menit lagi. Ia hanya perlu memberitahu mereka di mana dirinya berada.Lega luar biasa.Craig berbicara kepada wanita operator itu. ‘Namaku Agen Daren Grissham dari FBI dan aku— sedang ditembak!’Ia dengar letusan pistol lagi dan melihat serpihan kayu berhamburan dari pintu kamar mandi. Sebutir peluru mendesing dekat telinganya dan memecahkan ubin dinding di belakang Craig. Kejadiannya hanya sekejap, tapi rasanya seperti dalam gerak-lambat.Hingga tembakan kedua menyusul. Satu-satunya yang dirasakan seseorang pasti adalah kesakitan. Ia beruntung saat tembakan pertama. Tapi tidak
Craig memondong setangkup kayu bakar dan menyalakan tungkunya. Lalu menanyakan kepada Gladys apa lagi yang perlu ia lakukan."Sudah cukup," katanya sambil mencium pipi Craig. "Akan kutangani semua mulai sekarang."Craig meninggalkan Gladys sendirian di dapur kecilnya dan bersantai di sofa ruang duduk dengan satu-satunya bahan bacaan di sana, serial Motinggo Busye, terdapat majalah tua juga, edisi empat tahun yang lalu. Di tengah-tengah artikel mengenai pertandingan baseball club favoritnya, Gladys berseru, "Makan malam sudah siap."Craig kembali ke dapur dan duduk menghadap hidangan jamur Champignon, nasi, dan salad romaine serta kerang. Untuk minumannya, tersedia sebotol pinot grigio. Terlihat menggugah selera.Gladys mengangkat gelas dan bersulang, "Ini untuk malam yang indah.""Untuk malam yang berkesan," ulang Craig.Mereka mengadu gelas dan mulai makan. Gladys bertanya kepada Craig apa yang tadi ia baca dan Craig menceritakan mengenai artikel klub baseball itu."Kau suka baseball
Evander Craig tidak benar-benar ingin berjalan-jalan di bawah sinar bulan, tapi tetap saja pergi. Hanya ia dan Gladys Brown.Atap mobil diturunkan dan udara malam menerpa, sejuk dan kering. Jalannya, papan-papan tandanya, segalanya tampak buram. Gladys membelokkan mobil memasuki jalan pedalaman Green Grass Boulevard ke jalan bebas hambatan, dan Craig ikut saja.Apa yang sedang ia lakukan ini?Itu pertanyaan paling mendesak. Sayang sekali tidak memiliki jawaban.Yang ada di benak Craig sesaat setelah mengakhiri percakapannya dengan Billy yang lalu adalah ia perlu melakukan satu hal : menjauhi Gladys.Tapi di sinilah ia berada, duduk di samping Craig, lebih cantik, lebih menawan, lebih memabukkan dari kapan pun. Apa ini kesan terakhir?Atau ini sebuah pengingkaran?Atau kegilaan sementara?Apa ada bagian dari dirinya yang berharap para pakar komputer itu tidak menemukan kaitan, tidak menemukan apa pun? Bahwa Gladys mungkin saja tak bersalah? Atau, apakah ia ingin dia lolos sesudah melak
'Bagaimana caramu menggeledah tas tangannya tanpa sepengetahuannya?’ tanya Billy bersemangat.Well, kau mengerti, Bos, sesudah Gladys dan aku bersenang gila-gilaan di ranjang bujanganku, aku menunggu sampai dia tertidur. Lalu aku menyelinap keluar ke dapur dan menggeledah tasnya.Kalau dipikir-pikir lagi…‘Aku punya cara,’ ujar Craig. ‘Bukankah itu alasanmu memilihku untuk tugas ini?’‘Katakan saja kau memiliki catatan prestasi, Grissham, dan kau tersedia.’Keesokan harinya Craig duduk di kantor di belakang mejanya, memberitahukan perkembangan terakhir kepada Billy di telephon mengenai apa yang terakhir kali mereka diskusikan : “kencan makan malamnya” dengan Gladys. Keprihatinan utama Billy adalah, Craig mungkin mendesak—-hingga bisa saja membuat Gladys ketakutan dan pergi.Ha?Begitu ia meyakinkan Billy bahwa bukan itu yang terjadi, perhatiannya beralih pada apa yang ia temukan dalam tas tangan Gladys.‘Siapa nama penipu itu tadi?’ tanya Billy.‘Steven Dougherty.’‘Dia pengacara paj
"Tapi ini bukan pernikahan yang sebenarnya, Papa. Suaminya cacat. Claire bertahan dengannya hanya karena loyalitas dan tugas. "Itu pilihannya, Toni," kata Wilman."Hanya karena ia merasa tak punya pilihan lain." “Apa maksudmu?" tanya Caren tajam.Mata Anthoni bergerak-gerak gugup. "Kalian merancang kecelakaan untuk istri pertama suami Magdalena agar pria itu bebas menikahinya."Wilman mengabaikan kesiap Caren. Bukan karena Caren tak tahu mengenai situasi itu. Namun, tak satu pun dari mereka menyadari ada orang lain dalam keluarga tahu apa yang telah mereka lakukan untuk keponakan mereka."Itu situasi yang berbeda, Toni," kata Wilman.Anthoni Larue melipat tangan di dada; mulutnya berkedut menentang. "Kenapa itu berbeda?""Kakakmu sangat putus asa dan mengancam hendak bunuh diri, sehingga kami tak punya pilihan lain untuk menolongnya.”Air mata memenuhi mata indah putranya. "Aku pun putus asa. Hatiku hancur memikirkannya. Claire masih muda dan sangat berani, tapi semangatnya akan seger
Mendesah panjang dengan puas, Wilman Larue menjatuhkan tubuh gempalnya ke sofa kulit berwarna hitam yang mahal. Musik terdengar lembut mengalir memenuhi ruangan lewat pengeras suara tersembunyi. Api kecil menenangkan menyingkirkan rasa dingin di udara. Meski rumahnya besar, dengan dua puluh dua kamar tidur dan dua puluh lima kamar mandi, ruangan nyaman di luar kamar tidur utama ini merupakan favoritnya. la meneguk brendi sembari menunggu Caren, istrinya selama empat puluh tahun, untuk bergabung dengannya.Mereka menjalani hidup yang sibuk. Mengobrol selama satu jam sebelum istirahat malam menjadi tradisi berharga. Mendekap satu sama lain, menjalin komunikasi intens. Mereka akan berbagi hal-hal yang terjadi hari itu dan membahas setiap masalah keluarga yang timbul selama dua puluh empat jam terakhir. Mereka telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk menciptakan kerajaan mereka yang luas dan tak menyimpan rahasia dari satu sama lain.Salah satu masalah yang Wilman rencanakan untuk d