Share

Putri Bungsu Kesayangan

"Untuk apa kamu datang ke sini!?"

Anggita sontak menoleh. Baskoro, kakak pertamanya, kini berdiri di tengah ruang keluarga, menatap lurus ke arah Anggita.

Suara Baskoro ditambah tatapan dingin pria itu membuat tubuh Anggita bergetar hebat karena ketakutan.

"A-aku--" Anggita terbata-bata. “Kak, a-aku–”

"Aku yang menjemputnya, Kak,” sela Andre, membantu Anggita. Ia merangkul bahu adik bungsunya di hadapan Baskoro. “Dia mau meminta maaf."

Anggita mengangguk. “Kak Bas … aku salah. Aku minta maaf….”

Ia kemudian menunduk, merasa malu sekaligus takut. Kedua tangannya terasa dingin dalam keheningan karena Baskoro tak kunjung mengatakan apa pun.

Baru ketika sampai di rumah ini tadi, Anggita terpikirkan sebuah kemungkinan.

Bagaimana jika kakak pertamanya itu tidak mau menerimanya kembali? Apakah ia akan berakhir di jalanan? Ia tidak punya tempat lain untuk–

“Apa-apaan penampilanmu itu? Laki-laki yang kamu pilih tidak bisa membelikanmu baju yang pantas?”

Mendengar suara Baskoro, Anggita kembali mendongak. Pria itu tengah menatap Anggita dengan wajah datar.

"Mandi dan ganti bajumu. Baru kita bicara," kata Baskoro lagi. Pria itu kemudian berbalik. "Putri bungsu keluarga Mahesa tidak sepantasnya berpenampilan seperti itu."

Sang kakak pertama kemudian melangkah pergi, meninggalkan kedua adiknya terpaku di tempat.

Anggita berkaca-kaca. Ia mendongak menatap kakak keduanya.

"K-Kak…."

Andre tersenyum. Ia mengusap lengan Anggita, menenangkan adik bungsunya.

"Apa Kakak bilang? Kak Bas maafin kamu, kan?" ujar pria itu lembut. "Sudah. Sekarang kamu bersih-bersih badan dulu. Kakak tunggu bareng Kak Bas."

Anggita mengangguk. Segera, ia pergi ke kamar lamanya untuk membersihkan diri. Saat ia keluar dari kamar mandi pun, sudah ada baju layak di atas tempat tidur, yang ternyata telah disiapkan oleh asisten rumah tangga.

Baru setelah Anggita mematut dirinya di cermin dan merasa pantas, ia menemui kedua kakaknya.

Namun, baru saja ia sampai di ambang pintu ruang keluarga, Anggita mendengar suara menggelegar Baskoro.

“Sialan mereka! Lihat saja akan kubuat mereka semua menyesal dan jatuh miskin!”

Ternyata Andre telah mewakili Anggita untuk berbicara tentang semua yang diterima si bungsu itu dari keluarga suaminya. Baskoro mengepalkan tangan begitu keras, netranya memancarkan kemarahan yang begitu besar.

“Kupikir si berengsek itu hanya main perempuan di belakang. Ternyata adikku dinikahi juga cuma buat jadi pembantu!”

Anggita mengernyit. “Apa maksudnya, Kak?” tanyanya membuat kedua kakak laki-lakinya langsung menoleh ke arah wanita itu.

Baskoro menatap Anggita dari atas sampai bawah, sebelum mengangguk puas.

“Duduk,” titahnya tanpa menjawab pertanyaan Anggita.

Tanpa memprotes, Anggita duduk di sofa, di sebelah Andre dan menatap kakak pertamanya.

“Ini kelakuan suamimu di luar sana,” ucap Baskoro sembari menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Anggita.

Saat membukanya, Anggita melihat setumpuk foto-foto Beni bersama wanita yang tadi datang ke acara selamatan rumah adik iparnya. Ia menyipitkan mata ketika melihat kemesraan dari keduanya dalam foto-foto tersebut.

“Ternyata sudah lama ya,” gumam Anggita. Namun, ada satu hal lagi yang mengusiknya. Wanita itu kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Baskoro. “Kakak memata-matai dia?”

Bukan apa-apa. Saat Anggita kukuh ingin menikah dengan Beni dua tahun lalu, Baskoro marah dan murka. Pria itu mengatakan tidak akan memedulikan adiknya lagi dan selama ini pun tidak pernah menghubungi Anggita. Hanya Andre yang pantang menyerah selalu menghubungi Anggita.

Namun, ternyata Baskoro justru memiliki bukti-bukti perselingkuhan suami Anggita?

Sementara itu, Baskoro hanya menatap adik perempuan satu-satunya tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat.

“Foto-foto ini bisa berguna,” ujar Baskoro tanpa menjawab pertanyaan adiknya kemudian. “Itulah kenapa Kakak berikan foto-foto itu. Sekarang, apa yang mau kamu lakukan?”

