Sebuah mesin pemotong rumput terdengar di luar kamar Fasilitas Psikiatri Beatrice Hawk. Suaranya menerobos masuk ke dalam kamar dan menyebabkan Gladys tersentak kala pagi ini ia datang berkunjung. Mendadak ia merasa lumpuh dan tidak bisa bernafas. Satu-satunya yang berfungsi hanyalah air matanya. Topengnya runtuh dan dunia luar melingkupinya. Ia menyeka air matanya. “Maaf ibu. Aku tahu ibu suka membaca, tapi kali ini aku lupa membawakan buku untukmu. Keadaan agak. Well, Situasinya …"Untuk pertama kalinya, Gladys bercerita kepada ibunya mengenai mimpi yang terus menghantuinya. Mimpi tentang Beatrice yang menembak ayahnya. Betapa dalamnya peristiwa malam itu terukir di benaknya. Apa yang dikatakan, apa yang dikenakan setiap orang, bahkan bau mesiunya. Tapi apa gunanya? Ia bahkan tidak tahu siapa aku. Gladys meraih tisyu dari meja samping ranjang. Rasanya seperti ada bendungan yang jebol. Air matanya. Emosinya. Segala sesuatu membanjir keluar. Ia kehilangan kendali. Ada dorongan kuat un
Grey Ribbon Dinner tidak bakal memenangkan hadiah pertama untuk apa pun yang termasuk kategori makanan, dekorasi dan layanan, tapi sebagai rumah makan pinggiran kota, tempat itu cukup layak. Telurnya segar, botol sausnya hampir selalu terisi penuh, kue-kuemya lumayan, tak ketinggalan kopi mereka tak kalah enak dengan keluaran kios kopi yang terkenal. Ditambah lagi para pramusajinya, sekalipun nyaris tak akan bisa meraih juara harapan di kontes kecantikan mana pun, tapi cukup profesional. Mereka memahami pesanan dan sigap mengisi ulang cangkir kopi. Gladys akan menemui Craig disini. Tempat yang Craig usulkan. Sesuai kesepakatan mereka. Ada yang wanita itu perlu ketahui.Sewaktu Craig berjalan masuk beberapa menit sebelum pukul empat, mereka mengganguk menyapanya. Selama bertugas di areal ini, Grey Ribbon Dinner telah menjadi tempat makan langganannya. Sekalipun ia yakin ada restoran yang lebih baik, tapi Craig tidak begitu berminat untuk mencarinya. “Meja untuk dua orang,” kata Craig
Sesudah kehilangan Gladys di California Sabtu sore itu, sepanjang sisa akhir pekan Craig bisa disimpulkan dengan satu kata: payah. Dalam daftar tindakan spontannya yang bodoh, menghantam kaca jendela mobil sewaan menempati urutan yang cukup tinggi. Untung saja tangannya tidak patah, paling tidak menurut evaluasi medis yang ia lakukan. Sebagai ringkasan tindak kekerasan, hanya satu pertanyaan yang telah diajukan : kau masih bisa menggerakkan jari-jari mu, Idiot?Pada Senin pagi itu, ia melintas dekat rumah Kenzo Armadillo untuk melihat apakah Gladys sudah kembali. Ternyata belum. Ia membuka buku catatannya, melihat nomer telepon yang diberikan oleh Gladys dan mencoba hubungi dari mobilnya. Seorang pria menjawab.‘Maaf, salah sambung,’ katanya. ‘Aku sedang berusaha menghubungi Gladys Brown.’Pria di seberang sana tidak mengenal orang bernama Gladys. Craih mengamati nomor telepon dan memeriksa buku catatannya. Memerikaa lagi panggilan keluar ponselnya ternyata ia telah meneka
Tapi tetap saja Evan Craig harus menjaga jarak. Itu sampai Gladys membuktikan bahwa ia bukan sopir bus pulang-pergi. Lebih cocok jadi pembalap Formula Satu.Semakin Craig ngebut, semakin cepat Gladys melaju. Bukannya berbaur dengan mobil-mobil lain, Craig terpaksa melesat menyalip mereka. Hilang sudah sifat tidak mencolok minivan-nya.Sialan.Lampu merah. Craig sudah menerobos lampu merah sebelumnya, tapi yang satu ini di persimpangan. Gladys berhasil melewatinya dan ia tidak. Sementara ia menjadi sebintik kecil di kejauhan, ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali memaki dan menunggu. Bayangan bahwa ia sudah terbang jauh-jauh kemari hanya untuk kehilangan wanita itu membuat perutnya bergolak.Lampu hijau!Craig menekan pedal gas dan klakson bersamaan, suaranya berdecit. Permainan telah berubah menjadi pengejaran dan menghadapi resiko serius kehilangan dirinya. Craig melirik spedometer. Sembilan puluh, seratus, seratus dua puluh kilometer per jam. Itu dia!Craig melihat mobil Gladys di keja
"Katakan, Ryan, apa yang menunggumu di California hari ini?”“Selusin investor yang berani menanggung risiko. Dan pena.”“Kedengaranya menjanjikan. Kuanggap pena itu untuk tanda tanganmu.”“Semacam itu.”Gladys menduga pria itu akan menelaah dirinya, tapi ternyata tidak. Ia tersenyum. “Padahal aku sudah mengaku aku tukang tumpuk, tapi kau justru bersikap malu-malu terhadapku.”Ryan bergeser di kursi dekat jendela nya, keheranan bercampur gembira. “Untuk yang kedua kalinya, kau benar sekali, oke, tahun lalu aku menjual perusahaan piranti lunakku. Sore ini aku mau membeli perusahaan yang baru. Membosankan sebetulnya."“Kurasa tidak. Ngomong-ngomong, selamat! Dan para investor tadi mereka berani menanamkan modal padamu?”“Menurutku, kenapa harus mempertaruhkan uang sendiri kalau ada orang lain yang bersedia mempertaruhkan uang mereka?”“Setuju sekali.”“Sekarang, bagaimana denganmu, Gladys? Apa yang menunggumu di California hari ini?”“Klien," katanya. “Aku Decorator interior."Ryan meng
Evander Craig pergi untuk beberapa keperluan dan akhirnya kembali ke kantor. Selusin kali sepanjang sisa sore itu, Gladys ingin mengakhiri penguntitannya, dan selusin kali ia memaksa diri untuk tetap berada dalam mobil yang diparkir sekitar satu setengah blok dari kantor Craig.Gladys penasaran mengenai apa yang akan terjadi malam harinya. Apakah Evander Craig memiliki kehidupan sosial? Apa ada yang dipacarinya?Sekitar pukul enam, jawaban mulai muncul. Lampu lampu di Centeniel Life Insurance padam dan Craig berjalan keluar dari gedung itu. Tapi sepertinya ia tidak akan ke bar, atau makan malam di luar, juga tidak menemui gadis mana pun. Paling tidak bukan malam ini. Sebaliknya, ia membeli pizza dan langsung pulang. Pada saat itulah Gladys mendapati bahwa memang ada yang disembunyikan Craig : ia tidak sekaya yang dia ingin disangka orang, kalau melihat tempat tinggalnya. Apartemennya di PleasantVille hanya berupa bangunan kumuh di antara bangunan bangunan kumuh lain, mirip deretan ruk