“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.
‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak. Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya. “Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.” “Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara. Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih tubuh Ratih. Ayara bahkan tak berani menatap pria itu, lantaran masih malu karena kejadian tadi malam. Sebisa mungkin Ayara menundukkan kepalanya. Namun, sekarang Ratih malah memanggilnya agar mendekat. “Em … tidak usah, Bu.” Ayara menolak halus, tanpa menoleh pada Arsen yang berdiri di samping Ratih. “Saya langsung pulang saja. Saya pamit, Bu Ratih.” Ayara menunduk, setelahnya berbalik badan. Namun, dengan sangat cepat Ratih menahan Ayara agar perempuan itu tidak langsung pergi. “Eh … jangan pergi langsung atuh. Kamu masuk dulu, ya.” Ayara ragu untuk menjawab. Ia enggan menyetujui permintaan Ratih dan ia juga tak ingin membuat Ratih tersinggung karena penolakannya. Sebenarnya Ayara tak masalah untuk mampir, tetapi yang menawari itu adalah ibu dari pria tadi malam. Di saat Ayara bimbang dengan keputusannya. Di sisi lain ada Arsen yang terus memperhatikan interaksinya mamanya dengan perempuan berhijab itu. Arsen ingat siapa dia, yang tak lain adalah wanita tadi malam yang membuat kebisingan di restoran. Setelah diusir dari sana, Arsen tak tahu lagi ke mana perginya dia dan sekarang malah bertemu kembali di rumahnya. “Kamu mau kan?” Suara Ratih untuk memastikan persetujuan Ayara mengalihkan fokus Arsen yang sedari tadi menatap ke arah Ayara. “Arsen, bawakan tas Nak Ayara sebentar. Kasian dia dari tadi pegang tas, gendong anak, mana bantu Mama lagi,” pintanya pada Arsen. Ayara menoleh pada Arsen. Tatapan keduanya beradu. Namun, Ayara buru-buru mengalihkan. “Nggak apa-apa, kok, Bu. Saya bawa sendiri aja.” Ayara tentu saja tidak ingin Arsen membawa tasnya. “Udah, gapapa. Biar anak Ibu saja,” final Ratih tersenyum pada Ayara. Lalu ia menyerahkan tas baju itu pada Arsen dan diterima oleh Arsen. Sementara Ratih langsung menggamit tangan Ayara dan keduanya berjalan masuk ke rumah. Dengan berat Ayara melangkah. Tentu saja hatinya tidak nyaman, bagaimana bisa seseorang dari keluarga kaya membawa tasnya. Ayara sempat menoleh ke belakang di mana Arsen berjalan sambil menenteng tasnya. Begitu tatapan mata bertemu, Ayara kembali berbalik arah. “Kamu istirahat dulu.” Ratih duduk di sofa dan langsung menarik Ayara dengan lembut agar ikut duduk dengannya. “Nah, El juga kamu dudukan dulu, kamu pasti capek gendong El terus kan?” Ayara tersenyum kikuk. Karena yang Ratih tebak lagi-lagi benar. Jujur saja, ia sangat lelah. Bayangkan dari malam hingga pagi hari ia terus menggendong Aciel dan membawa tas. Ratih paham dengan kecanggungan Ayara, ia tidak lagi melanjutkan ucapannya. “Yasudah, kamu di sini dulu. Ibu mau ganti baju sebentar, ya.” Ayara mengangguk kecil, lalu Ratih pergi dari hadapannya. Tak lama setelahnya, datang Arsen dengan menenteng tasnya. Buru-buru Ayara bangun dan mengambil tasnya. “Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud menyuruh Bapak buat bawa tas saya.” Ayara langsung meminta maaf. Ia merasa bersalah padanya. Arsen berdeham kecil sebagai jawaban. Pria itu