Lisa, mahasiswi tingkat akhir yang menyambi sebagai asisten kurator ditugaskan untuk memilah barang-barang antik di sebuah villa. Sesampainya di sana, tidak ada penghuni vila yang menyukainya atau tak disukainya. Ada Kris, pembantu lalki-laki seusia Lisa; Katemi, pembantu perempuan paruh baya; Bram, sang majikan dan pemilik vila; serta Anne, putri sang majikan. Setiap penghuni menjebak dirinya sendiri dalam masa lalu dengan cara mereka masing-masing. Dapatkah Lisa memecahkan kemelut yang berusaha menelannya? Sabtu Malam Lisa adalah bacaan sekali duduk yang sengaja disusun sebagai sebuah puzzle.
View MoreSabtu, 8 November, suatu Tahun
03.10 p.m. (Pukul 15.10)
LISA
Seperti bagian lain di vila ini, lantai dan dinding koridor itu terbuat dari kayu. Cukup tebal, tapi masih tak cukup untuk menangkal hawa pegunungan. Banyak berkelok. Panjangnya mungkin mencapai hingga puluhan langkah. Lebarnya lebih lebar sedikit dari bentangan kedua lengan orang dewasa. Bagian atas telanjang tanpa langit-langit, langsung menampakkan rangka atap dan susunan genting yang samar-samar saja terlihat. Di kerangka bangunan yang melintang di atas lorong itu bergantung lampu-lampu dengan pijar kekuningan, lengkap dengan piringan logam yang melingkup pangkalnya. Di atas sana, rumah laba-laba bertaut kesana-kemari, coraknya sudah kehitaman dan sesekali bergelayut serupa satin malaikat maut. Di kiri dan kanan lorong tergantung banyak lukisan yang dibingkai dalam persegi panjang berbagai ukuran; mulai dari yang mungil seukuran buku tulis sampai yang besar seukuran setengah daun pintu. Letak lukisan-lukisan itu ada yang membujur, ada yang melintang; jarak antara satu lukisan dengan lainnya punya tolak ukur yang acak. Lukisan-lukisan itu tampak dingin, beku dalam aliran waktu yang terhenti, mungkin karena hanya disoroti cahaya kekuningan dari lampu yang bergantung jauh di atas. Muram. Barangkali, kegunaan koridor itu adalah semacam galeri, tapi bagi kebanyakan orang, koridor itu tentulah bukan tempat yang menyenangkan pandangan.
“Aku suka lukisan. Aku sendiri juga melukis.” Gadis berkacamata itu akhirnya menemukan bahan pembicaraan lain setelah lama berpikir dan tak ditemukannya celah untuk memuji koridor remang itu.
“Saya tidak bertanya,” jawab lelaki berambut ikal di sebelahnya.
“Oh, maaf. Aku cuma berpendapat.”
“Oh, maaf. Kalau begitu, saya tidak minta pendapat.”
Gadis itu mengatup kedua kelopak matanya. Gemas.
“Bagaimana kalau aku yang minta pendapatmu?”
“Tak ada komentar.”
“Kalau begitu, minta namamu?”
Lelaki berambut ikal itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan bergeming selama beberapa detik. Matanya memicing. Sambil tangan kanannya merodok, bilangnya, “Kris.”
Gadis itu mengangkat tangan kanannya juga, hendak menyatukan telapaknya dengan telapak tangan lelaki berambut ikal yang akhirnya menatap dirinya juga saat bercakap. Sayangnya, gadis itu kecele. Lengan lelaki itu terus menjulur sampai ujung-ujung jemarinya menyentuh bingkai lukisan yang ada di belakang gadis berkacamata. Alangkah kebetulan, bingkai itu memuat lukisan paruh badan seorang gadis cilik yang sedang menahan tawa dengan kedua tangannya.
Ada mayat seekor laba-laba yang gepeng dan mengering di atas bingkai lukisan itu. Jemari Kris yang kurus dan panjang menggiling mayat binatang malang itu, menjadikannya persis kotoran hidung, hanya saja ia tak dibuang atau diratakan di kolong meja, melainkan dimasukkan ke dalam saku jas hitam yang sudah tampak lusuh dan bau apak.
