“Kamu diterima kerja di restoran.”
Kalimat itulah yang terus terngiang di benak Ayara. Sungguh kejadian sederhana itu, benar-benar mendatangkan berkah dan keuntungan untuknya. Siapa sangka hanya karena membantu seorang wanita yang ternyata pemilik restoran. Sehingga sekarang Ayara bisa berkerja di sana. Itulah siklus kehidupan. Di saat ada hati yang tulus dalam membantu, maka Tuhan juga akan mempersiapkan bantuan dan hal indah lain untuknya. Maka dari itu, jangan sekali-kali lelah dalam berbuat baik dan tetap menolong sesama sesuai kemampuan kita. Pagi-pagi sekali Ayara sudah bangun dan mempersiapkan Aciel. Rutinitas ini sudah Ayara lakukan sejak satu minggu lalu, saat ia mulai bekerja di restoran Arsen. Usai dengan semua kesibukan pagi, barulah Ayara mempersiapkan dirinya. “Bunda berangkat kerja, ya, Sayang.” Ayara mencium pipi Aciel sebelum berangkat. “Jangan rewel, ya. Patuh sama nenek,” lanjutnya dan dibalas anggukan oleh anak itu. “Ote, Nda,” sahutnya sambil tertawa. “Hati-hati, ya, Ra.” Bu Ningsih menerima tubuh Aciel. “El aman sama Ibu,” balasnya lagi tanpa merasa kerepotan harus menjaga Aciel. Ayara tersenyum mendengarnya. Setelahnya Ayara langsung berjalan ke luar gerbang panti. Beruntungnya Ayara diterima kembali oleh panti asuhan, tempat di mana ia tumbuh kembang. Bahkan, selama satu minggu ini juga, bu Ningsih selaku pengurus panti dengan senang hati menjaga Aciel saat Ayara bekerja. Sebuah ojek online yang ditumpangi Ayara berhenti di tepi jalan, tepat di depan restoran bintang milik Arsen. Setelah membayar, Ayara melangkah masuk ke restoran. Terlihat beberapa rekannya yang sedang beberes, dengan cepat Ayara menyimpan tasnya dan ikut bergabung dengan teman pelayan yang lain. “Sini biar aku aja, Mita.” Ayara meminta alih kerjaan yang sedang Mita kerjakan. Mita yang sedang mengelap kaca pembatas antara outdoor dan indoor, lantas menoleh pada Ayara. “Yaudah, Mbak lanjut ini aja. Biar aku yang ke belakang.” Mita menyerahkan kain dan cairan pembersih pada Ayara. Ayara menerima dan langsung melanjutkan aktivitas Mita yang tertunda karenanya. Ayara menatap kepergian Mita dengan senyuman. Ia beruntung mengenal Mita, perempuan itu sangat baik dengannya. Meskipun pertemuan pertama mereka terkesan buruk karena kejadian malam itu. Namun, kini Ayara dan Mita cukup dekat dalam bekerja. Bersih-bersih dan beberes seluruh sudut dan segala objek di restoran adalah hal yang selalu mereka kerjakan sebelum restoran siap untuk dibuka untuk pelanggan. Saat semuanya sudah selesai, kini tugas mereka bertambah, yaitu melayani serta mengantarkan pesanan pelanggan ke meja-meja. Sama seperti biasanya restoran The Star Eatery selalu ramai dikunjungi. Hampir seluruh meja diisi oleh pengunjung. Hal ini tak jarang membuat pelayan kelelahan dalam bekerja yang tak henti. “Iya, hari ini ada kunjungan rekan pak bos.” “Katanya sih dari perusahaan gitu.” Ayara yang baru memasuki dapur mendengar percakapan rekan kerjanya yang lain. Setelah mendengar itu, Ayara bertambah yakin jika atasannya bukanlah orang biasa. Pria itu ternyata bukan hanya pemilik restoran ini, tetapi ada profesi lain juga. “Mbak!” Ayara sontak menoleh pada sumber suara. Ternyata Mita lah yang memanggilnya. “Kenapa?” “Mbak udah antar makanan ke meja dua lima?” Ayara mengangguk pelan. “Nahh, pas banget. Sekarang Mbak antar makanan dan minuman ini ke ruang VIP lantai tiga ya,” titah Mita pada Ayara yang baru saja hendak duduk. Ayara menelisik satu per satu dari mereka, terlihat sedang ada pekerjaan. Dengan perasaan lelah Ayara pun mengangguk, menyanggupi permintaan Mita. Ayara sadar diri saja. Ia masih karyawan baru di sini, ia hanya mengikuti arahan mereka yang sudah senior di sini. Melihat Ayara mengangguk, sontak Mita mengambil nampan yang telah disiapkan oleh chef. Kemudian Mita menyerahkan nampan tersebut pada Ayara. “Ini semua bawa ke lantai tiga?” tanya Ayara menatap jumlah piring berisi makanan dan gelas dengn beberapa jenis minuman di dalamnya. “Ini banyak sekali, aku takut jatuh gelas-gelasnya,” keluh Ayara tak berani membawa pesanan dalam jumlah yang banyak. “Tenang, Mbak bisa pakai food trolley.” Mita menunjuk ke arah troli yang ada di sisi kanan pintu dapur. “Udah, Mbak langsung ke sana, ya. Takutnya tamu pak bos keburu selesai. Ini udah waktunya makan siang soalnya,” lanjut Mita pada Ayara. Ayara mengangguk paham, ia langsung mengambil troli makanan yang ada di ruangan tersebut. Usai menyusunnya, Ayara bergegas pergi ke lantai tiga. Setibanya di depan pintu ruangan VIP, Ayara berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Pintu berbahan dasar kaca tebal dengan ukiran halus yang mencerminkan kemewahan. Hati berdebar dan tangan yang sedikit gemetar, saat mengetuk pintu dengan sedikit kuat. Wajar saja ia takut, karena ia akan mengantarkan makanan untuk tamu yang spesial atasannya. Terlebih lagi ada Arsen di sana. Begitu pintu terbuka, perempuan itu disambut oleh