Anggita kembali menunduk dan menatap foto-foto di pangkuannya. Perasaan marah dan terhina di dalam dadanya lebih besar dibandingkan kesedihan yang ia rasakan. Namun, tetap saja, kedua matanya terasa panas. Anggita bahkan tidak menyadari air matanya jatuh begitu saja sebelum akhirnya Andre merangkul wanita itu.

“Buat apa kamu menangisi laki-laki tidak tahu terima kasih itu?” sergah Baskoro. Namun, nadanya kemudian melunak. “Sudah. Kamu sekarang sudah di sini. Kakak anggap itu berarti kamu sudah meninggalkan suamimu itu dan kembali menjadi bagian dari keluarga Kakak. Jika kamu mau membalas keluarga sial itu, Kakak pasti bantu.”

Anggita mengangguk. Di hadapan kedua kakaknya, ia kembali menjadi adik kecil mereka.

“Aku akan balas mereka, Kak. Pasti,” ucapnya. “Foto-foto dari Kakak akan aku gunakan sebaik mungkin.”

Ia bisa menggunakannya untuk menggugat cerai Beni dan mempermalukan pasangan peselingkuh itu.

Baskoro mengangguk, tampak puas dengan keputusan adiknya. Ketiganya kemudian mengobrol lebih santai, membicarakan hal-hal kecil yang telah berubah sejak Anggita meninggalkan rumah.

"Mas Evan ke mana?" tanya Anggita. Ia bertanya tentang kakaknya satu lagi, yang nomor tiga. Mereka empat bersaudara dan dirinya adalah anak bontot yang selalu dijaga ketiga kakaknya.

Baskoro dan Andre kompak menghela napas.

"Dia jangan ditanya. Apa kamu tidak pernah melihat TV atau berita di media sosial?"

Anggita mengernyit, sedikit berpikir. Selama dua tahun, ia tak pernah diberi kesempatan beristirahat apalagi melihat TV dengan santai. Mana tahu keadaan dunia luar.

Namun, ia tidak mengatakan itu. Selain tidak ingin kembali memantik kemarahan kedua kakaknya, Anggita tidak mau makin tampak bodoh di hadapan mereka karena mau-maunya diperbudak keluarga Beni.

"Kenapa memang dia?” tanya Anggita balik. “Masuk penjara? Pakai narkoba atau menghamili anak orang?"

Bukan apa-apa. Kakaknya yang nomor tiga itu memang selalu menjadi tukang cari masalah sejak dulu.

"Hus, jangan asal bicara,” tukas Andre. Sang kakak langsung membuka YouTube di ponsel dan mencari nama Evan yang ternyata kini telah menjadi salah satu aktor yang sedang naik daun. “Dulu memang dia seperti itu, tapi dunianya berubah. Mana bisa bertingkah aneh."

Anggita menutup mulut dengan tangan. Ia agak terkejut melihat sang kakak yang tampil begitu tampan.

"Jadi seleb?"

"Iya.”

Anggita mengangguk-angguk. “Aku nggak bisa ketemu sekarang dong?”

“Daripada menemui kakakmu yang satu itu, bagaimana kalau kamu perbaiki dulu penampilanmu itu?” ucap Baskoro tiba-tiba. “Wajahmu tampak lebih tua dibandingkan usiamu sebenarnya. Salah-salah kamu justru disangka kakak Evan dibanding adiknya.”

Kalimat itu sontak membuat Anggita cemberut. Namun, ia tahu Baskoro berniat baik, meskipun kata-katanya tajam dan tegas.

Apalagi setelahnya, selama beberapa hari, Baskoro terus mendorong Anggita untuk memulihkan penampilannya dengan menyediakan segala jenis kebutuhan, termasuk menjadwalkan sederet perawatan tubuh dan wajah, meskipun bukan Baskoro sendiri yang mengantarkan Anggita ke tempat-tempat itu.

Akan tetapi, Anggita sungguh-sungguh berterima kasih pada kakak pertamanya tersebut. Sudah lama sekali ia tidak merasa sebebas ini, sesegar ini selama dua tahun.

Hari-harinya penuh dengan omelan ibu mertua yang ternyata tidak menyukai Anggita, sikap Beni yang seenaknya, gerahnya dapur, debu-debu di perabotan, hingga keluarga ipar yang merendahkannya.

Anggita bahkan nyaris melupakan ia adalah putri bungsu keluarga kaya raya yang memiliki tiga kakak sebagai pelindung yang menyayanginya. Ia membuang semua itu untuk bersama pria yang justru kini membuangnya.

“Lihat saja, Beni. Akan kupastikan kamu membayar waktu yang kusia-siakan sebagai istri rasa pembantumu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status