menatap Ayara yang langsung pergi dari hadapannya setelah mengambil tas. Arsen memperhatikan interaksi ibu dan anak laki-laki itu. Sesekali anak itu menunjuk ke arahnya, membuat Arsen tersenyum tipis. “Ar, kenapa berdiri aja? Ajak El main, kek. Biar Ayara bisa istirahat bentar,” tegur Ratih saya melihat anaknya yang hanya diam di tempat, seperti tidak ada inisiatif untuk menggendong anak segemas El. Ayara menggeleng cepat. “Tidak usah, Bu. El di sini aja, sama saya.” Ayara semakin dibuat tak nyaman dengan Ratih yang gemar menyuruh Arsen. Pasalnya ia sendiri masih malu akan kejadian tadi malam. Ia yakin juga, pasti pria itu sangat anti dengan orang-orang sepetinya. Namun, siapa sangka Arsen menghampirinya dan berhenti di depan Aciel. “Kamu mau saya gendong?” Arsen memberi gestur menggendong pada Aciel. Anak itu mengedipkan matanya beberapa kali saat melihat Arsen. Lalu Aciel menoleh pada bundanya. “Nda.” “Iya, Nak?” Ayara membalas dengan sangatlah lembut. “Itu ditanya, El mau gak?” Arsen kembali terpaku pada interaksi keduanya. Namun, atensinya langsung teralihkan saat suara mamanya berceletuk. “Jangan dipandang terus, Ar. Kalau mau gendong, ya dibawa aja. Gak usah liatin bundanya,” goda Ratih dengan tersenyum jenaka. Setelah mengatakan itu Ratih langsung pergi ke arah dapur. Di sana tinggal Arsen yang garuk-garuk kepala karena ucapan ambigu mamanya. Tak ingin semakin melebar ke mana-mana, Arsen pun berkata, “Ucapan Mama saya jangan dimasukkan hati. Mama memang suka begitu kalau bicara.” Ayara mengangguk paham, tanpa menoleh pada Arsen. Ia juga sadar diri, terlebih lagi ia yakin jika selera pria yang sudah membawa anaknya sangat tinggi. Sudah setengah hari berlalu, Ayara berada di sana dan dijamu dengan sangat baik oleh Ratih. Wanita itu benar-benar berterima kasih pada Ayara. Mungkin tanpa Ayara ia tidak pulang sampai sekarang karena kakinya yang sakit. Namun, Ayara datang bagaikan penolong untuk Ratih. “Terima kasih, Nak Ayara. Semoga kita akan bertemu lagi, ya.” Ratih memeluk Ayara untuk terakhir kali sebelum perempuan cantik berhijab itu pergi. Ayara terkekeh kecil. “Sama-sama Ibu. Terima kasih juga atas jamuannya. Masakan Ibu sangat enak.” Ayara kembali memuji masakan Ratih yang dinikmati saat sarapan tadi. “Semoga kita bertemu lagi, Bu.” Ratih mengangguk semangat. “Kamu tinggal di mana, Nak?” Ratih ingin tahu, siapa sangka ia akan mengunjungi Ayara lagi. Ayara sempat terdiam sejenak. “Saya akan ke panti asuhan Kasih Bunda, Bu.” Ratih tersenyum membalas Ayara. “Hati-hatilah, Nak.” Ayara mengangguk kecil, lalu beranjak dari depan sana. Langkah Ayara yang baru berpindah beberapa jarak, tiba-tiba dipaksa berhenti ketika suara bariton menyentuh telinga. “Biar saya antar.” Arsen muncul dan langsung menawarkan bantuan. “Sebagai balasan karena kamu sudah membantu Mama saya,” lanjut Arsen lagi. Alhasil, Ayara pergi ke panti dengan diantarkan Arsen. Sepanjang perjalanan menuju panti keadaan mobil tidak ada percakapan antara kedua orang dewasa itu. Hanya saja suara kecil Aciel yang terus mendominasi suasana. “Ayara.” Ayara sontak menoleh saat Arsen memanggilnya. “Ada apa, Pak?” Ayara mendadak takut, ia gugup saat suara Arsen yang begitu datar memanggil namanya. “Karena kamu sudah baik dan mau membantu Mama. Kamu saya