seorang pria muda berjas yang memberikan senyum ramah padanya. Dengan kepala sedikit menunduk, Ayara membalas senyum pria itu. “Selamat siang,” sapanya ramah dan dibalas anggukan oleh beberapa pria di dalam sana. Kemudian Ayara masuk ke dalam ruangan yang luas dan elegan. Cahaya lampu kristal menggantung di langit-langit, memantulkan kilauannya di seluruh ruangan. Ayara berjalan mendekati meja besar di tengah ruangan. Di sana Ayara melihat Arsen yang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki tua dan pria yang membuka pintu untuknya. Ayara langsung mengalihkan pandanganya saat Arsen menatapnya datar. Ia takut disangka tidak becus bekerja. Dengan cepat Ayara membungkuk dan meletakkan makanan dan minuman yang dibawa dengan hati-hati. Satu per satu makanan di atas troli telah berpindah tempat. “Selamat menikmati hidangannya.” Ayara mundur beberapa langkah usai meletakkan makanan. Tentu saja setelah semuanya tersaji di atas meja. “Terima kasih.” Bukan Arsen yang mengatakan itu, melainkan laki-laki tua dan dua pria muda lainnya. Ayara merespon dengan senyuman hangat di balik hijabnya. Tak ada keperluan lain di sana, Ayara lantas berbalik lalu pergi. Kepergian Ayara membuat para laki-laki di dalam ruangan tersebut kembali melanjutkan pembicaraan mereka yang sempat tertunda karena kedatangan Ayara. Pembicaraan yang tak begitu banyak lagi, akhirnya tuntas dan mereka mulai menikmati hidangan yang tersedia. Satu-satunya laki-laki tua yang ada di sana berjongkok untuk mengambil sebuah rantai indah yang tak sengaja terinjak olehnya. "Kalung milik siapa ini?" "Kalung? Kalung apa, Pak Darma?" Arsen mengalihkan atensinya pada Pak Darma. Darma menaikkan benda itu agar dilihat oleh Arsen. "Ini kalung seperti gak asing di mata saya."“Lebih baik Laras tinggal di apartemenku saja.” Celetukan Reza yang sangat tiba-tiba berhasil membuat Ayara, Arsen, sekaligus Laras menatap laki-laki itu dengan mulut terbuka.“Kamu lagi bercanda?” Alis Arsen mengerut, “Ngajak perempuan yang masih istri orang tinggal bareng?” Arsen menatap penuh tanya pada temannya itu.Reza yang semula menegang karena semua orang menatapnya intens, sontak menggeleng cepat. Pria itu seolah menyangkal dugaan yang ada di pikiran mereka masing-masing. “Bukan, bukan tinggal bareng, Sen. Laras tinggal di apartemen yang udah gak aku pakai akhir-akhir ini. Aku belum segila itu untuk tinggal berduaan sama seorang perempuan.”Baik Arsen maupun Ayara berhasil bernapas lega. Mereka termasuk Laras pun menyangka jika Reza mengajaknya tinggal berdua. Tentu saja itu tidak akan Laras setujui. Namun, jika seperti yang Reza katakan, Laras akan mempertimbangkan kembali.“Gimana, Laras? Mau kan tinggal di apartemen Mas Reza aja?” Ayara menggenggam tangan Laras. “Biar kam
Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas
Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te
Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t
Malam itu, Ayara masih duduk di samping Kakeknya. Angin malam yang sejuk menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi.Kakek menghela napas panjang, mengusap janggut putihnya sebelum akhirnya menatap cucunya dengan pandangan yang lebih lembut."Ayara..." suaranya terdengar lebih tenang, tidak lagi sekeras sebelumnya. "Kakek hanya takut kamu terluka lagi."Ayara menggenggam tangan Kakeknya, jemarinya hangat meski hatinya masih terasa berat. "Aku tahu, Kek. Tapi kali ini aku yang memilih. Aku gak mau perempuan lain mengalami apa yang pernah aku alami."Kakek diam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Kamu benar-benar keras kepala, ya?"Ayara tertawa pelan. "Bukan keras kepala, Kek. Cuma... aku gak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja.” Kini Ayara melirih."Kamu benar-benar seperti almarhum ayahmu."Ayara menoleh, terkejut dengan ucapan tiba-tiba sang kakek. "Apa maksud Kakek?"Kakek mengubah raut wajahnya yang tegas dengan ters
Langit mendung menggantung rendah ketika Ayara tiba di kafe kecil tempat ia berjanji bertemu dengan Laras. Matanya langsung mencari sosok perempuan itu di antara meja-meja yang hampir penuh. Saat menemukan Laras duduk di sudut ruangan, Ayara langsung terdiam.Perempuan itu mengenakan sweater oversized, tetapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Ada lebam ungu di pelipisnya, bibirnya pecah, dan di sudut matanya masih tampak sembab seolah habis menangis semalaman."Laras..." Ayara menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya.Laras menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayara. "Maaf, aku bikin kamu repot."Ayara menggeleng cepat. "Apa yang terjadi?"Laras menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar serak. "Sejak malam aku pulang dari rumahmu itu... hidupku berubah jadi neraka, Ra." Ia menelan ludah, matanya menatap kosong meja di depannya. "Ibu Nirmala selalu pukul aku, hampir tiap hari dia datang ke rumaku. Aku mau ngelawan, tapi aku gak … aku gak bisa