“Aku Lisa.” Kata si gadis, sambil tangan kanannya yang sudah terlanjur terangkat bergerak ke belakang kepala, melepas ikatan rambut sekaligus menyibak rambutnya yang tak begitu saja tergerai seperti iklan sampo di televisi. Rambut itu panjangnya sebahu, hitam kusam.
“Saya sudah tahu,” balas pemuda itu tak tertarik.
Lisa geming. Kakinya memaku sesaat di lantai yang dingin. Ia tak memejamkan mata lagi sebagaimana biasa kalau ia sedang kesal. Matanya melotot, mengikuti sosok Kris yang lanjut melangkah seakan tak pernah bersikap tak sopan pada seorang tamu yang seharusnya dimuliakan. Usaha Lisa membangun sebuah percakapan akhirnya seperti angin kentut—yang sebaiknya memang tidak perlu dilakukan di depan lawan bicara, kecuali kau memang ingin memancing perkara. Ia hanya sedang berusaha akrab; bagaimanapun, ia akan menghabiskan setidaknya 3 hari ke depan di vila ini.
Sejak pertama kali jumpa, Kris memang selalu menanggapi Lisa dengan raut wajah yang begitu-begitu saja. Dingin dan sinis, tapi pada saat yang bersamaan, memelas. Matanya yang sayu selalu menatap tajam ke kejauhan, tapi tak sekalipun menatap lawan bicaranya kecuali beberapa detik lalu. Langkahnya lebar dan cepat. Tiap satu langkah Kris harus dibalas dua kali langkah agar Lisa bisa menyamai kecepatan pemuda itu berjalan. Menyebalkan. Lisa setengah tidak terima kalau ia, yang seorang tamu, disambut orang macam itu beberapa belas menit yang lalu. Sungguh pelayanan yang membuatnya amat tak terkesan.
Minggu 9 November 2014 03.23 p.m. (pukul 15.23) LISA “Hantu?” Lisa bertanya. Pak Karman tidak menjawab. Dia menggeleng. “Pak Dokter,” Bu Zaitun, entah sejak kapan, sudah berdiri di belakang Pak Karman. “Tolong sampaikan seluruh ceritanya.” Pak Karman masih diam. Lisa semakin bingung. “Ada apa ini?” “Nak, orang yang melihat hantu bernama Bram ini bukan cuma kamu,” kata Bu Zaitun.
Sabtu, 8 November 2014 11.47 a.m. (pukul 11.47) LISA Lisa sudah menunggu belasan menit di sebuah perempatan padat kendaraan yang baru pertama kali dikunjunginya. Jangankan tempat itu, menginjak wilayah Kabupaten Bandung pun adalah yang pertama kali. Ia berkali-kali melirik layar ponsel yang sudah nyaris habis dayanya, menunggu balasan pesan dari Bu Zaitun yang seharusnya sudah sampai beberapa jam yang lalu saat ia masih dalam perjalanan. Saat kakinya mulai terasa pegal, Lisa menemukan sosok Bu Zaitun di antara keramaian sedang menempelkan ponsel ke telinga. “Bu!” Teriak Lisa sambil setengah berlari ke arah yang dipanggil. “Astaga!” Kata Bu Zaitun, “Sulit sekali kamu dihubungi!” “Lah? Saya selalu pegang ponsel, tapi tidak ada panggilan yang masuk.” Lisa melirik ponselnya. Dari layar itu, ia akhirnya tahu kalau ia tidak dapat sinyal. “Untun
Minggu, 9 November 2014 03.13 p.m. (pukul 15.13) LISA Kelopak matanya seperti dibuka dengan paksa, membuat cahaya lampu langsung menyorot ke bola matanya. Lisa terpejam dan dengan segera nyeri di bola-bola matanya menjalar ke seluruh tempurung kepala, lalu berdenyut di satu titik di pelipisnya. Ia meraba titik itu dan mendapati tumpukan perban di sana. Tubuhnya kuyup oleh keringat seakan telah lama mendekam dalam sauna. Ia tidak kepanasan. Ia justru kedinginan. “Di mana?” Bisiknya pada diri sendiri. Lisa menyebar pandangannya. Hal pertama yang ia cari adalah kacamatanya. Ia meraba ke atas meja berlaci di ranjang dan menemukan benda yang dicarinya. Lisa mengedarkan pandangannya lagi, kali ini dengan penglihatan yang lebih jelas. Ia tahu ruangan ini, tapi entahlah. Ingatannya seperti uap air yang mengepul, terus mendesak tapi tak bisa dipegang wujud pastinya. “Lisa!!” Seorang per