terima.” Ayara mengernyit heran, ucapan pria itu yang tak lugas membuatnya bingung. “ Terima apa, ya, Pak?”GN Bab 66.Bab: Janji yang Terucap di Bawah LangitSatu bulan berlalu dengan cepat, penuh dengan hiruk-pikuk persiapan pernikahan Ayara dan Arsen. Sabtu yang menjadi hari penting bagi Arsen dan Ayara, justru batal karena kendala dari pihak wedding organizer. Sebulan setelahnya rasanya seperti mimpi bagi Ayara, yang dulu hanya membayangkan pernikahan di sela-sela tumpukan berkas dan masalah mantan madunya.Di sebuah vila kecil di pinggiran kota—tempat yang dipilih Ayara karena jauh dari hiruk-pikuk kota, dan dekat dengan ketenangan alam—hari ini akhirnya tiba setelah semua haru-hara.Langit cerah, langit yang sama seperti saat Arsen pertama kali menatap Ayara dengan mata yang sungguh-sungguh.Kursi-kursi putih berjejer rapi di halaman rumput yang masih basah oleh embun. Dekorasi bunga nuansa hijau dan peach memberi kesan hangat, lembut, dan sederhana. Musik akustik mengalun pelan, menemani tamu-tamu terdekat yang hadir dengan senyum bahagia.Ayara melangkah perlahan dengan gaun putih s
Bab 65: Langkah di Ambang Kebebasan"lHari Selasa pun tiba pertanda jika sidang lanjutan dari proses perceraian Laras dan Janu berlangsung pada tahap pembuktian. Hari ini terasa lebih berbeda dari sebelumnya, entah mengapa ada gelagat cemas yang menyertai. Laras berdiri di depan cermin kamar mandi apartemennya, menatap pantulan wajahnya yang sedikit pucat. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang bisa saja tidak akan terjadi. Laras memejamkan matanya ketika bayangan Nirmala muncul. Pikiran tentang wanita tua yang pernah menjambaknya di depan umum ketika itu membuat perutnya mual, meski bayi dalam kandungannya seolah mengingatkannya untuk tetap kuat.Dengan helaan napas panjang Laras memaksakan seluas senyum, “Bisa, aku bisa demi hidup yang lebih sehat dengan bayi ini.”Blus biru tua yang sederhana namun rapi, dengan rok panjang yang menyembunyikan perutnya yang mulai membesar. Rambutnya dikuncir rapi ikut terayun pelan ketika perempuan itu melangkah keluar. Reza sudah menunggu
“Lebih baik Laras tinggal di apartemenku saja.” Celetukan Reza yang sangat tiba-tiba berhasil membuat Ayara, Arsen, sekaligus Laras menatap laki-laki itu dengan mulut terbuka.“Kamu lagi bercanda?” Alis Arsen mengerut, “Ngajak perempuan yang masih istri orang tinggal bareng?” Arsen menatap penuh tanya pada temannya itu.Reza yang semula menegang karena semua orang menatapnya intens, sontak menggeleng cepat. Pria itu seolah menyangkal dugaan yang ada di pikiran mereka masing-masing. “Bukan, bukan tinggal bareng, Sen. Laras tinggal di apartemen yang udah gak aku pakai akhir-akhir ini. Aku belum segila itu untuk tinggal berduaan sama seorang perempuan.”Baik Arsen maupun Ayara berhasil bernapas lega. Mereka termasuk Laras pun menyangka jika Reza mengajaknya tinggal berdua. Tentu saja itu tidak akan Laras setujui. Namun, jika seperti yang Reza katakan, Laras akan mempertimbangkan kembali.“Gimana, Laras? Mau kan tinggal di apartemen Mas Reza aja?” Ayara menggenggam tangan Laras. “Biar kam
Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas
Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te
Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t