Sabtu, 8 November, suatu tahun05.33 a.m. (pukul 05.33)KATEMIKatemi mengintip dari balik pintu, berhati-hati kalau-kalau Kris sudah terjaga. Setelah yakin kalau pemuda itu lelap, ia beringsut ke tepi ranjang. Dipandanginya wajah pemuda itu dengan seksama. Ia tersenyum. Lalu berbisik.“Dosaku padamu terlalu besar. Aku akan jadi bahan bakar neraka. Tapi sebelum itu, bolehkah aku minta satu hal darimu?”Kris mendengkur.“Panggil aku’Ibu’,” bisik Katemi lagi, “Sekali saja...”Kris memalingkan tubuhnya. Mendengkur lagi.Katemi tersenyum. Ia beranjak dengan wajah menggeleng pelan. Itu pertama dan terakhir kali ia mengatakan sesuatu seperti itu. Anaknya sudah penuh luka. Satu-satunya yang membuat pemuda itu bertahan hidup adalah ketidaktahuan.Bukanka
00.00 a.m. (pukul 24.00) ???? Aku adalah tanah ini. Aku adalah bangunan ini. Aku adalah atap dan lantainya. Aku adalah tembok dan jendela serta pintunya. Aku adalah setiap ruang dan sudutnya. Aku adalah setiap sorot lampu dan bayangannya. Aku adalah Vila di Pegunungan. Meski sebenarnya, tak tepat juga memanggilku begitu.Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Kiri dan kananku terhampar kebun teh nan luas. Di belakangku, jalan menaik ke puncak bukit. Di depanku, tanah landai yang seringkali dilewati manusia. Dahulu sekelilingku hanya pepohonan dan batu-batu. Tepatnya kapan mereka berubah, aku sudah lupa. Pastinya, perubahan ini adalah karena campur tangan manusia. Mulanya, aku hanyalah tanah lapang di sebuah bukit. Lalu, suatu hari, sepasang manusia berkulit pucat datang kepadaku. Si perempuan begitu elok, anggun dan menyenangkan. Si lelaki, meski juga elok dan gagah, memiliki raut muka yang membosankan. Jangan tanya aku tahu dari mana, aku hanya tahu. Kedua manusia it
10.43 p.m. (pukul 22.43) BRAM Bram terjaga dengan mata terbelalak. Matanya sakit karena langung menatap cahaya lampu. Ia terjaga sedemikian rupa akibat mimpinya. Dalam mimpi itu, ia seperti mengulang kembali bertahun-tahun pengalamannya. Sangat jelas mimpi itu, dan amat rinci; sampai-sampai dadanya berdebar karena ngeri. Bahkan, kancutnya juga sampai basah karena adegan percintaan dalam mimpinya terasa nyata. Terdengar suara gaduh dari lantai dua. Lantai vila yang tersusun dari kayu-kayu saling menyambung sehingga derit-deritnya dapat mengalir begitu saja ke langit-langit ruang santai. Ia menduga itu suara tikus awalnya, tapi segera berubah pikiran karena tentu saja tak mungkin tikus-tikus membuat kegaduhan semacam itu kecuali mereka sebesar babi hutan dan sedang bergulat di atas sana. Sesaat kemudian, suara gaduh lain terdengar dari arah ruang makan. Suaranya tidak lebih berisik dari kegaduhan di lantai dua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments